Sunday, November 01, 2009

Menyoal Aktor Perempuan

GERAKAN perempuan kini meggelinding ke arah penyamaan hak dan keterlibatannya dalam panggung politik. Perempuan bukan lagi kelompok manusia kelas kedua, meski secara nyata masih banyak perlakuan merendahkan perempuan di mana-mana. Isu perempuan pun bukan lagi isu sektoral yang mementingkan kelompoknya saja, tetapi sudah menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Dalam seni pertunjukan (teater), perempuan merupakan bagian penting dan senantiasa menjadi pembicaraan, baik sebagai subjek (pelaku seni) maupun objek (sumber gagasan dan inspirasi). Namun sejauh manakah kedua posisi ini dijalankan kaum perempuan? Jangan-jangan saat dirinya (perempuan itu) sebagai subjek, justru harus "terpatahkan" karena masalah gender. Terbukti, banyak aktor perempuan yang keberadaannya di panggung pertunjukan justru tidak berumur panjang sehingga agak sulit untuk dapat menakar konsistensi keaktoran perempuan di panggung pertunjukan.

Fenomena lain menunjukkan, potret aktor perempuan di panggung layar lebar, sinetron, dan seni tradisi justru berbanding terbalik. Hermana H.M.T. dari Bandoeng Mooi mengatakan, sosok perempuan tak pernah lepas dari perannya di panggung-panggung tradisi. Dalam berbagai upacara adat, pastilah perempuan menjadi bagian dari upacara tersebut.

Alasan ini yang mendorong Hermana H.M.T. dan Bandoeng Mooi merasa perlu menggelar "Temu Monolog Perempuan 2009" di Gedung Kesenian Sunan Abu, STSI Bandung, 22-23 Oktober. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberi ruang (lagi) kepada aktor perempuan dalam mengeksplorasi kemampuannya di panggung pertunjukan teater, baik sebagai sutradara, pelaku pentas, maupun sebagai "pembicara" yang menerjemahkan karya-karyanya ke hadapan masyarakat kesenian.

Namun, rupanya, panggung yang menghadirkan aktor perempuan dari berbagai daerah ini -- seperti Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Lampung -- cenderung menjadi ajang "keluh kesah" perempuan. Bahkan, batasan monolog pun menjadi kabur. Seperti lakon monolog "Kisah Cinta Neng Kokom" yang dimainkan Riska Fauziah dari KNL Bogor yang tidak jauh berbeda dengan kabaret.

Sayangnya, acara ini pun tidak menyediakan ruang kritik pasca pementasan. Akibatnya, tidak dapat dijelaskan lebih jauh bagaimana potensi aktor perempuan di panggung seni pertunjukan. Inilah pekerjaan rumah yang menurut Hermana H.M.T. harus dilanjutkan.

**

UNTUK mengetahui alasan mengapa aktor perempuan cenderung tidak berumur panjang di panggung, sutradara sekaligus seniman Iman Soleh mengatakan, teater adalah sebuah proses, sedangkan proses itu adalah waktu. Waktu yang dibutuhkan untuk berteater bukan dalam hitungan bulan atau tahun, tetapi seumur hidup.

Persoalan waktu inilah yang menurut aktor perempuan Rin Rin Candraresmi tidak dapat "ditaklukkan" lagi oleh aktor perempuan mana kala dia sudah menikah. Sebab setelah menikah, aktor perempuan itu tidak melulu menggunakan waktunya untuk berteater, tetapi harus juga komit dengan segala kesibukan rumah dan keluarga.

Padahal, berteater bukan saja harus mengolah batin dalam memerankan sosok yang dimainkan, tetapi juga membangun intensitas hubungan dengan tokoh yang dimainkan. Dua perkara ini bukan pekerjaan mudah karena satu sama lain saling berkaitan. Seorang pemain tidak akan bermain bagus bila tidak dapat membangun intensitas permainannya dengan lawan main.

Sementara untuk membangun intensitas diperlukan latihan rutin yang tidak terpotong. "Mood" permain akan sangat terganggu bila pemain terganggu latihannya. Bagaimanapun bermain teater adalah bermain membangun hubungan batin antartokoh satu dengan yang lainnya. Tuntutan ini yang kemudian menyulitkan aktor perempuan untuk konsisten bermain walaupun dirinya telah menikah. "Karena di luar panggung, kita juga harus komit kepada keluarga," ujar Rin Rin.

Lagi pula tidak banyak perempuan yang berani menjadikan panggung teater sebagai jalan hidup. Pengalaman Rin Rin menunjukkan, ia berangkat memasuki panggung pertunjukan dengan beberapa kawan. Namun kini, Rin Rin sendirian. Kalaupun masih ada aktor perempuan yang sampai kini masih tetap berkiprah, cenderung lebih memilih peran di belakang panggung, seperti menjadi dosen atau guru kesenian.

Menurut Hermana, aktor perempuan yang tetap berkiprah di panggung karena profesinya sebagai dosen tidak dapat dikatakan sebagai cara bertahannya seorang aktor perempuan dalam menggeluti profesi keaktorannya.

Pasalnya, profesi dosen atau pendidik memang sudah seharusnya mengembangkan dunia keaktoran dan itu bukan menjadi profesi utama sebab profesi utamanya sebagai guru atau dosen. Berbeda dengan aktor perempuan yang memang memilih keaktorannya sebagai profesi. "Ini yang sangat langka," ujar Iman yang diamini Hermana.

Jumlah perempuan sebagai aktor memang sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Jauh lebih sedikit lagi yang bermain untuk monolog atau menjadi sutradara. Kendati begitu, Rin Rin menolak bahwa konsistensi keaktoran seorang perempuan ditentukan oleh keaktoran atau kesenimanan suaminya. Konsistensi perempuan di panggung pertunjukan ditentukan oleh dirinya sendiri.

Fenomena lain yang menjadi penyebab sedikitnya aktor perempuan yang berumur panjang eksis di panggung pertunjukan menurut Iman Soleh karena banyak kelompok teater yang berangkat dari dunia kampus atau dunia pelajar. Otomatis pada saat aktor perempuan itu menyelesaikan pendidikannya, selesai pula peran keaktorannya di atas panggung.

Padahal dari teater kampus pernah muncul nama Ima (Stuba Unisba), Fitri (UPI), atau Sri dari STSI, serta beberapa lainnya. Namun, karena pendidikan mereka selesai, keaktoran mereka ikut selesai.

**

FENOMENA tersebut menurut Iman Soleh justru berbeda dengan potensi aktor perempuan itu pada saat bermain. Potensi keaktoran perempuan di panggung pertunjukan, menurut Iman Soleh, sangat baik. Terutama "penghayatan" perempuan Indonesia yang memiliki sensibilitas yang memukau dengan talenta bagus, serta suara dan bakat sangat baik sekali.

Bahkan, bila kiprah para perempuan di panggung teater ini napasnya bisa panjang (baca konsisten), kata Iman, kehadiran perempuan di panggung teater dapat menjadi gerakan kesadaran yang sangat kuat bagi budaya Indonesia, khusus di teater.

Beberapa aktor perempuan telah melakukan semangat itu, di antaranya Rieke Diah Pitaloka dengan Yayasan Pitaloka atau Yayasan Ungu yang memberikan sokongan terhadap pementasan-pementasan yang menyuarakan tentang perempuan. Bahkan, di Lampung ada Ruth Marini dari Teater Satu Lampung yang bergiat menyuarakan persoalan-persoalan perempuan.

Kalaupun berbicara tentang potensi dan kualitas permainan para aktor perempuan, khayalak dapat menilai. Siapa yang tidak mengenal Ninik L. Karim, Ratna Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Ria Ratu Mona, dan belakangan muncul Cornelia Agatha serta Happy Salma yang bekerja keras "keluar sementara" dari keartisannya demi menekuni pentas teater di panggung pertunjukan.

Di Bandung terdapat juga nama-nama seperti Yati dan Nuring dari STB (Studi Teater Bandung), Ria Mifesa di Laskar Panggung, dan ada Rin Rin Candraresmi yang bermain secara lepas dari satu komunitas teater yang satu ke komunitas yang lainnya. Para aktor perempuan ini termasuk jumlah yang sangat sedikit yang masih konsisten melakoni keaktorannya.

"Konsistensi itu tidak melihat waktu, uang yang dibayarkan, atau potensi dalam berkesenian. Konsistensi itu bagi saya adalah ibadah. Berteater itu juga adalah ibadah. Sama halnya dengan keyakinan para perempuan lain dalam melakoni pilihan hidupnya," ujar Rin Rin.

Sikap ini, menurut Iman Soleh, hadir karena mereka menyatakan bahwa teater adalah sikap hidup. Keyakinan mereka untuk bertahan terus di panggung teater karena teater adalah hidupnya. Berteater bukan lagi sekadar pekerjaan.

"Dia berekspresi karena ada kecemasan dan kegelisahan yang terus-menerus. Jika sudah menjadi seniman seperti itu, pastilah konsisten. Karena teater sudah menjadi daya hidup bukan gaya hidup yang tidak pernah bertahan lama," tuturnya. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 1 November 2009

No comments: