BERBINCANG dengan Mely G Tan selalu menyenangkan. Usia yang melampaui 79 tahun pada tanggal 11 Juni lalu tak terlihat pada fisiknya yang tetap gesit, segesit pikiran-pikirannya yang masih terus dia tuangkan dalam tulisan.
”Baru saya selesaikan satu paper untuk Singapura. Juga tentang peranakan Tionghoa,” kata Mely di teras rumahnya di Jakarta Selatan, Senin (26/10) pagi. Dia masih aktif di di Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan dan terus meneliti.
Di rumah itu, ia tinggal bersama satu saudara lelakinya. Kakak perempuannya yang tinggal di Amerika Serikat sedang berkunjung, bersamaan dengan Mely menerima Nabil Award di Jakarta, Kamis (22/10).
Waktu luang Mely dihabiskan dengan membaca dan mendengarkan musik klasik dan musikal meskipun buku adalah sahabat setianya. Ruang tamunya hanya diisi dua kursi, sementara dinding berisi lemari dipenuhi buku.
Beragam buku dibaca Mely, termasuk novel.
”Saya senang baca novel, terutama novel sejarah. Saya juga senang novel thriller yang bertalian dengan ketegangan,” kata Mely.
Sesekali dia menonton televisi, termasuk sinetron, yang ditayangkan saluran dari Korea, KBS. ”Ada beberapa bagian yang tidak masuk akal, tetapi lumayan untuk memberi selingan segar,” kata Mely.
Pilihan hidup Mely, anak ketiga dari lima bersaudara, berbeda dari jalan yang ditempuh kedua orangtuanya. Ibunya mewarisi jiwa wiraswasta dari orangtuanya yang pernah memiliki toko serba ada terbesar di Kalianda, Lampung. Ayahnya yang pernah bekerja di perusahaan Belanda dan belajar tata buku di Jakarta akhirnya memiliki usaha sendiri seperti banyak orang Tionghoa lainnya.
Mely dan kakak perempuannya menjadi sarjana pertama di lingkungan keluarga dan ternyata berhasil. Salah satu tonggak penting perjalanan karier keilmuan Mely adalah ketika dia oleh ketua jurusannya, Prof Tjan Tjoe Som, diminta membantu penelitian antropolog dari Cornell University, New York, Prof G William Skinner, tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia.
”Saya menjadi satu dari tiga asisten Prof Skinner. Penelitian saya di Sukabumi. Janjinya, siapa yang hasil penelitiannya terbaik akan mendapat beasiswa ke Cornell,” tutur Mely. Dan memang, Mely yang mendapat beasiswa untuk program master itu. Dia berangkat pada tahun 1959 segera setelah mendapat gelar doktorandanya di UI.
Sebelumnya, pada tahun ketiga di jurusan Sinologi UI, Mely yang sudah mengambil sosiologi sebagai pelajaran minor.
”Saya menyadari lebih tertarik pada sosiologi setelah ikut sayembara penulisan dari Lingkaran Ilmu Pengetahuan Katolik. Saya memilih orang Katolik Tionghoa di Jakarta. Orangnya terbuka sekali sementara saya masih mahasiswa. Itu penelitian empiris pertama saya. Itu juga yang membuat saya berpikir untuk lebih baik mempelajari sosiologi daripada sinologi,” papar Mely.
Meskipun telah menulis banyak buku, satu hal yang tetap membanggakan Mely sampai saat ini adalah diterbitkannya tesis masternya yang berjudul ”The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and Cultural Accomodation” sebagai salah satu monograf Cornell Modern Indonesian Project.
Tentang perkembangan ilmu- ilmu sosial di Indonesia, Mely menaruh harapan besar kepada para ilmuwan muda yang ada di universitas dan lembaga penelitian. ”Mestinya mereka lebih banyak menulis, membuat publikasi, supaya lebih banyak diketahui masyarakat. Itu penting sekali,” kata Mely. (Ninuk MP/Maria Hartiningsih)
Sumber: Kompas, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment