Sunday, December 26, 2010

Tembakau dan Taktik

-- Heru Hikayat

TERSIAR kabar panen tembakau tahun ini kurang bagus. Mulai ada anekdot, tahun depan, kita harus berhati-hati. Apa hubungannya tembakau dengan seni rupa? Seperti dilansir majalah Forbes dalam daftar orang terkaya Indonesia, ada sejumlah pemilik perusahaan rokok. Dalam dunia seni rupa, telah dimaklumi bersama, sebelum bos-bos perusahaan rokok, para distributor tembakau pun kaya luar biasa, dan banyak yang menjadi kolektor lukisan. Beberapa di antara mereka terhitung kolektor dan pemilik galeri penting.

Apa boleh buat, soal pasar masih dominan. Sebab galeri di Bandung terlalu sedikit, perupa-perupa Bandung lebih sering berpameran di Jakarta. Kesuksesan beberapa perupa muda Bandung--mereka memulai kariernya pada pertengahan 2000-an--meningkatkan minat untuk menjadi seniman di kalangan mahasiswa seni rupa, sekaligus mempersempit orientasinya: memulai karier dengan berusaha mendapatkan kesempatan berpameran di galeri komersial. Suara umum para pemilik galeri di Jakarta adalah tahun ini jenuh: terlalu banyak pameran dengan isi yang datar-datar saja. Lelang lukisan tahun ini juga cukup banyak diselenggarakan, dengan hasil yang tidak lagi gempita. Sebagian pemilik galeri dan kolektor bilang, mereka tidak lagi antusias melihat undangan pembukaan pameran atau katalog lelang. Isinya sudah terduga dan fluktuasi harga pun tidak lagi dinamis.

Di Bandung, pameran paling menarik tahun ini adalah "Bandung New Emergence vol. 3" (BNE) di Selasar Sunaryo Art Space dan "Sang Ahli Gambar-Sketsa dan Gambar S. Sudjojono" di Galeri Soemardja ITB. Pada pameran pertama, Agung Hujatnikajenong (kurator Selasar Sunaryo Art Space) membuat terobosan baru dengan mengajak sejumlah perupa yang telah cukup mapan kariernya, tetapi juga tidak terlalu jauh beda umurnya hingga masih bisa dibilang sezaman dengan para perupa baru yang hendak "diperkenalkan" pameran ini, untuk menjadi--dalam istilah mereka--"rekan diskusi". Dengan demikian, pameran ini tidak sekadar menjadi ajang pemunculan wajah baru, juga jadi ajang tukar pendapat, dan berbagi pengalaman.

Jadinya pameran ini menyegarkan sebagai cara mengamati penampang terbaru seni rupa Bandung. Pameran kedua, sebaliknya dari pameran pertama, merupakan kesempatan berefleksi dari sejarah: mengamati keahlian seorang pelopor seni rupa modern Indonesia. Kita bisa mempelajari sketsa-sketsa sejumlah karya penting Sudjojono, hasil riset Aminudin TH Siregar (kurator/direktur Galeri Soemardja).

Pameran "Sang Ahli Gambar", diikuti oleh seri pameran dan sejumlah program publik di 17 tempat di kota Bandung, melibatkan lebih dari 200 seniman, di bawah tajuk "Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan" (SAGKK). Para seniman membuat karya berupa penghargaan pada figur Sudjojono, para pengelola ruang membuat sejumlah program publik yang mengelaborasi karya dan pemikiran Sudjojono. Model kegiatan ini mengingatkan pada Bandung Art Event (BAE) 2001. Kegiatan besar dan rampak yang terangkum dari kumpulan energi ruang-ruang seni di Bandung. Ini kegiatan seni rupa terbesar 2010 di Bandung, selain Pasar Seni ITB. Pasar Seni ITB, di mata saya gagal berhadapan dengan persoalan ruang publik kita. Pasar Seni ITB, karena skala kegiatannya dan mengambil tempat terbuka yang luas di mana orang banyak berkumpul, semestinya menjadi kegiatan yang berhadapan langsung dengan masalah ruang publik kita yang makin hari makin tidak ramah dan toleran.

**

SECARA umum ada tiga suara di sekitar pameran SAGKK. Suara pertama, menyambut baik inisiatif yang bersifat merangkum, karena memberi kesempatan lebih luas pada lebih banyak seniman untuk tampil, sambil menyayangkan kegiatan ini, justru karena merangkum, jadi kurang selektif dan kemungkinan tidak berkelanjutan--hanya menjadi keramaian sesaat. Suara kedua gelisah memandang kemungkinan keuntungan komersialnya. Karena sejak paruh kedua 2007 jumlah perupa Bandung yang mendapat apresiasi pasar meningkat, pameran gabungan ini dipandang sebagai "pemerataan" kesempatan di lapangan komersial juga. Suara ketiga fokus pada diskusi mengenai karya dan pemikiran Sudjojono, sambil mencari cara-cara untuk menafsirnya.

Apakah perkara menjadi seniman melulu soal tiga cara pandang ini? Lalu bagaimana dengan persoalan aktual macam problema ruang publik? Saya sampai pada perkara menjadi seniman karena memperhatikan peningkatan minat seperti yang sudah saya sebutkan, dan karena menemukan secarik kertas di arsip lama saya. Kertas berukuran 9,5 X 28 cm dengan tulisan tangan, "Saya mau jadi seniman." -Itu ungkapan dulu. Sekarang saya tahu, mana yang baik, mana yang buruk... tgl 28 Sept. `95.

Ini adalah satu dari sekian banyak teks yang terkumpul dengan cara nyaris kebetulan semasa saya mahasiswa FSRD ITB. Ristyo Eko Hartanto (lahir 1973), penulis teks ini adalah salah satu perupa yang menjadi "rekan diskusi" di pameran BNE vol. 3. Ia salah satu perupa Bandung yang kariernya cukup mapan, sejak dirintis dari penghujung dekade 1990-an. Selain mengikuti sejumlah pameran dan program residensi di mancanegara, Tanto (panggilan akrabnya) juga mendapat apresiasi baik dari pasar seni Indonesia sejak akhir 2007. Pada 1995, saat menulis teks itu, ia masih mahasiswa, menjadi seniman hanyalah satu dari sejumlah pilihan karier.

Nama Tanto mulai melejit 1999 ketika memenangi Philip Morris Indonesian Art Awards dan penghargaan juri pada Philip Morris ASEAN Art Awards. Tidak seperti umumnya pemenang penghargaan Philip Morris yang langsung menikmati apresiasi pasar lokal, Tanto kemudian pergi ke Belanda untuk mengikuti program residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Amsterdam, selama dua tahun.

Karya Tanto yang mendapat pernghargaan saat itu, seperti juga karya Isa Perkasa (pemenang Philip Morris Indonesian Art Awards 1998) merupakan komentar terhadap situasi sosial politik kita. Penghargaan berturut bagi Tanto dan Isa Perkasa dari kompetisi seni lukis bergengsi saat itu, mengukuhkan "kemenangan" tema-tema sosial-politik dalam seni, setelah sebelumnya gerakan aktivisme seni turut menyumbang pada gerakan menumbangkan rezim Suharto. Tanto, di masa-masa itu juga aktif dalam gerakan mahasiswa. Ia merupakan salah satu perancang-pelaksana pertunjukan multimedia "wayang subversif" di Jln. Ganesha Bandung. Hari-hari itu, gerakan protes makin menunjukan karakter teater. Ruas Jalan Ganesha depan gerbang ITB menjadi panggung tempat protes dilancarkan dalam bentuk yang makin artistik. Keterlibatan Tanto dalam aktivisme di ujung era Suharto, kemenangannya dalam kompetisi seni lukis bergengsi, kegiatan-kegiatannya di mancanegara, apresiasi pasar tahun-tahun belakangan ini, menjadi alasan saya memilih menutup laporan akhir tahun ini dengan mengulas pengalaman Tanto pada 2010. Lima belas tahun lalu ia menuliskan teks yang menggarisbawahi kegentingan pilihan menjadi seniman, lalu apa yang membuatnya bertahan hingga kini?

Tanto menyatakan, tahun ini bukanlah tahun yang dinamis. Ia merasa tidak mengikuti pameran yang terlalu penting. Kegiatan paling pentingnya adalah menjadi fasilitator di BNE vol. 3. Tanto tidak terlalu risau, karena ia lebih berfokus ke tahun depan. Ia dijadwalkan pameran tunggal di National University of Singapore. Singapura, memang melirik potensi besar seni rupa kita. Ketertiban infrastruktur, akses internasional yang lebih terbuka, dan jarak yang tidak terlalu jauh, membuat pameran di Singapura menjadi pilihan bergengsi bagi perupa kita tahun-tahun belakangan ini.

Ada hal lain yang menggelisahkan Tanto, yaitu mengenai karyanya sendiri. Mendapatkan kesempatan pameran di ruang dan waktu yang (dianggap) prestisius merupakan usaha tersendiri, sementara berkarya tetap merupakan proses yang harus terus digeluti seniman di studionya. Akhir 2007, apresiasi pasar membaik pada Tanto, pada seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test". Seri karya ini meliputi lukisan kanvas, gambar pada kertas, instalasi, dan video. Pameran tunggal terakhir Tanto, 2009, berjudul sama dan dianggap puncak penampilan seri karya ini.

Tahun ini waktunya bagi Tanto untuk melangkah, dengan kata lain ia harus meninggalkan "zona nyaman". Kebiasan Tanto memproduksi teks pendek masih berlanjut. Salah satu lukisan yang sedang ia garap berupa teks, "If we lose, i will destroy the world". Tanto menerangkan, ini adalah jawaban Kim Jong-il, pewaris tahta kedikatoran Korea Utara, pada ayahnya (Kim Il Sung) atas pertanyaan, "Apa yang akan kamu lakukan kalau negara kita terseret perang dan kalah?" Seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test" didominasi gambar potret "foto-realis", slapstik, orang-orang yang terkaget-kaget macam di film-film kartun Holywood. Tanto mengembangkan ide ini dari kekagetan dunia setelah Korea Utara melakukan percobaan senjata nuklir. Korea Utara terbukti mempunyai senjata pemusnah massal berhulu ledak nuklir. Berarti perkataan Kim Jong-il bisa jadi bukan ancaman kosong, bukan? Saya melihat karya teks ini menandai pergeseran ide dasar seri karya Tanto, dari "fear" (ketakutan) pada "angst". Angst, kata berbahasa Jerman yang telah diadopsi ke Bahasa Inggris, berarti "perasaan cemas, bersalah, atau penyesalan mendalam, terutama tentang keadaan dunia."

Terakhir mengunjungi studio Tanto, di salah satu dinding, tergantung karya teks lain, "Only paranoid will survive". Tanto adalah salah satu dari sedikit perupa kita yang terampil bermain di wilayah "seni dan bahasa". Ia terampil memadukan pilihan teks dengan penjelajahan visualnya. Teks-teks Tanto rapi dan tertib. Pendek kata, indah. Ada paradoks antara keindahan dengan isi teks. Karya seni jadi indah secara tragis. Lalu kenapa nadanya begitu pesimistis?

Saat menjalani program residensi di Belanda, Tanto sempat menyelanya dengan kegiatan di Lembah Bessengue di Douala, Kamerun. Seperti umumnya kesan tentang Afrika, Douala merupakan kota yang kumuh. Tanto dan kolega-koleganya kemudian merasa frustrasi: orang-orang di sana tidak butuh seni, yang mereka butuhkan adalah sanitasi, pendidikan, kemakmuran. Pada masa ini, Tanto mulai membuat gambar-gambar bertema kematian (Tanto rapi dalam pengarsipan, termasuk catatan dan sketsa karya). Pulang dari Bessengue, tidak lama kemudian adalah masa open studio di Rijksakademie. Masa karya para seniman di sana ditinjau oleh para pelaku medan sosial seni, sebuah kesempatan bagi mereka untuk dikenali. Tanto dan kolega-koleganya merasakan kejanggalan: kenapa aku berkesenian di ruang-ruang yang tertib dan serba terjaga ini sementara dunia di luar sana begitu buruk?

Sepulang dari Belanda, Tanto lebih sibuk berorganisasi dan menjadi fasilitator bersama Bandung Center for New Media Arts--kemudian berkembang jadi Common Room Network Foundation. Kegiatan berorganisasi menampung kegelisahan mengenai masalah-masalah aktual. Beberapa tahun sibuk di sini, Tanto tidak terlalu produktif berkarya dan berpameran. Ia kembali merasa janggal: ia ingin kembali berkarya seni. Kegelisahan-kegelisahan ini terpadu menghasilkan ide dasar "ketakutan" bagi seri karya Post-North-Korea Nuclear Test yang menjadi penanda penting pergeseran karya Tanto masa "Philip Morris" dan "Rijksakademie".

Berhasil memproduksi sejumlah besar karya yang mendapat sambutan baik tidak selalu menyamankan. Ini beban. Sambutan dari kritisisme seni adalah satu hal, sambutan dari pasar adalah hal lain. Kritisisme seni mudah mencap produksi berlebihan sebagai mandek, pasar sewaktu-waktu terancam jenuh. Tanto berhitung. Ia perlu waktu untuk mengembangkan karyanya. Berarti pameran-pameran harus dikurangi. Tetapkan satu gol pameran penting, pusatkan konsentrasi ke situ.

Lalu bagaimana dengan ide? Angst menjadi pilihan terusan sekaligus pembeda dari ide "ketakutan" yang dieksekusi merujuk pada sesuatu yang kasuistik sifatnya. Angst lebih ada di dalam diri. Kini Tanto sedang menimbang-nimbang dua pilihan, antara mengeksekusi ide Angst dengan cara yang membuat pelihat karyanya nanti merasakan kecemasan itu, atau mengekspresikan sesuatu dari dalam dirinya sendiri.

Pertimbangan mengenai pengembangan karya berkelindan dengan pertimbangan mengenai strategi berkarier. Tanto membayangkan sebuah piramida tiga jenjang. Jenjang paling bawah, paling lebar, adalah reputasi seniman, jenjang kedua adalah permintaan (pasar dalam arti luas), jenjang puncak adalah harga karya. Penghargaan atas karya hanya dampak dari dua jenjang lain. Bagi Tanto, pasar seni kita sering membuat piramidanya terbalik: harga karya menempati porsi paling lebar, sedangkan reputasi seniman menempati porsi terkecil.

Saya kira, paduan kekeraskepalaan dengan taktik macam yang dimiliki Tanto ini, berhadapan dengan dominasi pasar yang ditingkahi krisis moneter, infrastruktur yang terlalu sedikit berkembang, bisa menjadi harapan di 2011. Tahun yang, jika kita tidak cukup keras kepala mengembangkan diri, akan membuat kekurangdinamisan di 2010 makin memburuk.***

Heru Hikayat, kritikus

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010

No comments: