Saturday, November 07, 2009

Potret Manusia dalam Sekarini

-- Khisna Pabichara*

MANUSIA adalah binatang berpikir, demikian ditegaskan filsuf besar, Aristoteles. Artinya, satu-satunya potensi besar yang membedakan manusia dengan binatang adalah karena manusia memiliki akal. Akal ini merupakan aset unik yang bisa menegaskan keunggulan manusia dari binatang. Dengan akal, manusia bisa menjadi "binatang beradab".

Dengan akal pula, manusia bisa mengendalikan karakter kebinatangannya. Ihwal inilah yang didedahkan dengan lugas oleh Vivi Diani Savitri dalam sekumpulan cerita pendeknya, Menanti Sekarini. Bermula dari kegelisahan, Vivi seakan menghunjamkan rupa-rupa tanya perihal ketergeseran atau malah kembalinya perilaku dan tabiat manusia pada dominasi karakter kebinatangannya.

15 cerpen yang dianggit Vivi, seperti menguak penegasan Thomas Hobbes (1588-1679) tentang karakter binatang lebih tepatnya iblis dalam diri manusia. Lewat Kasih Sukesi, pengarang memotret wajah perempuan yang sudah tidak memercayai kesejatian cinta tapi memasrah-serahkan diri pada Larno, lelaki yang menjadikannya semata sebagai batu loncatan untuk menjalankan rencana besar: menguras isi rumah majikannya.

Pada Minyak Tawon, Vivi menohok imajinasi kita lewat sosok perempuan bermuka dua tidak mau diduakan sementara dia sendiri merebut Effendy dari tangan istri dan putrinya yang meradang begitu menemukan "Bosnya Effendi" ada "main" dengan tukang pijat, Linda. Di lain pihak, Linda, perempuan yang dicemburui oleh perempuan bermuka dua itu, menjalani profesi "tukang pijat" tidak semata untuk mengendurkan syaraf pelanggannya, tapi sekaligus sebagai jalan mencarikan "ayah baru" bagi putranya.

Potret Sundari, ibu yang lembut, penuh kasih sayang, dan telaten mengurus anak-anaknya, bisa tiba-tiba menjadi kalap ketika menemukan kertas kumal berisi rajukan dan protes Nina, perempuan muda bekas calon sekretaris suaminya, karena tidak lulus dalam enam bulan masa percobaan, padahal sudah sering "digarap" oleh suaminya. Cerpen Saat Sundari Bunuh Diri ini dianggit dengan ciamik dalam meneropong batin perempuan tegar yang bisa kalap bunuh diri karena diamuk karakter kebinatangannya.

Ada juga kisah lelaki bonafide, Bahri, yang dua putranya dari dua perempuan berbeda dalam kondisi kritis. Lelaki itu merasa dilematis, bak makan buah simalakama, apakah hendak menjenguk putranya dari istri sahnya atau dari istri simpanannya. Memilih jalan yang aman, Bahri membesuk putra dari istri sahnya. Alih-alih terlepas dari himpitan beban, kabar tentang kesuksesan operasi malah menguarkan keperihan baru, anaknya yang lain dari perempuan lain tidak dapat diselamatkan. Ironis. Sekaligus, tragis.

Tapi, sesederhana itukah pencapaian etis Menanti Sekarini? Tidak. Semula, terbukti lewat Minyak Tawon, Menanti, Tabuh Sunyi Sebelum Mati, angka & Sarita, juga Menanti Sekarini, Vivi menawarkan langgam penceritaan yang khas dengan keterampilan estetik yang penuh pukau. Namun, lantaran muatan gagasan besar yang diusungnya, sesekali dia terlihat tersendat.

Anehnya, ketersendatan yang "tak disengaja" itu malah bisa jadi bumbu penyedap yang dapat dengan hebat merangsang hajat pembacaan.

Di ranah etik, Vivi melakukan perlawanan sporadis dan pragmatik terhadap kepalsuan watak manusia. Ada maklumat yang disampaikan secara tersirat olehnya, sebuah ajakan untuk menyandera karakter kebinatangan lewat fasilitas akal yang dimiliki setiap manusia. Menurutnya, manusia modern itu, lewat karakter tokoh-tokohnya berhasil mendedahkan kiasan perihal sisi buram kehidupan dalam konstelasi kehidupan masa kini. Pengarang menawarkan sebuah kemungkinan baru untuk menerabas kembali lelaku buruk manusia dalam ritus kehidupan yang menyehari.

Tawaran untuk membuka ruang baru yang lebih manusiawi. Jika itu berhasil dilakukan, perilaku agresif dan destruktif, bahkan irrasionalitas yang menyelimuti perilaku "pejabat negara" dan politisi, seperti korupsi, pesiar nirmakna dan selingkuh, bisa dihindarkan. Memang, tidak semudah itu. Tapi, itulah gagasan mulia yang disodorkan Vivi kepada "umat pembaca".

Di ranah estetis, mantan None Jakarta Selatan ini datang dengan asongan cerita yang menarik.

Kehidupan duniawi, sebagai ruang persinggahan bagi manusia-manusia modern, ditumpahkan ke dalam cerita menawarkan kebaruan, hasil dari eksperimentasi bentuk yang dilakukan secara serius. Eksperimentasi bentuk yang memberi banyak kemungkinan pembebasan pada langgam pakem yang ada selama ini. Kita dapat menikmati suguhan menarik pada Angka dan Sekarini atau Tahi Lalat. Kita diajak menyeruput banyak "petuah terselubung" tanpa harus merasa digurui, apalagi dihakimi.

Pengarang seolah ingin memastikan kepada "khalayak pembaca", bahwa semua manusia itu bertopeng. Topeng yang menutupi karakter asli manusia, karakter kebinatangan. Potret buram lewat aroma ketidakpuasan, budaya kelabu-mengelabui, bahkan "pengkhianatan" seorang mantan demonstran yang dulu getol membela rakyat kemudian jadi pragmatis demi kebutuhan hidup sanak-keluarga. Baginya, tak ada sesuatu yang bisa dimaklumatkan oleh manusia, selain basa-basi, kepalsuan, dan kebohongan. Kalaupun ada sosok yang menawarkan kesetiaan dan kekukuhan cinta, itu semu dan palsu. Tetap menyertakan pamrih.

Semacam isyarat: memberi karena ingin menerima yang lebih.

Maka, pengabaran lewat kombinasi cantik antara kecerdasan estetis dan etis dalam Menanti Sekarini, belumlah bermakna apa-apa sebelum kita letakkan kembali fitrah kita sebagai manusia, lengkap dengan karakter kebinatangannya. Hanya saja, kita sertakan saringan bernama akal untuk mengawal kita menuju "maqam manusia yang manusia" ***

* Khisna Pabichara, penyair, cerpenis dan esais, tinggal di pinggiran Jakarta. Tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Riau Pos, Padang Ekspress, Batam Pos, dan media maya

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 7 Nopember 2009

No comments: