Sunday, December 12, 2010

Menghormati Pengarang Negeri Sendiri

-- Damhuri Muhammad

SEJUMLAH Perkutut Buat Bapak (2010) karya Gunawan Maryanto dan Buwun (2010) karya Mardi Luhung ternobat sebagai pemenang kembar anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010 untuk kategori puisi, selain Rahasia Selma (2010), kumpulan cerpen karya Linda Christanty, untuk kategori prosa. Dua buku sajak itu menyisihkan tiga nominator lain: Penyeret Babi (2010) karya Inggit Putria Marga, Tersebab Aku Melayu (2010) karya Taufik Ikram Jamil, dan Konde Penyair Han (2010) karya Hanna Fransisca. Sementara pemenang kategori prosa menyisihkan Kekasih Marionette (2009) karya Dewi Ria Utari, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2010) karya Agus Noor, 9 Dari Nadira (2010) karya Leila S Chudori, dan Klop (2010) karya Putu Wijaya.

Saya mengalami suatu peristiwa sederhana di akhir kerja penjurian yang telah berlangsung sejak Juli 2010. Meski sederhana, pengaruhnya masih terngiang hingga kini. Waktu itu, saya menghubungi salah seorang nominator kategori puisi via telefon, meminta soft copy biodata dan foto terkini untuk keperluan publikasi pada malam anugerah. Dengan nada bimbang sekaligus sinis, nominator itu mempertanyakan keseriusan kerja penjurian. Ia bilang, bukunya tipis, tetapi bisa masuk lima besar. Saya tidak menanggapi pertanyaan itu, sebab saya yakin bahwa yang bersangkutan tidak akan menyanggah bahwa kerja penjurian tidak mempertimbangkan tebal-tipis dan berat-ringan buku sastra yang sedang diseleksi. Namun, keragu-raguan semacam itu tampaknya bermuasal dari inferioritas kepenyairan dan keterpinggiran dunia puisi itu sendiri. Pesimisme serupa disinyalir pula oleh testimoni Sindu Putra (pemenang KLA 2009) yang mengacungkan jempol pada ketekunan dan kerja keras pihak penyelenggara KLA hingga dapat bertahan sampai tahun ke-10, tetapi ia masih mengeluhkan bahwa wajah kepenyairan Indonesia belum tergambar secara utuh. Sangat boleh jadi, banyak naskah puisi bermutu yang tersembunyi di rak dan laci, lantaran penyairnya tiada kunjung mendapatkan penerbit. Akibatnya, naskah-naskah itu tidak terjaring dalam kerja penjurian KLA.

Kecemasan Sindu dapat dimaklumi. Tengoklah berapa banyak penyair yang menenteng naskah puisi ke sana ke mari. Namun dengan alasan selling point dan segmentasi pembaca yang tidak menjanjikan, penerbit mentah-mentah menolaknya. Memang ada satu-dua penerbit major label yang tidak alergi dengan naskah puisi. Akan tetapi, mekanisme kuratorial dalam memutuskan kelayakan naskah sudah mengabaikan segala macam pertimbangan pasar dan semata-mata hanya untuk menghargai tradisi puisi. Oleh karena itu, setidaknya masih ada jatah satu buku puisi dalam setahun, yang bila ditakar dengan analisis pasar dipastikan tiada bakal balik modal. Peluang sempit inilah yang diperebutkan ratusan penyair di negeri yang konon sangat menggandrungi puisi ini.

Akhirnya, bila tetap menginginkan buku sajak, seorang penyair mesti menyodorkan estimasi biaya produksi buku pada sejumlah pihak--baik perorangan maupun lembaga--yang sudi membiayai penerbitannya. Bila tidak ada sponsor yang berkenan, penyair terpaksa merogoh kantong sendiri. Tengoklah daftar shortlist KLA 2010, khususnya kategori puisi, hampir semuanya terbit dengan siasat, kerja keras, dan militansi para penyair dalam memperjuangkan puisi-puisi mereka. Dalam pidato singkat pada malam anugerah KLA 2010, Gunawan Maryanto membenarkan bahwa bukunya diterbitkan secara POD (print on demand); dicetak terbatas, sesuai dengan pesanan. Inilah yang saya sebut dengan keterpinggiran buku puisi di dunia perbukuan kita, yang pada akhirnya menimbulkan kebimbangan, pesimisme, bahkan inferioritas penyair.

Oleh karena itu, keagungan puisi yang konon dapat melampaui pencapaian filsafat sebagaimana pembelaan filsuf eksistensialis Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sajak-sajak penyair Jerman, Friedrich Holderin, atau gairah keberpihakan Octavia Paz (1914-1998) terhadap puisi yang pantas dipertahankan seperti mempertahankan kemerdekaan untuk mendedahkan pikiran, agaknya sukar terpetakan dalam khazanah perpuisian kita belakangan ini. Karya-karya para penyair Indonesia mutakhir tertimbun jauh di kedalaman tumpukan novel-novel best seller semacam Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, dan Negeri 5 Menara. Tersembunyi di rak-rak paling pojok yang jarang disambangi pembaca. Tergeletak penuh debu hingga akhirnya digudangkan.

Novelis, cerpenis, apalagi penyair, sedang mengalami ketidakmujuran yang sama. Kerja para sastrawan dalam segi-segi nonartistik sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna membuahkan karya-karya bermutu. Buku sastra jenis prosa pun tak luput dari persoalan serupa. Penerbit-penerbit komersial, akhir-akhir ini, lebih gandrung mengimpor novel dari luar negeri ketimbang menerbitkan novel karya pengarang negeri sendiri. Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini sedemikian njomplang; 10 : 1. Artinya, penerbit-penerbit yang concern pada buku sastra, mencetak sepuluh novel asing, dan hanya satu novel lokal. Konon, untuk sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski sudah dipastikan bakal merugi. Oleh karena itu, tengoklah cerpenis yang belakangan ini begitu gencar melakukan self-marketing lewat situs jejaring sosial Facebook. Sebutlah misalnya Benny Arnas yang baru saja melepas antologi cerpen bertajuk "Bulan Celurit Api" (2010). Awal Oktober 2010 bukunya turun-cetak, tetapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direct selling di dunia maya. Hasilnya terbilang spektakuler untuk ukuran buku sastra, seratus eksemplar telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimantan, Yogyakarta, Padang, Medan. Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit Api, bakal cetak ulang, padahal launching-nya belum diselenggarakan. Kerja serupa juga dilakukan oleh Bamby Cahyadi untuk bukunya Tangan untuk Utik (2009), dan Khrisna Pabichara untuk kumpulan cerpen Mengawini Ibu (2010). Mungkin fenomena ini patut disambut sebagai kabar baik bagi sastra Indonesia, tetapi stamina para pengarang kita tentu bakal terus terkuras untuk hal-ihwal yang nonartistik. Para pengarang yang sekaligus juga pedagang.

Oleh karena itu, dalam konteks inilah, peran Khatulistiwa Literary Award dapat ditandai. Ia ditegakkan di atas sebuah iktikad untuk menghargai, bukan saja kedalaman eksplorasi estetik dalam sebuah karya sastra, tetapi yang jauh lebih penting adalah menghargai pilihan hidup sebagai pengarang, jalan kepengarangan yang terjal dan berliku, sebelum membuahkan karya besar. Dengan nilai penghargaan yang terbilang memadai, KLA dapat memperkuat posisi tawar para pengarang untuk terus bertahan dan bersetia menempuh jalan kepengarangan, dan tidak tergoda untuk berganti haluan lantaran apresiasi yang setengah hati…**

Damhuri Muhammad, cerpenis, Koordinator Tim Juri KLA 2010

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Desember 2010

No comments: