-- Putu Fajar Arcana
HARI-HARI belakangan ini perupa Jeihan Sukmantoro (72) tak henti berpikir tentang asal-muasal. Ia merasa sudah tiba pada puncak pendakian, di mana segalanya begitu membahagiakan. Hal-hal yang tadinya tampak berat dan rumit kini semuanya menjadi sederhana. ”Saya ingin kembali…,” kata Jeihan.
Seni adalah jalan menuju ke asal. Pandangan yang terkesan arketif dalam seni rupa kontemporer, di mana seni lebih diterjemahkan sebagai media ekspresi yang berujung pada aktualisi diri. Bagi Jeihan, puncak seni adalah puisi, puncak puisi adalah filsafat, dan puncak dari filsafat adalah sufi. Maka, ketika pencarian jalan kesenian telah tiba pada puncaknya, kata Jeihan, ia akan berhadapan dengan alam sufi.
”Saya ingin meninggalkan segalanya. Sekarang sudah tiba waktunya…,” kata Jeihan lagi.
Matahari baru saja mencium cakrawala. Senja di awal pekan ini sedikit gerimis. Studio Jeihan di kawasan Padasuka, Bandung, tampak lebih tertata. Lukisan-lukisan yang mencitrakan kesufian Jeihan digantung di lantai dua.
Di situ terdapat deretan lukisan yang disusun seperti narasi keberangkatan Jeihan pergi berhaji. Lukisan-lukisan itu dibuat tahun 1999, di antaranya terdapat karya berjudul ”Aku”, yang menggambarkan sosok Jeihan dalam balutan busana putih. Di bawahnya terdapat puisi://dariMu/hamba datang/kepadaMu/hamba pulang//. Puisi ini ibarat kredo pencarian jalan kesenian Jeihan.
Sejak kapan Anda berpikir bahwa seni modern juga bisa diperlakukan sebagai ritual sebagaimana dalam seni tradisi?
Seni tak bisa dipilah-pilah. Seni bagi saya sejak awal adalah medium untuk mencari jalan ke asal. Apa itu asal? Sang Pencipta. Sejak memutuskan menjadi pelukis saya tidak berpikir sisi-sisi ekonomi dari kesenian.
Buktinya sekarang Anda menjadi pelukis yang sangat kaya?
Saya tidak pernah mengejar uang, uanglah yang datang kepada saya….
Itu terkesan sombong. Apakah maksudnya Anda tidak pernah mengacung-acungkan lukisan kepada kolektor?
Ya, kira-kira begitu. Kalau ada kolektor yang datang ke studio dan bilang bahwa saya pelukis yang pintar berdagang, saya cuma bilang, Anda pedagang yang mengerti lukisan. Jadi, skornya satu lawan satu, kan. Saya pelukis yang sangat percaya diri. Bahkan, dalam kemiskinan yang membelit pada awal karier saya sebagai pelukis, saya tidak pernah minder.
Mungkin Jeihan termasuk perupa yang hidup berkecukupan. Selain memiliki puluhan mobil (ia tak pernah ingat jumlahnya karena sebagian besar tidak terpakai) dan luas studio yang mencapai dua hektar, ia juga memiliki beberapa rumah di Bandung. Semua itu berasal dari lukisan.
Setelah hidup berkecukupan seperti saat ini, apa sih yang Anda hasratkan lagi?
Sekarang anak-anak saya sudah menikmati semuanya. Saya sudah sampai puncak. Karena saya tahu memulai, maka saya tahu saatnya berhenti. Saya ingin kembali pada kesederhanaan. Saya akan meninggalkan semua ini, mungkin menjadi penjual kangkung di pasar. Saya ingin kembali menghayati hidup sebagai orang kecil, pakai sarung lalu melayani para pembeli. Semua sudah saya siapkan, termasuk surat wasiat kepada anak-anak…. Mungkin jalan ini disebut Wanaprastha.
Maksudnya?
Dulu Wanaprastha diterjemahkan dengan meninggalkan kehidupan duniawi lalu pergi bertapa ke tengah hutan. Saya mungkin akan meninggalkan semuanya, lalu hidup sebagai penjual kangkung….
Anda serius? Ikatan keluarga, bagaimana?
Saya tahu saatnya berhenti. Ya, segala yang duniawi. Saya ingin menghayati hidup sebagai orang kecil di pedesaan.
Adakah hubungannya ini dengan Anda yang dilahirkan di Desa Ngampel, di kaki Gunung Merbabu (Jawa Tengah) sana?
Bisa saja. Mungkin desa hidup sebagai kerinduan yang arketif dalam diri saya.
Spiritual
Jeihan memandang hidup seperti pohon. Dalam wilayah instingtif, pohon dan manusia sama. Jika manusia memiliki otak di kepala, pohon memiliki otak pada akar. Jika otak dan akar bobrok, kita akan tumbuh menjadi manusia atau pohon yang brengsek. Pada saat lain, secara instingtif pohon-pohon akan selalu tumbuh mengejar cahaya. Pada dasarnya manusia juga sama. Secara naluriah, manusia mengejar kesempurnaan hidup lewat dunia material dan spiritual.
”Sekarang saatnya saya mencari kesempurnaan, dalam pengertian menyeimbangkan materialisme dan spiritualisme. Jika secara materi saya sudah tercukupi, maka harus diseimbangkan dengan dunia spiritual,” kata Jeihan.
Belakangan karya-karya Jeihan mengarah pada sketsa yang seolah dikerjakan dalam satu empasan napas. Model-model yang dilukis Jeihan tidak lagi diberi sentuhan stilistik dengan palet. Jeihan mengerjakannya dengan kuas-kuas besar. Menggambar model tidak lagi dilihat sebagai pemindahan subject matter ke atas kanvas. Jeihan tidak lagi potretis. Ia mengutamakan penyelaman yang dalam di balik permukaan sosok modelnya. Di situ seolah terjadi dialog, yang kemudian diterjemahkan Jeihan dengan warna dan karakter wajah modelnya. Warna tidak lagi hadir mewakili persepsi, tetapi penerjemahan terhadap aura. ”Makanya, melukis jadi seperti cepat karena mungkin saya trance…,” kata Jeihan.
Menurut Jeihan, inti dari seluruh lukisan adalah garis dan inti dari garis adalah spirit. ”Kalau sebuah lukisan dipreteli yang tinggal hanya garis, itu kan berarti sketsa. Saya kembali ke inti itu untuk kemudian mencapai spirit. Syukur-syukur memperteguh spiritualitas saya,” katanya.
Ada yang bilang Anda malah lebih instan sekarang dalam melukis?
Terserah saja. Yang jelas saya mencapai titik ini setelah 60 tahun menjalani laku kesenian. Bukan sesuatu yang instan, bukan?
Ada pula yang mengatakan, seiring usia, Anda makin menurun sehingga memilih melukis seperti sketsa?
Sewaktu Affandi mulai tua, seharusnya dia tidak lagi melukis memakai jari-jari karena terlihat jelas penurunan dalam karya-karya terakhirnya. Saya tahu itu. Makanya, saya tidak lagi memakai palet, saya memakai kuas-kuas besar dan kembali ke inti melukis, menggambar seperti sketsa saja.
(Kecepatan Jeihan menangkap karakter modelnya, misalnya ia buktikan saat melukis 10 model dalam waktu kurang dari satu jam, saat pembukaan pamerannya bertajuk ”Between Techniques and Instinctive Framing: 9 Windu Jeihan” akhir tahun 2009 di Bentara Budaya Bali. Jeihan tak hanya membuktikan kecepatannya, tetapi juga kekuatan dan daya tahannya yang mumpuni).
Jeihan mencuat dalam jagat seni rupa Tanah Air sejak ”berduel” dengan pelukis dan peletak dasar-dasar kritik seni rupa Indonesia S Soedjojono dalam tajuk ”Temunya 2 Ekspresionis Besar”, 4-11 Agustus 1985 di Hotel Sari Pacific Jakarta. Saat itu lukisan Jeihan terjual dengan harga 50.000 dollar AS (kurs Rp 1.000 per dollar). Sementara lukisan karya maestro seperti Affandi saat itu baru senilai Rp 3 jutaan. Momen itulah yang dianggap mengubah cara pandang orang terhadap dunia seni lukis. Bahkan, kejadian itu pula yang dinilai sebagai tonggak awal bom seni rupa Indonesia. Sejak itu lukisan tidak saja diapresiasi sebagai seni, tetapi diberi nilai investasi sampai kini.
Pada tahapan pencarian keseniannya, Jeihan merumuskan tahap-tahap pencarian intelektual, emosional, dan spiritual. Kini, katanya, ia sudah sampai pada tahap spiritual setelah melintasi pendidikan formal di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), serta kemiskinan yang menikam, lalu kecukupan materi. Itulah, yang menurutnya jalan hidup berkesenian yang mesti dipegang setiap pengembara dunia seni.
Pendapat Anda tentang dunia kesenimanan sekarang?
Banyak penyair hanya bagai mengisi teka-teki silang. Mereka semua mengulang kolom-kolom puisi yang ditulis penyair sebelumnya. Oleh sebab itu, mereka tidak tahu untuk apa menulis puisi.
Tentang seni rupa?
Hubungan seniman, galeri, dan kolektor sudah lebih sehat. Banyak karya yang bagus. Masalahnya, seni tetap harus diberi bobot gagasan. Jangan jadi sekadar tukang gambar. Harus ada narasi besar di belakang sebuah karya sehingga tidak berhenti sebagai kecakapan teknis semata.
Seniman juga, kata Jeihan, harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ia tidak merasa minder jika berhadapan dengan galeri atau kolektor. Seluruh elemen seni rupa harus sejajar untuk menciptakan iklim kesenian yang sehat dan menguntungkan semua pihak. Tidak boleh ada satu pihak yang menekan pihak lain. ”Saya orang yang percaya diri dan optimistik,” kata Jeihan menutup perbincangan kami. Waktu menunjukkan pukul 22.30. Saatnya berpisah, kembali pada kesibukan masing-masing....
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Desember 2010
No comments:
Post a Comment