Saturday, December 04, 2010

Negeri Orang Sakit

-- Jakob Sumardjo

SAKIT adalah keadaan tak seimbang: sumbang. Ditanya ke mana, jawabannya waktu, misalnya malam. Ditanya kapan, jawabannya ruang, misalnya pasar. Kalau ditabuh mestinya berbunyi do, yang keluar malah bunyi de atau dar.

Indonesia adalah negeri sakit itu. Ada banyak ketakseimbangan. Pada dasarnya tak seimbang antara bobot isi dan bobot wadah. Banyak yang tak jodoh antara wadah dan isi. Pemimpin dan rakyat seharusnya jodoh, seimbang antara pemimpin sebagai isi dan rakyat sebagai wadah.

Kalau keadaan sehat, tentu saja pemimpin sebagai isi lebih pintar daripada rakyat yang kurang pintar. Di TV dan surat kabar sering terjadi rakyat menasihati pemerintah bagaimana seharusnya memimpin negara yang berjalan mundur jauh dari sejahtera ini.

Di negara yang sehat, ukuran kesejahteraan adalah pendapatan per kapita rakyat. Sebuah negara disebut sejahtera bila rakyat berpendapatan tinggi. Di Indonesia terbalik, rakyat boleh berpendapatan rendah asal para pemimpin berpendapatan tinggi menyundul langit Indonesia yang biru ini. Di negara yang sehat, tingkat pendidikan dan tingkat kecerdasan seimbang dengan pendapatan, bahkan juga tingkat jabatan.

Pahlawan

Di Indonesia guru besar boleh gigit jari menyaksikan TKI berpendapatan 10 kali pendapatan profesor. Saya anjurkan agar guru besar ramai-ramai meninggalkan negeri sakit ini jadi TKI tingkat tinggi di negara sehat. Itu sebabnya, TKI diberi gelar pahlawan devisa tanpa rasa malu sedikit pun dan marah kalau TKI disiksa di negeri orang. Bukankah pahlawan disebut demikian karena ikhlas menderita?

Bagaimana disebut negara sehat kalau pemimpin lebih bodoh daripada rakyat, kalau pemimpin lebih makmur daripada rakyat yang seharusnya ia makmurkan? Semua ini akibat hukum keseimbangan, hukum jodoh, tak sejalan. Sakit ini, sumbang ini, sudah dimulai dalam pikiran kita masing-masing. Negeri ini sudah sumbang, sudah sakit, sejak didirikan. Kesumbangan ini terletak pada ketakmampuan menyelesaikan soal tradisi lokal Indonesia dengan modernitas. Dualisme paradoks ini terus dipelihara sampai sekarang.

Pemimpin dalam tradisi lokal Indonesia dapat beragam arti. Di Jawa dan daerah yang kena pengaruhnya, seorang pemimpin adalah seorang yang berkarisma. Semboyannya ”Bapak selalu benar”. Mati hidup saya bergantung pada Bapak. Dalam pemikiran yang demikian ini, bobrok atau jayanya negara terserah kepada yang memimpin.

Beda dengan kearifan lokal Sumatera atau Melayu dan daerah yang dipengaruhinya. Semboyan mereka ”raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Kalau pemimpin tak becus, dongkel saja. Lain lagi di Sunda, pemimpin sebagai isi harus senantiasa seimbang dengan wadah: rakyat yang dipimpin. Kalau bobot isi pemimpin mulai merosot, maka tak segan-segan rakyat akan meninggalkannya.

Pemimpin

Bagaimana dengan mereka yang belajar buku tebal tentang pemerintahan demokrasi modern atau sosialisme modern? Semboyan mereka ”suara rakyat adalah kebenaran”. Mau jadi pemimpin? Wah, mudah saja, kumpulkan suara rakyat sebanyak mungkin. Rakyat yang mana?

Para penganut pemimpin karisma akan melihat cahaya popularitas si calon. Kalau tak punya cahaya, lebih baik golput saja. Para penganut kualitas pemimpin tak peduli apakah si calon bercahaya atau tidak. Kalau si calon kelihatannya pernah tak naik kelas, lebih baik golput saja. Sedang para penganut pemimpin adil cenderung menimbang-nimbang dulu pengalaman dan sepak terjang selama hidup si calon. Kalau biografinya menunjukkan grafik naik dalam sikap keadilan, maka tak ragu lagi rakyat akan mencontrengnya meski kurang cahaya karismanya.

Kekacau-balauan makna ini berakibat fatal. Tak mengherankan bila banyak bintang sinetron jadi pemimpin kita, banyak orang yang terlibat kasus tiba-tiba nongol jadi pemimpin kita. Yang dulu kita caci maki, sekarang jadi pemimpin terhormat. Entah bodoh, entah pintar, entah bercahaya atau legam karena mayoritas pemilih menganut asas karisma (dalam arti populer), maka penyakitlah yang kita tuai.

Umumnya organ sakit perlu pengobatan. Kalau perlu: operasi atau amputasi. Sakit ini tak dapat dibiarkan tanpa pengobatan kalau tak ingin negara ini mati, hilang dari peta dunia. Lihat Tiongkok. Tahun 1950-an rakyatnya masih antre beras. Rakyat Indonesia sudah mampu beli beras Cianjur. Setelah 60 tahun justru rakyat kita masih antre raskin. China punya keseimbangan, pemimpin pandai dan rakyat sebagai wadah boleh bodoh, jadi penganut paham pemimpin Sunda. Mengapa Indonesia mundur? Karena para pemimpin..., rakyatnya tambah pandai.

Jadi, siapa yang harus menjalani terapi supaya sehat? Memimpin negara yang begini beragam cara berpikirnya tak semudah memimpin negara yang relatif setara cara berpikirnya. Indonesia perlu pemimpin genial, manusia isi. Manusia isi semacam itu banyak di Indonesia karena rakyat tambah pandai. Persoalannya bagaimana mekanisme menjaring mereka? Jaring yang kita pakai selama ini hanya mampu menangkap ikan kerdil. Kakap lolos terus. Itulah jaring bikinan Indonesia, bukan made in mancanegara.

Jakob Sumardjo, Esais

Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Desember 2010

No comments: