-- Musa Ismail
KARYA sastra(wan) dan kenyataan (reality) —oleh sebagian orang—dianggap dua jalan yang ujungnya tak bisa bertemu. Hal ini dikarenakan sebagian orang tersebut hanya menganggap bahwa sastra tidak lebih sekedar batas khayalan atau angan-angan.
Menurut mereka, sastra merupakan benda yang tak berakar ke bumi dan tak berpucuk ke langit.
Bahkan, karya sastra hanya dianggap sebagai hiburan dan mengisi waktu luang.
Padahal, karya sastra mampu memberi dan mengisi ruang-ruang hampa makna dalam diri pembaca. Teeuw menjelaskan, sastrawan memberikan makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya secara bebas, asal tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam rangka konvensi yang tersedia baginya: konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (2003:203). Selanjutnya, Iser dalam Teeuw mengatakan bahwa rekaan bukan merupakan lawan kenyataan, tetapi memberikan sesuatu mengenai kenyataan.
Hang Kafrawi dalam Orang-Orang Kalah mengungkapkan kenyataan kelam (air mata) dunia universal. Kenyataan tersebut dijalin sebagai suatu kebatan kisah yang didominasi perahan air mata dalam kehidupan manusia, terutama dalam kaitannya dengan kemelayuan. Dunia Melayu memang kaya akan daya tarik untuk dirumuskan dalam bentuk karya sastra. Orang-Orang Kalah ini terdiri atas 12 cerpen dan 1 naskah drama sebabak (Daulat Riau, 2003).
Air Mata Anak Negeri
Dalam kehidupan, siapa pun tidak menginginkan kurasan airmata, kepedihan hidup, kesengsaraan, ketertinggalan, kemiskinan, dan sejenisnya. Kafrawi menyoroti kenyataan-kenyataan tersebut dengan begitu jelas dalam bukunya ini. Naskah drama sebabak bertajuk “Orang-Orang Kalah” (sebagai judul buku ini) mengisahkan tentang pembantaian dan penistaan anak negeri.
Kenyataan tersebut tergambar dengan jelas dalam pembuka naskah drama sebabak tersebut. (Pentas ditata seperti tempat orang-orang yang dibantai. Pompa anggok yang perkasa, hutan yang gundul dan juga perusahaan yang megah. Di pentas juga terlihat orang-orang yang sedang merintih melawan kekajaman). Kenyataan ini bukan cuma berlaku untuk Riau, tetapi juga tanah air Indonesia yang kekayaan alamnya dicengkam oleh perusahaan asing.
Kafrawi seakan-akan ingin menjelaskan bahwa kemiskinan juga menjadi begitu akrab di negeri ini. Akan tetapi, kemiskinan itulah sebagai akibat lahirnya tembok pembatas keserakahan yang merajalela. Dalam cerpen “Ibu”, dia menulis: ’’Seperti inilah kemiskinan itu,” katanya masih dalam keadaan senyum.
’’Gelap, sempit, pengap dan ketika kita berteriak hanya sebatas dinding inilah suara kita.’’ Cerpen ini diakhiri dengan kejutan luar biasa. Kenyataan kemiskinan pun terungkap dalam cerpen “Hari Kamis Sampai Pukul 18.30 WKP”.
Kafrawi menulis: ’’Mana mungkin daerah kalian yang kaya-raya itu masih ada yang kelaparan. Mustahil itu mustahil.’’ Itulah kalimat yang keluar dari salah seorang pemimpin surat kabar terkebal di negeri ini ketika hal mustahak ini kami suguhkan di atas mejanya. Demikianlah sekilas pandang tentang daerah kami yang kaya raya dengan perhiasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan (hlm.56).
Gambaran air mata peristiwa Sampit dilukiskan Kafrawi dalam cerpen “Kematian Entan dan Sya’diah”, suatu kisah yang amat tragis. Pembantaian terjadi hanya gara-gara perbedaan kaum pendatang dan pribumi. Cerpen ini juga sebenarnya ingin menyadarkan kita bahwa bumi ini milik Tuhan.
Karena itu, wajiblah kita bersama-sama menjaganya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Keterpinggiran anak negeri bisa melahirkan bentrokan fisik yang sadis, melelahkan, dan mengancam persatuan.
Cerpen ini merupakan lakaran untuk memperkuat kenyataan tanah air kita saat ini. Kekerasan, perampasan hak, kebiadaban (barbarisme) seolah-olah merupakan kejadian biasa di negeri ini. Cerpen “Kambing Hitam” juga mengisahkan tentang kenyataan air mata anak negeri. Kekayaan alam dicuri, pejuang dianggap pembangkang sehingga tewas tragis.
Kisah keterasingan yang absurd dilukiskan Kafrawi dalam cerpen “Sangkar dan Warna-warna”, tentang tokoh Aku yang terkurung dalam keinginannya mencari cahaya sebagai simbol pencerahan hidup: Sangkar yang mengurung aku semakin kecil, aku tak dapat bergerak sedikit pun dan otakku yang selama ini berputar di kegelapan yang tidak mempunyai cahaya sedikit pun (hlm. 92).
Tragedi dramatik tentang keterasingan dan keterpasungan lainnya dapat pula kita simak dalam cerpen “Pengaduan Para Mayat”. Ketika memahami cerpen ini, kita akan terkenang peristiwa sepak-terjang rezim Orde Baru 1998. Keterasingan yang terjadi terhadap anak negeri bukan hanya psikis, tetapi juga fisik. Suatu perkampungan yang terabaikan dari keadilan pembangunan jelas sekali diceritakan dalam cerpen “Jembatan”.
Jika kita kaitkan dengan kenyataan sehari-hari, kisah-kisah air mata anak negeri dalam Orang-Orang Kalah, jelas mencerminkan kisah-kisah airmata anak negeri di nusantara ini. Kemiskinan, keterasingan, kesengsaraan hidup, dan keterbelakangan bukan hanya terjadi secara fisik, tetapi juga merambah sampai ke hal-hal ideologi, budaya, dan kejiwaan. Ini suatu gambaran kisah kelam yang memerlukan jalan keluar secara nyata dalam kehidupan realitas.
Airmata Perempuan, Airmata Pertiwi
Kisah-kisah perempuan tidak sedikit diangkat menjadi bahan untuk melahirkan karya sastra. Dalam sastra Indonesia modern, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, nasib dan harapan perempuan tetap menjadi bahan bergizi bagi karya sastra, baik bagi penulis laki-laki maupun perempuan. Feminisme memang selalu menarik hati para penulis.
Tineke Hellwig mengatakan, feminisme bersifat kontekstual, usaha-usaha untuk mengunggulkan peran perempuan pun ada dalam bingkai sistem, baik itu ideologi maupun kebudayaan tertentu yang tidak bisa dirombak begitu saja. Namun bagi saya, penempatan posisi perempuan —sadar atau tidak— selalu saja dalam bentuk dualisme: baik x buruk. Kafrawi merekam bahwa nasib perempuan selalu berada dalam sangkar tragedi penderitaan.
Beberapa karya Kafrawi yang menyoroti derita perempuan terungkap dalam cerpen “Matahari dan Bulan untuk Sari” (MdBuS), “Jangan Sebut Timah Dengan Betina” (JSTDB), dan “Perempuan Telanjang yang Gantung Diri” (PTyGD). Dalam cerpen MdBuS, Kafrawi mengisahkan tentang derita Sari, seorang perempuan yang terpaksa menjadi pelacur karena kemiskinan. Kemudian, tokoh Nurlela yang melacurkan diri karena suaminya tak bisa memberikan apa-apa.
Akibat kemiskinan, manusia bisa gelap mata. Sampai-sampai, perbuatan dosa besar sekali pun sanggup mereka lakukan. Posisi perempuan yang digambarkan Kafrawi dalam cerpen-cerpennya ini memang memilukan.
Secara simbol hemeneutika, posisi derita perempuan dalam karya-karya Kafrawi dapat kita jajaki sebagai pengertian derita “pertiwi” (tanah air/negeri). “Perempuan” dan “tanah air/negeri” yang kita diami ini memang berada dalam posisi yang persis sama: menderita, terjajah, terpasung, terbelakang. Keduanya hanya dijadikan sebagai benda pemuas nafsu serakah dan duniawi.
Sadar atau tidak, Kafrawi mengontraskan kehidupan perempuan dengan keadaan tanah air/negeri ini. Kesengsaraan perempuan adalah kesengsaraan negeri. Airmata perempuan merupakan airmata negeri.
Namun demikian, dalam karya-karya Kafrawi ini masih sempat kita rasakan pesan perjuangan hidup. Meskipun kisah-kisah yang dipaparkan lebih dominan ke arah kurasan air mata dan dunia kelam, tetapi matlamat perjuangan untuk meraih kehidupan bahagia tetap tertangkap dengan baik. Ada kekentalan optimis yang dapat kita ambil dari karya-karyanya. Misalnya, Kita tidak boleh berharap kepada orang lain untuk mengubah nasib kita. Kita sendirilah yang mampu mengubah nasib kita.
Dan menjadi kewajiban bagi kita semua untuk membebaskan diri dari penderitaan. Tak ada satu pun yang dapat menghalang, kalau kita yakin perjuangan kita adalah satu kebenaran dan kita memang benar (Orang-Orang Kalah).
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis. Salah satu kumpulan cerpennya meraih penghargaan Buku Pilihan Sagang 2010. Tinggal di Bengkalis
Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Desember 2010
No comments:
Post a Comment