Jakarta, Kompas - Selain menghadirkan atmosfer spektakuler di dalam stadion sepanjang turnamen, kedewasaan suporter menerima kegagalan tim nasional Indonesia dalam meraih gelar Piala AFF 2010 pantas mendapat apresiasi tinggi. Namun, kedewasaan itu tidak diikuti PSSI yang justru bersikap kekanak-kanakan dan gagal melayani gairah meluap para suporter.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Jakarta, Kamis (30/12), mengucapkan terima kasih kepada suporter yang telah bersikap sportif dan tidak menciptakan kerusuhan. Suporter Indonesia dinilai sebagai masyarakat yang telah dewasa dan mampu menjaga keamanan dan ketertiban Ibu Kota.
”Alhamdulillah semua berlangsung aman. Semua ini terwujud atas niat baik warga Jakarta dan Indonesia untuk mendukung olahraga di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik. Sikap ini patut diapresiasi dan bisa jadi contoh di kemudian hari,” kata Fauzi Bowo.
Masyarakat menunjukkan kedewasaannya dengan bersikap tertib sejak penyisihan sampai final. Sikap sportif dan dewasa semacam ini diharapkan dapat terus dipertahankan oleh suporter Indonesia saat mendukung tim nasional atau klub kesayangan mereka dalam berbagai ajang pertandingan.
Sikap kekanak-kanakan justru ditunjukkan pengurus PSSI, contohnya dengan pernyataan menjelang laga pertama bahwa Indonesia bakal walk out jika ada gangguan sinar laser. Akhirnya dalam ”15 menit yang kacau”, diawali terhentinya laga akibat protes gangguan laser, tim Merah-Putih kebobolan tiga gol di Kuala Lumpur. Pelatih Alfred Riedl menyebut momen itu sebagai kunci kegagalan menjadi juara, meski menang 2-1 di Jakarta.
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, ada sejumlah faktor yang menyebabkan suporter begitu tertib meski harus kembali menelan kekecewaan seusai laga final. ”Pendukung Indonesia menyadari apa yang dilakukan penonton Malaysia adalah salah dan hal itu tidak pantas ditiru dan dibalas,” kata Tamrin.
Lebih lanjut, suporter juga realistis, sangat berat untuk mengatasi ketinggalan 3-0. ”Suporter melihat sendiri pemain telah bekerja keras di lapangan dan menerima kegagalan itu karena tahu tidak ada yang salah dengan tim nasional Indonesia. Suporter menyadari masalah sesungguhnya justru ada di PSSI dan Nurdin Halid,” papar Tamrin.
Sepanjang turnamen, teriakan ”Nurdin turun, Nurdin turun!” terus menggema di Gelora Bung Karno, bahkan sekalipun Indonesia menang. Desakan agar Nurdin Halid mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI juga menggema hebat di situs jaringan sosial Facebook dan microblogging Twitter.
Tamrin menambahkan, gairah luar biasa suporter itu harus ditangkap sebagai momentum kebangkitan sepak bola Indonesia yang selama ini terpuruk. ”Harus ada rancangan, stimulans, perencanaan untuk membangkitkan persepakbolaan. Sepak bola harus jadi gerakan yang luas, diawali dengan reformasi di PSSI yang jadi akar permasalahan sepak bola di Indonesia,” ujar Tamrin. (ECA/RAY)
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010
No comments:
Post a Comment