Sunday, November 01, 2009

Sumpah Pemuda: Dulu dan Sekarang

-- Bandung Mawardi*

REFERENSI-REFERENSI mengenai Sumpah Pemuda kalah jumlah dengan jejak-jejak sejarah Budi Utomo, Sarekat Islam, Proklamasi, DI/TII, atau PKI. Kisah pendek sekadar hadir dalam buku-buku teks pelajaran di sekolah atau buku-buku sejarah.

Buku A History of Modern Indonesia (1981 dan 2001) garapan M.C. Riklefs tidak memberi penjalasan panjang dan representatif mengenai Sumpah Pemuda. Riklefs sekadar menulis tentang Sumpah Pemuda dalam satu alinea.

Sartono Kartodirdjo (1990) dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan nasional (Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme) pun tidak memberi pembahasan representatif mengenai Sumpah Pemuda. Sartono justru memiliki tendensi untuk mementingkan Manifesto Politik 1925 oleh Perhimpunan Indonesia ketimbang Sumpah Pemuda (1928) sebagai kontributor penting nasionalisme Indonesia.

Sumpah Pemuda dalam studi bahasa dan sastra pun mengalami kesepian. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) sekadar menghadirkan peristiwa Sumpah Pemuda dalam jumlah kalimat kecil untuk mengungkapkan sejarah sastra modern abad XX. Pengabaian itu justru mendapatkan tebusan dari E. Ulrich Kratz (editor) dalam buku Sumber Terpilih Sastra Indonesia Abad XX (2000). Ulrich Kratz menghadirkan 2 versi teks Sumpah Pemuda dengan referensi buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974) dan buku Sumpah Indonesia Raya (1955) garapan Muhammad Yamin. Peletakkan itu eksplisit hendak menjadi klaim dalam rentetan sejarah kesusastraan Indonesia modern.

Keith Foulcher dalam Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (2008) menemukan dan mencatat ada tafsir-tafsir ideologis-politis terhadap Sumpah Pemuda pada masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Tafsir-tafsir itu muncul dengan sekian dalil dan pamrih mengacu pada kondisi politik dan arus kesadaran sejarah. Teks Sumpah Pemuda mengalami perubahan-perubahan dalam sekian versi. Perubahan itu mungkin takdir dari sejarah sebagai cerita mengenai perubahan.

Perubahan kerap terjadi pada kalimat ketiga Sumpah Pemuda. Inilah versi 1928: "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia." Kalimat itu kerap mengalami perubahan semantik dan konsekuensi politik. Perubahan yang lazim dikonsumsi publik: "Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia." Perubahan kalimat itu merepresentasikan keteledoran dan kesengajaan dalam tegangan historis dan politis. Bahasa sebagai simbol komunikasi politik mengalami reduksi dalam konteks pemaknaan dan implikasi.

Bahasa dan Ideologi

Bahasa mengandung ideologi untuk merumuskan identitas politik dan nasionalisme. Isi Sumpah Pemuda mengenai bahasa membuktikan ada kesadaran politis kaum intelektual pada tahun 1928 dalam merealisasikan imajinasi nasionalisme. Kesadaran itu perlahan mengalami kebangkrutan karena ulah rezim Orde Lama dan Orde Baru. Jejak historis Sumpah Pemuda dalam perkara bahasa mulai dilupakan dan digantikan dengan interpretasi politis. Perubahan itu menunjukkan "kenakalan" penguasa terhadap referensi sejarah dan relevansi sejarah secara kontekstual.

Sumpah Pemuda pada rezim Soekarno menjadi senjata revolusi dan konfrontasi. Konstruksi nasionalisme dan peran politik bahasa memusat pada agenda-agenda revolusi dan integrasi. Koran Bintang Timur (1960) dengan lugas mengatakan: "Soekarno me-Manipol-Usdek-kan Hari Sumpah Pemuda". Soekarno kurang bisa intensif dalam perumusan dan pergumulan politik bahasa karena repot dengan perkara-perkara politik praktis.

Kesadaran untuk memainkan politik bahasa justru kentara pada rezim Orde Baru. Sumpah Pemuda adalah "mantra sakti" politik Orde Baru atas nama disiplin, stabilitas, dan pembangunan. Ikhtiar tendensius dilakukan Soeharto dengan memberikan sponsor-sponsor untuk studi Sumpah Pemuda dalam konteks historis dan politis. Ikhtiar instruksi dan imperatif dari Orde Baru itu terjadi sejak tahun 1970-an dengan publikasi laporan penelitian sejarah, artikel, fiksi, biografi, dan memoar. Bukti monumental adalah penerbitan buku Bunga Rampai Sumpah Pemuda (1978) dalam rangka peringatan 50 tahun Sumpah Pemuda. Buku itu mengandung tendensi untuk standarisasi sejarah dan legitimasi politisasi sejarah-politik bahasa.

Bahasa Indonesia sebagai resistensi pada masa kolonialisme perlahan mengalami kodifikasi sebagai bahasa dengan ideologi penundukkan dan kontrol melalui otoritas kekuasaan. Ironi Sumpah Pemuda selama Orde Baru adalah formula baku-keliru: "satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa". Keith Foulcher (2008) menuduh formula itu sebagai realisasi visi tripartit kesatuan tanpa kompromi oleh kepentingan rezim Orde Baru dalam mekanisme sentralisasi dan kontrol. Formula "satu bahasa" itu menjadi kunci untuk operasionalisasi politik bahasa versi Orde Baru.

Formula "satu bahasa" mendapat kritik keras dari Ariel Heryanto dalam esai Sumpah Plesetan (1995). Ariel Heryanto curiga bahwa perubahan itu karena alasan prinsip kesimbangan dalam keutuhan teks ketimbang motif politik. Keith Foulcher (2008) justru mahfum bahwa perubahan kata itu masuk dalam perkara simbol dan makna nasionalisme.

Interpretasi

Sumpah Pemuda hari ini merupakan sambungan dari kisah-kisah getir dalam masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Sumpah Pemuda membutuhkan interpretasi mutakhir untuk relevansi dan kontekstualisasi dengan kondisi Indonesia hari ini. Interpretasi itu mengacu pada fakta historis dan fakta empiris untuk menghindari sakralisasi atau inferiorisasi. Substansi Sumpah Pemuda dalam pengertian nasionalisme memerlukan revitalisasi untuk acuan dalam panggung politik hari ini yang ramai dengan pamrih-pamrih kekuasaan. Sumpah Pemuda adalah spirit atas nama pluralitas dan orientasi menjadi Indonesia.

Peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda (1928-2009) menjadi momentum inspiratif untuk lekas menata dan membenahi seribu satu perkara mulai dari korupsi sampai kemiskinan. Peringatan jangan sekadar jadi stereotip sakralitas atau ritual politis untuk mengenangkan sejarah dengan mencari hikmah-hikmah klise. Peringatan Sumpah Pemuda mesti dilandasi dengan orientasi perubahan kontruktif dan positif untuk kemaslahatan rakyat. Begitu.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 November 2009

No comments: