[JAKARTA] Kekisruhan ranah politik terkait kasus buaya versus cicak, hingga kini terus memanas. Kasus yang ditayangkan bak sandiwara di media massa, berhasil mengundang banyak perhatian. Bahkan, dua seniman kawakan asal Yogyakarta, Djaduk Ferianto dan Butet Kertaradjasa tidak mau ketinggalan tren buaya dan cicak.
Seniman Butet Kertaradjasa bermonolog membawakan cerita Jaka Tingkir dalam pentas Orkes Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto (kedua dari kanan) "Buaya Keroncong Gendong Cicak" di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (5/11). (SP/Alex Suban)
"Di dunia politik, buaya bermusuhan dengan cicak. Tetapi, di dunia kami (Butet dan Djaduk, Red), buaya menggendong cicak. Jadi, dua binatang melata ini berteman baik, bukan saling santap-menyantap," seloroh Butet dalam sebuah pertunjukan monolog bertema Buaya Keroncong Gendong Cicak di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (5/11) malam.
Tema Buaya Keroncong Gendong Cicak, memang sengaja dipilih oleh Djaduk dan Butet. Sebab, fenomena buaya tengah booming di Indonesia. Buaya bukan hanya dikenal sebagai binatang buas, tetapi juga bermakna "buas" untuk segala hal.
Fenomena buaya, dikatakan Butet, sudah ada sejak lama. Sebelum muncul kasus buaya (kepolisian) vs cicak (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), binatang melata ini kerap menjadi objek perumpamaan.
Dalam tata bahasa Indonesia, istilah buaya banyak digunakan untuk hal-hal negatif. Sebut saja buaya darat yang berarti lelaki hidung belang, air mata buaya sebagai kata ganti kemunafikan, dan buaya keroncong untuk sebutan maestro keroncong.
Monolog interaktif yang berlangsung selama hampir 2,5 jam, juga berhasil mengocok perut penonton. Celetukan, ledekan, dan sindiran seniman kakak-beradik ini padat fakta. Di mata Djaduk dan Butet, kasus KPK vs Kepolisian tak ubahnya seperti lakon sandiwara. Hebatnya, sutradara sandiwara buaya vs cicak lebih piawai ketimbang Slamet Rahardjo.
"Semua film dan sinetron di Indonesia, jelas kalah dengan kisah buaya vs cicak ini. Bahkan, rating televisi dan oplah media cetak melesat karena kasus fenomenal ini. Fakta tersebut membuktikan Indonesia adalah negara maju dalam hal korupsi dan ketidakadilan," lontar Djaduk.
Hidup Maling
Tidak hanya menampilkan monolog Buaya Keroncong Gendong Cicak, Djaduk juga menghibur penonton dengan lagu-lagu lelucon ala Orkes Sinten Remen.
Lagu Maling Budiman kembali dinyanyikan Djaduk bersama orkes Sinten Remen. Lagu yang diciptakan pada 2006 lalu ini bertutur tentang posisi terhormat "maling-maling" di Indonesia. Maling berdasi ternyata bisa ongkang-ongkang kaki, sementara maling ayam mati dirajam. [A-23]
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 6 November 2009
No comments:
Post a Comment