Thursday, December 02, 2010

Romansa Habibie-Ainun: Romeo dan Juliet-kah Itu?

-- Ninok Leksono

TATKALA bertakziah di rumah mantan Presiden BJ Habibie di kawasan Kuningan, Jakarta, akhir Mei silam, atau beberapa hari setelah kepergian Ibu Ainun Habibie, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan mengatakan, ”Now we have another ’Romeo and Juliet’ in our region.”

Menurut Dr Ahmad Watik Pratiknya, salah seorang sahabat BJ Habibie, meski kedua kisah cinta sama-sama melambangkan kekuatan cinta—atau ”the Power of Love” meminjam judul hit Celine Dion—ada perbedaan bila kita membandingkan keduanya. Pada karya Shakespeare, yang dikisahkan adalah cinta yang kandas karena kedua orangtua kedua remaja itu saling bermusuhan. Pada Habibie-Ainun, yang ada justru ”cinta yang berhasil”: cinta yang terjalin dan tumbuh bernas selama 48 tahun 10 hari, dari saat keduanya merupakan intelektual muda hingga lanjut usia dan menjadi eyang enam cucu.

Di Tanah Air, kisah cinta itu tumbuh melegenda. Kepergian Ainun Habibie 22 Mei lalu— yang diberitakan luas oleh media massa—yang disertai post-scriptum tentang bagaimana BJ Habibie lalu seperti terdampar dalam lembah duka yang amat sunyi, berikutnya malah melahirkan kisah bak dongeng tentang kesucian dan keabadian cinta, hal yang bisa dibilang ”semestinyalah itu”, tapi kini juga sering disebut sebagai ”barang langka”.

Ternyata legenda cinta Habibie-Ainun bukan dongeng, tapi kisah sejati. Tak heran presenter TV Najwa Shihab yang menjadi pemandu acara talk-show peluncuran buku Habibie-Ainun karya mantan Presiden BJ Habibie di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (30/11) malam, bisa mengucapkan kalimat, ”Maukah kau jadi Ainunku?”. Kata Najwa, itulah yang diucapkan oleh seorang pemuda saat merayu gadis pujaannya.

Awal perjumpaan

Ihwal romansa BJ Habibie-Ainun sendiri setidaknya dari saat Habibie mengakui Ich bin verliebt (saya jatuh cinta) hingga saat-saat terakhir Ainun di RS Ludwig Maximilian University (LMU), Muenchen, telah dimuat dalam tulisan ”Sepercik Kenangan” tentang Ainun di harian ini, akhir Mei silam.

Namun, dari buku Habibie-Ainun kita masih dapat menjumpai penuturan baru tentang kisah kasih kedua insan ini, khususnya dari lima bab terakhir dari buku yang tersusun dalam 37 bab ini.

Ainun, menurut Habibie, mulai memperlihatkan sakit sejak tahun 2000. Ada masa di mana selama tiga tahun Ainun tak bisa menengok Tanah Air yang ia rindukan karena dokter tak mengizinkan ia tinggal di daerah khatulistiwa atau yang udaranya tercemar.

Karena kondisi itu, salah satu kegiatan yang sempat dilakukan oleh pasangan Habibie-Ainun adalah berlayar selama 27 hari dengan kapal canggih Queen Victoria tahun 2009, yang antara lain membawanya mendarat di Sydney, lalu memberi mereka kesempatan menikmati opera Madam Butterfly di Gedung Opera Sydney yang termasyhur itu.

Karya Puccini di atas adalah sebuah tragedi, tapi toh dinikmati keduanya sebagai salah satu momen memadu cinta. Un bel di (Satu hari nan baik), kata judul aria dari opera ini. Habibie juga berharap, pada hari yang baik itu Ainun akan sembuh.

Namun, dalam kenyataannya, sakit Ainun berlanjut, bahkan bertambah parah.

Pada Sabtu pagi tanggal 20 Maret, tiba-tiba Ainun merasa sakit. Perutnya mulas dan terus ingin muntah. Berbagai upaya penyembuhan dilakukan di Tanah Air sebelum akhirnya Habibie diberi tahu Dr Pulonggono dari RS Abdi Waluyo, Ainun menderita kanker ovarium stadium 3 atau 4.

Habibie yang kaget segera saja ingin membawa Ainun ke Muenchen. Namun, urusan tiket dan visa tidak mudah. Kedutaan Jerman membantu, demikian pula maskapai Lufthansa. Buku menuturkan, Habibie masih sempat bertanya, bagaimana penerbangan yang sudah penuh bisa menyediakan dua tiket kelas 1, tiga kelas bisnis, dan satu kelas ekonomi? Kepala Perwakilan Lufthansa menjelaskan, begitu disampaikan keadaan yang dihadapi Ainun, spontan ada enam penumpang mengundurkan diri dan mereka semua bukan warga negara Indonesia.

Ainun pun kemudian dirawat di LMU Muenchen, sempat dioperasi hingga 11 kali. Tanggal 28 April, Prof Ginandjar (Kartasasmita) datang menjenguk sambil membawa surat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kemudian dibacakan Habibie di telinga Ainun. Tokoh lain yang sempat menjenguk Ainun adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.

Namun, dengan segala dukungan yang diberikan, upaya dokter tetap tak sanggup menaklukkan kanker Ainun yang amat ganas. Ainun pun akhirnya menghadap Sang Khalik pukul 17.30 tanggal 22 Mei 2010.

Tetap di sampingnya

Di manakah Ainun kini? Tentu ia telah beristirahat dengan damai di alam baka, pusaranya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Habibie yang pernah berjanji akan menemaninya di mana pun ia berada sempat bingung. Namun, ia lalu menemukan jawabnya karena jiwa, roh, batin, dan nurani mereka telah manunggal, dan atap berdua mereka adalah langit alam semesta. Habibie berkeyakinan bahwa Ainun tetap berada di sampingnya, dan ia di samping Ainun. Itu rupanya dapat meredam kegelisahannya.

Kini, menurut Habibie, istrinya telah berada di ”alam dan dimensi baru”. Dalam bab terakhir bukunya, Habibie merefleksikan Ainun dalam perpaduan religiusitas, kelahiran kosmos, evolusi manusia, hingga kelahiran komputer dan genetika.

Kata Watik Praktiknya, Habibie memilih menulis tentang almarhumah istrinya untuk menanggulangi kepedihan luar biasa karena kehilangan Ainun. Kini, melalui bukunya, masyarakat bisa belajar tentang ketulusan mencintai.

Selasa malam lalu, ahli aeronotika yang pernah jadi Presiden itu memberi kuliah kepada sekitar 2.000 orang yang menyesaki Puri Agung Hotel Sahid. Tak ada denting piano memainkan ”Romanza” dalam F ciptaan Tchaikovsky yang manis itu. Tapi, uraian Watik Pratiknya, Komaruddin Hidayat, dan Neno Warisman malam itu menyiratkan aura romantik yang memancar karena diluncurkannya sebuah buku tentang cinta yang indah.

Sumber: Kompas, Kamis, 2 Desember 2010

No comments: