SAPARDI Djoko Damono (70) mengaku, kreativitasnya dalam dunia sastra banyak terinspirasi dari pengalaman masa kanak-kanak. Salah satunya saat dia tinggal di rumah neneknya, Eyang Condro, di Ngadijayan, kawasan di dekat Keraton Kasunanan, Solo, itu.
Menetap di situ sejak usia tiga tahun sampai 17 tahun, dia menemukan dua dunia. Pagi hari, Sapardi kecil bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Keraton ”Kasatriyan”. Dia bergaul dengan anak-anak pangeran, belajar menari Jawa, nembang, main gamelan, belajar tata krama, dan berbahasa Jawa.
Pulang dari sekolah, dia masuk ke dunia lebih bebas di lingkungan rumah dan sekitarnya. Sebagian rumah neneknya yang besar dipetak-petak dan disewa para pekerja, seperti tukang binatu, penjual gorengan, pemotong rambut, tukang sepeda, atau sopir. Bersama anak-anak para pekerja itu, dia bermain dan keluyuran.
Kadang, dia nongkrong di alun-alun yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah. Lain kali, dia belusukan ke rumah-rumah orang China di seberang rumah. Bisa juga bermain di lapangan bulu tangkis, di selokan, atau di jalanan. Permainannya bermacam-macam: gundu, layang-layang, lempar genting di air selokan, galasing, gobaksodor, petak umpet, atau main benthik.
”Itu masa yang menyenangkan,” kenangnya.
Tahun 1957, ketika duduk di kelas II SMA, tiba-tiba rumah nenek itu dijual. Sapardi dan keluarga pindah Komplang, sebuah kampung yang sepi di Solo bagian utara. Perpindahan dari lingkungan ramai ke sepi membuat dia kerap melamun sendirian dan akhirnya tergerak menulis puisi.
Ternyata, pengalaman saat Ngadijayan tadi muncul sebagai imaji-imaji dalam puisinya. Ingatannya seputar lingkungan, permainan, masa sekolah, dan teman-teman terus menjadi rujukan, sarana berekspresi, bahkan kadang muncul sebagai perlambang dalam bahasa puisi.
Simak saja petikan puisinya berjudul Sajak dalam Sembilan Bagian.
”Anak laki-laki tak berhak menangis/Kata ibunya, ketika ia pulang kalah main gundu… Ia merasa kosong, dan ketika adzan bagai buih/Ia yakin ada yang mengajaknya bercakap/Tentang jiwa yang melenting-lenting.
Dia atas air selokan ketika teman-temannya/Melemparkan pecahan demi pecahan genting/Di permukaannya. Hari sudah sore, ia harus pulang….”
”Entah bagaimana, ketika menulis sajak itu, tiba-tiba saya ingat permainan gundu dan lempar genting di atas air. Semua terjadi begitu saja,” katanya.
Imaji serupa muncul dalam berbagai sajaknya yang lain, seperti puisi Catatan Masa Kecil, cerpen Batu di Pekarangan Rumah, atau Gadis Kecil.
”Sebagian dari hidup kita kan berisi masa anak-anak. Semakin tua, seseorang semakin dekat dengan masa lalu. Bagai siklus lingkaran, kian dekat ke akhir, kian dekat ke permulaan,” katanya. (IAM)
Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment