Judul Buku: Jurnalisme Investigasi
Penulis: Dandhy Dwi Laksono
Penerbit: Kaifa
Tebal: 436 halaman
Cetakan: I, Juni 2010
SETELAH Bondan Winarno menulis soal kasus emas di Busang yang terejawantahkan dalam buku Sebungkah Emas di Kaki Langit, boleh dibilang tak ada lagi karya sejenis yang kelasnya adiluhung. Bondan bahkan makin memoncerkan namanya saat investigasinya soal tenggelamnya kapal Tampomas di Teluk Masalembo juga berakhir dengan buku yang bagus: Neraka di Laut Jawa. Dua buah buku yang dilarang beredar pada masa Orde Baru itu menjadi oasis di tengah kejumudan media pada masa itu. Itulah buku (Sebungkah Emas di Kaki Langit) yang membongkar kejahiliahan pemerintah yang dibohongi oleh geolog, de Guzman, yang menyatakan cadangan emas di Busang melimpah ruah sehingga saham pengelolanya, BreX, naik di pasar saham. Sedangkan Neraka di Laut Jawa membongkar borok-borok negara dalam pembelian kapal bekas dari luar negeri. Kini Bondan bergelut dengan dunia kuliner, tetapi kecerdasannya sebagai jurnalis berpengalaman tampak benar dalam setiap tayangan yang ia ampu: Wisata Kuliner.
Jurnalis Indonesia semestinya harus didorong agar rajin melakukan liputan investigatif. Apalagi buat mereka yang berada dalam grup media yang besar, independen, dan bagus perhatiannya kepada karyawan. Mengapa demikian? Sebab, melakukan reportase investigasi jelas menantang bahaya. Ada ranah yang sesungguhnya gelap untuk kemudian diterangi. Ada labirin gelap yang mesti dicahayakan. Dan ada fakta yang belum terkuak meski sesekali sedikit menyembul.
Mengapa media dan jurnalisnya penting untuk mengetengahkan karya jurnalistik yang bersifat investigasi? Sebab, media massa dianggap sebagai pilar keempat demokrasi? Media dengan kekuatannya mampu mengontrol jalannya pemerintahan. Mengapa pula pemerintahan harus dikontrol? Sebab, pemerintahan yang berkuasa punya peluang untuk menyeleweng atau berlaku sewenang-sewenang. Kata Lord Acton: kekuasaan itu cenderung korup. Maka itu, ia harus diawasi, dan media massa menjadi salah satu elemen penting untuk mengawasi. Setiap fakta yang muncul menjadi mudah diberitakan oleh media massa. Yang sulit ialah jika ada fakta yang tersembunyi atau disembunyikan. Ada bibit kesewenang-wenangan yang belum terungkap. Atau malah sudah ada kejadian yang menerjang hak asasi manusia tapi tak bisa diekspos menjadi sebuah tulisan di media massa?
Nah, dalam ranah itulah media massa dengan jurnalis yang berani mesti menjalankan investigasi. Dandhy dalam buku ini mengartikan, investigasi itu bisa dalam proses ataupun dalam karya. Intinya ialah menguak hal yang selama ini tidak diketahui publik. Atau bisa juga menyempurnakan yang sudah ada dengan fakta yang menguatkan fakta sebenarnya.
Kita memang berharap media banyak mengetengahkan laporan investigasi tanpa ragu. Pelajaran dari liputan dalam acara Sigi di SCTV soal prostitusi di penjara adalah hal yang bagus, meski Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar melarang tayang. Publik butuh hal yang semacam itu. Liputan yang segar, sarat dengan kontrol sosial, dan sekaligus hiburan. Hiburan bahwa pemerintahnya ternyata menyimpan banyak ketidakmampuan dalam mengelola negara secara baik.
Penulis buku ini punya pengalaman lama sebagai jurnalis. Khususnya wartawan yang melakukan reportase investigasi. Ia pernah diganjar sebagai Jurnalis Terbaik Jakarta pada 2008 saat menguak kematian aktivis hak asasi manusia: Munir. Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini juga lama berkiprah di beragam media massa: tabloid Kapital, majalah Warta Ekonomi, redaktur radio PAS, produser berita radio Ramako, analis berita politik radio ABC Australia, dan kepala Seksi Peliputan RCTI.
Jurnalisme investigasi dalam masa sekarang justru semakin dibutuhkan. Memang kemerdekaan pers sudah lebih baik. Namun, sangat banyak fakta yang belum terungkap. Dalam kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus, pasti ada banyak hal yang belum diketahui publik. Siapa aktor di balik Gayus, dan siapa saja yang selama ini melakukan kongkalikong dalam kasus itu, harus diungkap. Untuk itulah para jurnalis semestinya menggali informasi yang tersembunyi itu dengan metode kerja yang terencana.
Dandhy banyak memaparkan teknik, kiat, bahkan cerita di balik kesuksesan sebuah peliputan investigasi. “Hebatnya” lagi, buku ini bisa dipraktekkan oleh mereka yang bergiat di beragam media: koran, televisi, radio, dan portal berita.
Bisa dibilang, buku karya Dandhy ini "tiada duanya". Sebab, inilah satu-satunya buku yang representatif menjelaskan soal jurnalisme investigasi. Jajang Jamaludin, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, menulis, "Betapa pun banyaknya kelebihan buku ini, tentu saja terlalu berat membebankan perbaikan mutu jurnalis dan media Indonesia pada sebuah jilid buku. Untuk itu, perlu kerja sama panjang yang melibatkan semua pemangku kepentingan pers bebas di Indonesia. Tapi, paling tidak para pembaca, bolehlah kami mengucapkan selamat. Selamat karena Anda sedang memegang satu dari sedikit buku yang penting dan enak dibaca."
Sekar Sari Indah Cahyani, Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010
No comments:
Post a Comment