Data buku: Jembatan Merah Rahimah I.B., dkk. FAM Publishing I, April 2013 325 hlm. |
SETENGAH abad lebih petualangan anak-anak negeri bergelora mengumandangkan kemerdekaannya, tetapi mengapa bekas perjuangan mereka tidak mengukir di dada para pewaris negeri? Mengapa upaya arek-arek Suroboyo masa lampau dapat mengibarkan sang Merah Putih di bumi pahlawan itu, sementara manusia masa kini masih duduk-duduk manis menunggu hidayah yang mendatanginya?
Dua pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab. Faktanya revolusi bukanlah perkara yang mudah. Setiap warga negara memiliki konteks pemikiran perjuangan sendiri yang menyebabkan revolusi harus melalui tikungan yang terjal dan menakutkan. Tidak terelakkan, faktor struktur perhatian terhadap nilai perjuangan itu harus digoreskan dalam simbol-simbol perjuangan pewaris negeri ini.
Buku Jembatan Merah merupakan buku yang tepat untuk menjawab pertanyaan dan kemuskilan di atas. Buku ini merupakan salah satu buku fiksi yang menjadi gambaran perjuangan anak-anak negeri dalam mewujudkan harapannya meniti liku-liku kehidupan yang ditulis oleh 36 penulis cerita pendek yang melambangkan diri mereka. Tidak hanya potret satu sisi saja, tetapi penulis buku juga berusaha mengetengahkan latar historis yang menggambarkan dinamika pertarungan nasib dan petualangan yang mengesankan dari masa kecil hingga dewasa ini.
Secara historis, Jembatan Merah ini dikenal sebagai saksi pertempuran arek-arek Suroboyo. Siapa yang bersungguh-sungguh melawan penjajah, maka ia akan menemui buah kemanisan hidup. Sejak penulis yang berhuni dari Sumatera hingga arah timur Indonesia, mereka menjadi perwakilan setiap daerah dengan gaya bercerita yang khas.
Buku ini juga menjadi miniaturnya Surabaya era masa kini yang telah mempersatukan semangat dan hubungan harmonis antara etnis dan ras yang tersebar di Indonesia. Karena itu, buku ini dikenal sebagai simbolis dari salah satu tempat kelahiran peradaban Indonesia di Surabaya.
Sekilas 'Jembatan Merah'
Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia cabang Surabaya dan sekitarnya mengadakan program penerbitan buku antologi cerpen bertajuk Jembatan Merah. Hal tersebut menjadi proyek penerbitan terbuka untuk anggota FAM Indonesia maupun nonanggota di mana saja berada. Perihal mengapa buku antologi cerpen ini berjudul Jembatan Merah?
Jelas saja, sejarah mengatakan bahwa Jembatan Merah merupakan lambang perjuangan. Sebagaimana sudah kita kenal, ia menjadi saksi bisu betapa gigih dan beraninya arek-arek Suroboyo dalam perang 10 November Surabaya melawan tentara sekutu dan NICA-Belanda yang hendak menguasai kembali Surabaya. Di sinilah Brigadir A.W.S Mallaby, pemimpin angkatan bersenjata Inggris yang telah menguasai Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau Internatio, tewas terbunuh di tangan arek-arek Suroboyo.
Berangkat dari fakta sejarah yang sangat membanggakan itu, Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia cabang Surabaya dan sekitarnya berharap dapat menjadikan Jembatan Merah sebagai sumber inspirasi lahirnya cerita-cerita bertema perjuangan hidup, baik itu perjuangan mempertahankan hak, mencari keadilan, menjaga harga diri, menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan pesimistis dan ketidakmungkinan, juga perjuangan meraih impian.
Pada masa modern, kisah hidup setiap pemuda Indonesia beraneka ragam. Bermula dari perjalanan pendidikan masa kampung halaman tercinta hingga memijakkan kaki ke tanah rantau, penulis mengajak pembaca merasakan kehidupan yang berwarna itu. Kisah di dalamnya menjunjung arti sosok generasi muda dengan keluh kesah dan jalan kehidupan menerpa di kanan dan kirinya dengan memainkan peranan penting dalam menekuni cita-cita dan keluarganya.
Melalui cerita itu, para penulis mengukuhkan usaha untuk keluar dari keterpurukan nasib diri dan keluarga untuk menyuarakan kebebasan mengekspresikan diri, bertualang di bumi pertiwi mengukir mimpi. Sejak membaca satu per satu cerpen tersebut, pembaca dibuat mampu membangun hubungan yang kuat antara kisah penulis sehingga dapat dirasakan oleh pembaca, khususnya bagi khazanah perjalanan hidup yang penuh hikmah. Alasan inilah yang menyebabkan ketertarikan untuk menyelesaikan pembacaan cerita hingga selesai.
Jika cerita mula saja sudah menarik, pembaca tentu berhasrat meneruskan bacaan untuk menjawab rasa penasarannya. Di Jembatan Merah ini, FAM Indonesia berhasil memainkan peran dengan sangat baik dalam menghipnosis khalayak ramai agar kembali merenungkan jejak-jejak penulis yang terangkum dalam antologi lomba cipta cerpen se-Indonesia karena menjadi salah satu kekuatan menghargai karya-karya penulis yang berpartisipasi dalam lomba tersebut.
Antologi ini disajikan secara apik tanpa mengurangi esensi dari isi buku yang mengangkat kisah fiksi. Hingga saat ini, Jembatan Merah telah menjadi wadah meluangkan perjalanan-perjalanan itu yang juga merupakan representasi dari kondisi generasi muda bangsa ini yang sedang mencari jati diri.
Hal demikian menjelaskan mengapa karya-karya tersebut mampu mengakselerasi semangat berbagi pengalaman hidup. Kemampuan mengapresiasi minat dan bakat dalam mencurahkannya dalam bentuk cerita itu menjadi sebuah keharusan karena memiliki nilai historis tersendiri bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Pada mulanya, penerbitan buku ini diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi modernisasi dunia literasi di Indonesia. Namun, tidak cukup hanya dengan bukti ini saja. Harus diakui, hadirnya 36 penulis buku ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya sekadar ikut-ikutan dalam dokumentasi karya, melainkan itu menjadi wujud nyata dalam menapaki petualangan menjadi penulis besar yang merangkul penulis di nusantara. Sebab, jika tidak diantologikan sebaik ini, niscaya perubahan itu mengalami hambatan dalam memacu adrenalin generasi muda masa kini mengukir prestasi di bidang yang ditekuni.
Hadirnya buku ini telah berusaha membuktikan bahwa masih ada pejuang-pejuang pena, muda, mau dan mampu berkarya bagi nusa dan bangsa. Sementara keputusan terakhir terletak pada seluruh pemuda Indonesia yang mencari semangat juang yang telah lama hilang, hanya dapat diubah dengan tangannya sendiri. Apalagi Allah telah berfirman dalam Q.S. Ar-ra'd Ayat 11: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka." n
Dodi Saputra, aktif di Forum Lingkar Pena unit STKIP PGRI Sumatera Barat.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013
Dua pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab. Faktanya revolusi bukanlah perkara yang mudah. Setiap warga negara memiliki konteks pemikiran perjuangan sendiri yang menyebabkan revolusi harus melalui tikungan yang terjal dan menakutkan. Tidak terelakkan, faktor struktur perhatian terhadap nilai perjuangan itu harus digoreskan dalam simbol-simbol perjuangan pewaris negeri ini.
Buku Jembatan Merah merupakan buku yang tepat untuk menjawab pertanyaan dan kemuskilan di atas. Buku ini merupakan salah satu buku fiksi yang menjadi gambaran perjuangan anak-anak negeri dalam mewujudkan harapannya meniti liku-liku kehidupan yang ditulis oleh 36 penulis cerita pendek yang melambangkan diri mereka. Tidak hanya potret satu sisi saja, tetapi penulis buku juga berusaha mengetengahkan latar historis yang menggambarkan dinamika pertarungan nasib dan petualangan yang mengesankan dari masa kecil hingga dewasa ini.
Secara historis, Jembatan Merah ini dikenal sebagai saksi pertempuran arek-arek Suroboyo. Siapa yang bersungguh-sungguh melawan penjajah, maka ia akan menemui buah kemanisan hidup. Sejak penulis yang berhuni dari Sumatera hingga arah timur Indonesia, mereka menjadi perwakilan setiap daerah dengan gaya bercerita yang khas.
Buku ini juga menjadi miniaturnya Surabaya era masa kini yang telah mempersatukan semangat dan hubungan harmonis antara etnis dan ras yang tersebar di Indonesia. Karena itu, buku ini dikenal sebagai simbolis dari salah satu tempat kelahiran peradaban Indonesia di Surabaya.
Sekilas 'Jembatan Merah'
Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia cabang Surabaya dan sekitarnya mengadakan program penerbitan buku antologi cerpen bertajuk Jembatan Merah. Hal tersebut menjadi proyek penerbitan terbuka untuk anggota FAM Indonesia maupun nonanggota di mana saja berada. Perihal mengapa buku antologi cerpen ini berjudul Jembatan Merah?
Jelas saja, sejarah mengatakan bahwa Jembatan Merah merupakan lambang perjuangan. Sebagaimana sudah kita kenal, ia menjadi saksi bisu betapa gigih dan beraninya arek-arek Suroboyo dalam perang 10 November Surabaya melawan tentara sekutu dan NICA-Belanda yang hendak menguasai kembali Surabaya. Di sinilah Brigadir A.W.S Mallaby, pemimpin angkatan bersenjata Inggris yang telah menguasai Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau Internatio, tewas terbunuh di tangan arek-arek Suroboyo.
Berangkat dari fakta sejarah yang sangat membanggakan itu, Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia cabang Surabaya dan sekitarnya berharap dapat menjadikan Jembatan Merah sebagai sumber inspirasi lahirnya cerita-cerita bertema perjuangan hidup, baik itu perjuangan mempertahankan hak, mencari keadilan, menjaga harga diri, menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan pesimistis dan ketidakmungkinan, juga perjuangan meraih impian.
Pada masa modern, kisah hidup setiap pemuda Indonesia beraneka ragam. Bermula dari perjalanan pendidikan masa kampung halaman tercinta hingga memijakkan kaki ke tanah rantau, penulis mengajak pembaca merasakan kehidupan yang berwarna itu. Kisah di dalamnya menjunjung arti sosok generasi muda dengan keluh kesah dan jalan kehidupan menerpa di kanan dan kirinya dengan memainkan peranan penting dalam menekuni cita-cita dan keluarganya.
Melalui cerita itu, para penulis mengukuhkan usaha untuk keluar dari keterpurukan nasib diri dan keluarga untuk menyuarakan kebebasan mengekspresikan diri, bertualang di bumi pertiwi mengukir mimpi. Sejak membaca satu per satu cerpen tersebut, pembaca dibuat mampu membangun hubungan yang kuat antara kisah penulis sehingga dapat dirasakan oleh pembaca, khususnya bagi khazanah perjalanan hidup yang penuh hikmah. Alasan inilah yang menyebabkan ketertarikan untuk menyelesaikan pembacaan cerita hingga selesai.
Jika cerita mula saja sudah menarik, pembaca tentu berhasrat meneruskan bacaan untuk menjawab rasa penasarannya. Di Jembatan Merah ini, FAM Indonesia berhasil memainkan peran dengan sangat baik dalam menghipnosis khalayak ramai agar kembali merenungkan jejak-jejak penulis yang terangkum dalam antologi lomba cipta cerpen se-Indonesia karena menjadi salah satu kekuatan menghargai karya-karya penulis yang berpartisipasi dalam lomba tersebut.
Antologi ini disajikan secara apik tanpa mengurangi esensi dari isi buku yang mengangkat kisah fiksi. Hingga saat ini, Jembatan Merah telah menjadi wadah meluangkan perjalanan-perjalanan itu yang juga merupakan representasi dari kondisi generasi muda bangsa ini yang sedang mencari jati diri.
Hal demikian menjelaskan mengapa karya-karya tersebut mampu mengakselerasi semangat berbagi pengalaman hidup. Kemampuan mengapresiasi minat dan bakat dalam mencurahkannya dalam bentuk cerita itu menjadi sebuah keharusan karena memiliki nilai historis tersendiri bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Pada mulanya, penerbitan buku ini diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi modernisasi dunia literasi di Indonesia. Namun, tidak cukup hanya dengan bukti ini saja. Harus diakui, hadirnya 36 penulis buku ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya sekadar ikut-ikutan dalam dokumentasi karya, melainkan itu menjadi wujud nyata dalam menapaki petualangan menjadi penulis besar yang merangkul penulis di nusantara. Sebab, jika tidak diantologikan sebaik ini, niscaya perubahan itu mengalami hambatan dalam memacu adrenalin generasi muda masa kini mengukir prestasi di bidang yang ditekuni.
Hadirnya buku ini telah berusaha membuktikan bahwa masih ada pejuang-pejuang pena, muda, mau dan mampu berkarya bagi nusa dan bangsa. Sementara keputusan terakhir terletak pada seluruh pemuda Indonesia yang mencari semangat juang yang telah lama hilang, hanya dapat diubah dengan tangannya sendiri. Apalagi Allah telah berfirman dalam Q.S. Ar-ra'd Ayat 11: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka." n
Dodi Saputra, aktif di Forum Lingkar Pena unit STKIP PGRI Sumatera Barat.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013
No comments:
Post a Comment