-- Wayan Kun Adnyana*
BEBERAPA alumni perguruan tinggi seni memang terbukti berhasil populer menjadi seniman profesional. Menyatakan ini semata hasil kerja pendidikan di perguruan tinggi seni, sepertinya kurang arif. Terang, sangat banyak peran suprastruktur dan infrastruktur seni yang bekerja untuk menjadikan mereka tumbuh-diakui sebagai seniman. Perguruan tinggi seni dan segenap alumninya juga tidak bisa lepas dari hadirnya stimulus dan medan kompetisi kreatif dari luar diri. Menjadikan semua komponen stimulus itu sebagai bagian integral dalam diri jelas keharusan. Bukankah yang dipandang sebagai art world; sirkuit sinergi berbagai komponen supra/infrastruktur—yang menubuhkan seni sebagai kompetensi unggul kebudayaan manusia—di zaman kini komponennya telah begitu melebar. Sosiolog seni ternama Howard S Becker memproklamirkan ini sejak tengah tahun 1980-an, yang membaca eksistensi seni di ruang makro sosial manusia sebagai pelintasan dialogis tak berkesudahan antarberbagai komponen itu. Sementara, kalau pendidikan seni bersikukuh merasa digdaya seorang diri dalam mengorbitkan seni, jelaslah sangat keliru.
Maka dari itu, sejatinya penguatan fungsi dan daya hidup pendidikan seni akademis pada kampus seni memang sangat perlu. Menjalin kerja sama sesama perguruan tinggi bidang seni juga penting. Membuat event seni berkualitas nasional dan bahkan kalau mampu menginternasional terang menjadi kebutuhan. Dari pandangan pengajar golongan rendahan seperti saya—semoga tidak terlalu salah—sepertinya hal-hal tersebut ini hendak dijawab dengan mendirikan Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI), dengan event berlabel Festival Kesenian Indonesia (FKI), dan dengan dilengkapi organisasi guru besar dan empu seni di dalamnya. BKS-PTSI ini seperti publik umum ketahui hanya menghimpun tujuh perguruan tinggi seni, yakni STSI Padangpanjang, IKJ Jakarta, STSI Bandung, ISI Surakarta, ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, dan STKW Surabaya. Kenapa hanya tujuh perguruan tinggi? Inilah awal kecemasan saya. Bahkan berembus kabar betapa teman di Bandung, Surabaya, dan juga Makasar geregetan tentang institusi ini.
Pertanyaan kenapa harus cemas dan geregetan, di antaranya berangkat dari dasar logika di paragraf awal tulisan ini, bahwa memang seni tidak berlangsung dan lahir dari ruang hampa. Pun, seni juga tidak akan eksis oleh dirinya sendiri. Teramat banyak supra/infrastruktur terkait medan seni yang harus terlibat. Hal ini telah berlangsung dan tak dapat ditolak. Taruhlah, seorang calon perupa lahir dengan bakat badan dan lingkungan, berikutnya berinteraksi dengan dunia pendidikan seni formal, di tengah-tengah itu sudah pasti juga diasah oleh art world yang lain, seperti media massa, kritikus independen, lembaga kurator, institusi museum/art space/galeri, dan juga lembaga event seni yang lain. Termasuk tentunya lingkup kebudayaan makro yang menerpa dunia keseharian. Jalan interaksi kesemua suprastruktur dan infrastruktur ini sudah dapat dipastikan tidak mampu dijembatani oleh semata kemampuan perguruan tinggi seni seorang diri. Andaikan pun membentuk BKS-PTSI kurang lebih pola-pola manajerialnya akan tidak jauh beda sebagaimana dilakukan secara mandiri oleh sebuah kampus seni. Sehingga pertanyaan kenapa harus cemas dan geregetan, sekiranya semakin menemukan titik urgensi.
Logika lain yang bisa disodorkan adalah fakta lapangan. Teramat banyak seniman seni pertunjukan, seni rupa, dan desain andal lahir justru dari perguruan tinggi yang tidak masuk dalam keanggotaan BKS-PTSI ini, sebut misalnya Tisna Sanjaya yang telah sempat mengikuti Venice Biennale dari FSRD ITB Bandung, atau Dicky Candra dari ”IKIP” Makassar yang acapkali memenangi kompetisi seni patung di China, Ahmad Sopandi yang mengeksplorasi secara canggih warna-warna alam dari Universitas Pendidikan Negeri Jakarta, dan masih banyak lagi yang lain. Pemikir seni, yang boleh dipandang sebagai empu pemikiran seni, juga banyak muncul dari perguruan tinggi lain, seperti Prof Romo Mudji Sutrisno, Prof Edi Sedyawati dari FIB Universitas Indonesia, Prof Setiawan Sabana dari FSRD ITB Bandung, Dr St Sunardi dari Fakultas Ilmu Budaya dan Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Prof Sunaryono Basuki dari Undiksa Singaraja. Sosok kurator juga datang dari FSRD Bandung, seperti TH Aminudin Siregar, Rizki A Zaelani, atau dari Universitas Negeri Surabaya Dr Djuli Djatiprambudi, atau Undiksa Singaraja seperti Hardiman.
Mendiknas baru
Andai pendirian BKS-PTSI adalah wahana untuk turut menjawab tantangan perguruan tinggi seni dalam melahirkan pencipta/penata/kreator seni, manajer seni, pengkaji/kritikus/kurator/pemikir seni, dan juga pendidik/pengajar seni yang kompetitif dan profesional, seyogianya lembaga ini harus berbesar hati untuk mengajak karib seperjuangannya, yakni kesemua lembaga pendidikan tinggi yang menaungi perihal pendidikan seni itu. Sesungguhnya perluasan keanggotaan semata perguruan tinggi juga tidak cukup. Perlu menggandeng berbagai komponen lain, seperti museum dan lembaga kurator/kritik independen.
Melihat perjalanan Festival Kesenian Indonesia (FKI) yang telah berjalan enam kali, dengan kualitas yang datar-datar—selain ada perkembangan kecil pada FKI-IKJ tahun ini lewat terbentuknya tim kurator khusus, dan juga jalinan kerja sama dengan media massa yang cukup baik— sekiranya butuh lompatan berarti untuk menjadi festival berkualitas. FKI semestinya mampu menjadi etalase keunggulan, bukannya malah berhenti menjadi event rutin.
Sekiranya kini momentum, bagaimana Menteri Pendidikan Nasional baru Prof Dr M Nuh bersedia memancangkan tiang sejarah untuk kembali mendialogkan posisi BKS-PTSI ini.
Dengan adanya perluasan supra/infrastruktur di dalam tubuh BKS-PTSI, tentu saja iklim kompetisi akan terjaga. Ini awal menuju pelintasan tumbuh-kembang seniman, kritikus/kurator, manager, dan juga pengajar seni yang berkualitas.
* Wayan Kun Adnyana, Penulis Seni, Pengajar di FSRD ISI Denpasar
Sumber: Kompas, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment