-- Ilham Khoiri
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Instalasi berjudul Square Body-Kanda Empat karya Mella Jaarsma dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Pameran semi retrospektif bertajuk The Fitting Room memamerkan puluhan karya Mella Jaarsma sejak 1993. Pameran akan berlangsung hingga 8 November 2009. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, berusaha mengikat kesadaran bersama pada persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Namun, hingga kini ikrar 81 tahun lalu itu masih sulit terhayati sebagai dasar kebudayaan bangsa. Benarkah kita telah menyadari, memahami, dan memberlakukan dengan pas kenyataan Indonesia sebagai bangsa dengan beragam budaya?
Pertanyaan itu mengiang-ngiang saat menyaksikan pameran Mella Jaarsma (49) bertajuk ”The Fitting Room” di Galeri B-C, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 27 Oktober-8 November ini. Pergelaran dengan kurator Agung Hujatnikajennong ini menampilkan berbagai drawing, instalasi, video, dan lukisan Mella sejak tahun 1993 sampai sekarang.
Apa kaitan pameran Mella, seniman kelahiran Belanda yang tinggal di Yogyakarta, dengan Sumpah Pemuda? Karya-karyanya mengusik perbincangan serius soal identitas dan keberagaman budaya Indonesia, yang masih kerap memicu persoalan di tengah masyarakat.
Coba karya instalasi berjudul ”My Name is Michaella Jarawiri”. Ada 150-an koteka asal Papua dalam berbagai bentuk dan bahan dijejer di dinding. Di tengah ruang diputar dua video yang menayangkan cara masyarakat di sana membuat dan mengenakan koteka.
Di belakang video didirikan dua kamar pas berselubung kain hijau. Pengunjung dipersilakan mencoba beberapa koteka yang digantung di kamar itu. Reaksi penonton sungguh menarik, seperti pada pembukaan pameran, Selasa (27/10) malam lalu.
Sebagian bengong karena baru kali itu menatap koteka. Sejumlah perempuan menyingkir karena ”jijik”. Beberapa melirik malu-malu. Namun, ada juga beberapa pemuda penasaran yang mencobanya, meski tanpa buka celana.
Tak jauh dari situ, ada instalasi lain berjudul ”The Followers”. Seorang model membungkus tubuhnya dengan semacam jubah penuh puluhan emblem. Ada simbol partai, organisasi sosial atau agama, persatuan profesi, sekolah, kelompok pemuda, atau rumah sakit. Semuanya ditempel jadi satu.
Ketika berbagai emblem ditata secara bersamaan begitu, simbol-simbol identitas kelompok yang telah akrab itu tiba-tiba tampak aneh. Beberapa orang bertanya, mungkinkah kita menjadi fanatik kepada kelompok yang sebenarnya hanya tempelan ini?
Instalasi lain, ”Ziper Zone, Master of Your Domain”, menampilkan seseorang hampir telanjang sedang bersembunyi di balik tabir kain. Tabir itu dipenuhi retsleting yang bisa dibuka-tutup pada hampir semua sisi. Pengunjung bisa menarik retsleting tabir itu sesuai kemauannya.
Katalog mencatat, karya ini mewakili hasrat manusia urban untuk menampilkan diri dalam dunia informasi sekarang—katakanlah lewat jejaring dunia maya Facebook. Kita ingin membuka sisi baik diri kita seluas-luasnya, tetapi sekaligus hendak menutupi sisi buruknya. Ini seperti permainan buka-tutup identitas sesuai kemauan individu.
Beberapa karya Mella lain juga unik. Seniman ini banyak menampilkan idiom selubung dalam berbagai wujudnya, seperti pakaian, kerudung, hijab, tenda, atau rumah. Semua itu jadi sarana untuk membongkar soal identitas dan kontradiksi budaya di dalamnya
Menjadi
Pameran Mella Jaarsma menjadi menarik dilihat dari perspektif Indonesia. Karya dan respons pengunjung pada pergelaran ini mencerminkan, bangsa ini belum tuntas menegosiasikan keragaman budaya menuju sintesis identitas. Reaksi penonton terhadap koteka, misalnya, mencerminkan, betapa kita belum memahami bagian dari budaya bangsa ini.
Respons pengunjung itu sejatinya juga mewujud dalam kehidupan nyata, bahkan memicu benturan keras. Sebut saja deretan konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di negeri ini. Setelah hegemoni kekuasaan Orde Baru runtuh, benturan SARA meletup di banyak tempat.
Konflik terjadi lantaran proses memahami keberagaman dan mendudukkannya secara pas dalam bingkai Indonesia belum selesai. Persoalan ini bisa kita tarik dalam kancah lebih luas.
Pada satu sisi Indonesia dikaruniai kekayaan tradisi, katakanlah seperti Papua punya koteka, Jawa dengan belangkon, atau Bali memiliki pemahaman spiritual soal sekala dan niskala. Pada sisi lain kita masuk dalam arus modernisasi yang menuntut sikap lebih rasional, praktis, mungkin juga berorientasi pasar. Saat bersamaan, ledakan teknologi informasi menggiring kita pada kehidupan budaya global yang serba cepat, instan, lintas batas, dan penuh ragam citraan.
Mella membantu kita untuk menyadari tantangan ini lewat bahasa rupa interaktif sekaligus provokatif.
Provokasi itu bisa membuka pikiran kita untuk membongkar bilik-bilik dalam budaya. Bilik-bilik begitu rumit, tumpang tindih, berlapis-lapis, dan kerap kontradiktif.
Berjarak
Bagaimana Mella bisa mengutak-atik kompleksitas budaya di Tanah Air dengan cara unik? Itu karena posisi dia berada di ruang perbatasan antara orang asing dan orang dalam.
Mella, lulusan Fine Art Academy Minerva, Groningen, Belanda, datang ke Indonesia tahun 1984. Dia belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kemudian di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tahun 1986 dia menikah dengan seniman Nindityo Adipurnomo dan kemudian tinggal di Yogyakarta.
Perempuan ini mengaku sangat tertarik dengan seni budaya Indonesia. Seni di sini memiliki kaitan erat dan hidup dengan masyarakat dan mendorong dia untuk memikirkan kehidupan dan eksistensi diri sendiri.
Mirip penelitian seorang antropolog, dia menemukan aneka ekspresi budaya di Nusantara. Namun, dia juga melihat pertarungan antarbudaya akibat kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan agama. Keberagaman itu kerap disalahpahami, diberlakukan tak adil, bahkan mungkin ditindas.
”Saya bisa menangkap dengan jernih karena bisa mengobservasi dari luar, sekaligus merasakan dari dalam,” katanya.
Mella menuangkan tangkapan dan gagasannya dalam bahasa seni rupa. Dia memilih idiom kostum dalam beragam bentuk karena media ini dianggap lebih akrab dengan siapa pun, mudah memancing interaksi, dan bisa mencerminkan pergulatan identitas. Pameran ”The Fitting Room” bisa jadi semacam tanda bahwa pergulatan itu masih terus berlangsung.
Sumber: Kompas, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment