-- Ahmad Ijazi H
PUISI (sajak) adalah kejujuran perasaan yang diungkapkan oleh seorang penyair melalui kata-kata yang puitis. Setiap yang bersing-gungan langsung (nyata) maupun yang bersifat imajinatif (khayal) dapat dijadikan bahan mentah seorang penulis dalam meracik puisi yang apik. Konfik sosial, kesenjangan ekonomi dalam masyarakat, perasaan hati saat membicarakan persoalan cinta, wujud ketuhanan yang ‘bersemayam’ dalam diri seorang makhluk, riwayat kepulangan, semua terangkum dengan amat pariatif dan imajinatif dalam ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ kumpulan sajak pilihan Riau Pos terbitan Yayasan Sagang tahun 2012 ini.
Sajak menjadi menarik manakala dalam bait-baitnya yang puitis tersebut terselip nama Tuhan sebagai zat yang bergerak di dalamnya. Dalam situasi ini, Tuhan seolah-olah terasa begitu dekat dengan sang penulis (seperti tak berjarak). Perasaan itulah yang sejatinya memberikan ruang serta nafas yang begitu luas kepada seorang penulis untuk melukiskan ‘’wajah’’ Tuhannya dalam sajak secara leluasa, namun tetap memiliki batasan-batasan serta kaidah-kaidah yang disyariatkan.
Jika membaca Tuhan, maka yang paling dekat dan senantiasa bersinggungan langsung dengan wujud-Nya adalah perihal ‘’kepulangan’’ (kematian). Simak saja sajak imajinatif berjudul ‘’Molekul Waktu’’ karya Fakhrunnas MA Jabbar berikut ini. Dalam baitnya dituliskan: molekul-molekul itu berbenturan menghambur waktu. Tak tahu di mana proton dan elektron membilang jiwa. Waktu berserakan di telapak kaki. Bergerak kian kemari. Menuju tiang arasy yang tinggi. (halaman 27).
Dalam penggalan sajak di atas digambarkan dengan amat jelas bagaimana hubungan Sang Pencipta dengan makhluk yang diciptakan-Nya saat ‘kembali’ (pulang) kepada dzat-Nya yang Maha Tinggi. Hal itu ditandai dalam kalimat menuju tiang arasy yang tinggi. Kemudian di akhir sajak, Fakhrunnas MA Jabbar menegaskan perihal ‘’kepulangan’’ tersebut dalam kalimat: terbawalah ia ke liang waktu yang dalam. Ada zat maha menunggu. Di situ. ‘Liang waktu’ digambarkan sebagai tempat peristirahatan terakhir, sedangkan ‘zat maha menunggu’ dimaksudkan sebagai wujud Tuhan Sang Pencipta.
Sajak berikutnya berjudul ‘’Jika Aku Tersesat’’ karya Husen Arifin. Dalam sajak tersebut Husen Arifin hendak menyuarakan kepada pembaca tentang kerisauan seorang penulis akan keberadaan hari akhir. Hal itu dapat dicermati dalam bait berikut: rakaat hidupku// hanyalah kesengsaraan// aku yang rapuh// yang membayangkan neraka (halaman 38). Dalam kalimat aku yang rapuh penulis mengakui bahwa ia hanyalah hamba yang sangat kecil, dan rapuh (lemah) yang tak memiliki daya upaya untuk mengingkari ketetapan-Nya (takdir).
Lalu di akhir sajaknya, Husen Arifin mempertegas kerisauannya tersebut dalam bait: selagi kata-kata// tak berbekal// tak beramal// maka tak ada rakaat// yang khidmat// aku menyesali// jika aku tersesat. Kerisauan itu dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa takut seorang hamba saat ia ‘dipanggil pulang’ dalam keadaan yang tidak siap lantaran membawa bekal (amal) yang tidak cukup.
Kemudian, dalam sajak yang berjudul ‘’Segumpal Tanah’’ Musa Ismail hendak mengisahkan perihal asal muasal penciptaan mahluk yang diciptakan dari segumpal tanah. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: segumpal tanah di tanganmu// menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara// mejadi hati dan buih-buih lautan// juga daun-daun kering berguguran// di hamparan bumi luas membentang (halaman 85).
Di akhir sajak, Musa Ismail lagi-lagi menuliskan riwayat ‘kepulangan’ yang cukup kental dalam sajaknya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: menjadi putih, menjadi hitam// lalu kembali dalam kekosongan// diam. Dalam potongan sajak tersebut jelas digambarkan kapasitas Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak menjadikan makhluk ciptaan-Nya mejadi ‘putih’ atau menjadi ‘hitam’ sesuai dengan takdir yang sudah ditetapkan-Nya.
Selanjutnya, dalam sajaknya yang cukup panjang, M Badri mengisahkan tentang perjalanan hidup ‘aku’ lewat sajaknya yang bertajuk ‘’Amsal Perahu’’ Sebuah perahu kembali ke dermaga// setelah mengarungi lautan kata// ombak sajak// badai pusi// berkawan matahari (halaman 99), begitu M Badri menuliskan bait pertama sajaknya.
Dalam sajak tersebut M Badri menempatkan ‘perahu’ sebagai ‘aku’. Perahu yang berjalan menapaki kehidupannya, bermukim di berbagai persinggahan, menyelami berbagai petualangan, sampai akhirnya ia harus kembali ‘pulang’ ke pangkuan Tuhan yang menciptakannya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: tiba di Bandar paling sepi// ia berorasi// di antara dua perahu. Lalu riwayat ‘kepulangan’ itu dipertegas dalam ungkapan bait berikut: ketika aku tak berdarah lagi// sambutlah aku// dalam tanah kosong-Mu.
Melalui dua sajaknya yang berjudul ‘’Perjumpaan’’ dan ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengisyaratkan riwayat ‘kepulangan’nya secara singkat dan padat. Namun makna ‘kepulangan’ tersebut dapat dipahami dengan sangat gamblang tertuang dalam dua sajak tersebut. Sajak pertama berbunyi: selalu akan kita kenali nantinya// seseorang bernama perpisaan// segera kita kemasi segala kenangan// sampai tangis tak sanggup lagi mendedah// segeralah. segeralah (halaman 15).
Pada kalimat seorang bernama perpisahan sangat jelas digambarkan situasi yang harus dilewati setiap manusia dalam kehidupannya yakni berpisah. Pada saat berpisah, maka segala kenanganlah yang kemudian melekat erat dalam ingatan. Pada kalimat sampai tangis tak sanggup lagi mendedah mengandung pengertian batas akhir atau batas kesanggupan seseorang untuk berhenti mengenang (melepas kenangan).
Selanjutnya, dalam ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengemas riwayat ‘kepulangan’nya tersebut melalui bait berikut: ketika kau dengar dentang lonceng// percayalah bahwa waktu akan mengajari kita// untuk bergegas menggulung hari menuju lelap// menuju muasal tempat kita akan berpulang (halaman 16).
Pada kalimat waktu akan mengajari kita terkandung makna perjalanan seseorang yang dilalui dalam ruang waktu (kehidupan) dengan berbagai macam peristiwa yang dijumpainya tersebut sebagai bahan pembelajaran. Pada kalimat menggulung hari menuju lelap terkandung makna batas yang dipersiapkan untuk kembali. Dan kalimat menuju muasal tempat kita akan berpulang sangat tegas menjelaskan arah mana yang mesti dituju saat ‘berpulang’ menuju keabadian, yakni kembali kepada Sang Pencipta.
Sejatinya, sejauh apapun manusia berjalan, mengayuh sampan di luasnya samudera, namun tempat kembali yang paling hakiki hanyalah Tuhan semata. Tuhan memberikan nafas kehidupan ke pada setiap manusia dengan tujuan mulia, yakni agar menjadi khalifah di atas muka bumi. Menyerukan risalah Illahiyah kepada setiap makhluk untuk menuju jalan cahaya, jalan kebenaran Tuhan.
Dalam proses kreatifnya, para penyair dalam kumpulan sajak ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ ini turut ambil bagian menyuarakan hakikat ketuhanan tersebut melalui bahasa sajak yang puitis. Menyuarakan kebenaran zat-Nya melalalui diksi-diksi pilihan. Memberikan nasihat melalui bait-bait yang imajinatif, secara halus tanpa menggurui.
Membaca sajak-sajak di atas, kita akan semakin memahami hakikat ‘kepulangan’ itu ternyata amat dekat dengan kita. Sejatinya, tak ada bekal yang amat berharga yang dapat kita bawa saat nyawa telah terlepas dari raga kita, kecuali amal. Hanya amal-lah yang kelak menemani dan mampu memberikan pertolongan kepada kita saat ‘kesendirian’ itu bermukim di akhir perjalanan kehidupan setiap insan.***
Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 25 Agustus 1988. Menulis esai, cerpen, puisi dan novel. Mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Juli 2013
PUISI (sajak) adalah kejujuran perasaan yang diungkapkan oleh seorang penyair melalui kata-kata yang puitis. Setiap yang bersing-gungan langsung (nyata) maupun yang bersifat imajinatif (khayal) dapat dijadikan bahan mentah seorang penulis dalam meracik puisi yang apik. Konfik sosial, kesenjangan ekonomi dalam masyarakat, perasaan hati saat membicarakan persoalan cinta, wujud ketuhanan yang ‘bersemayam’ dalam diri seorang makhluk, riwayat kepulangan, semua terangkum dengan amat pariatif dan imajinatif dalam ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ kumpulan sajak pilihan Riau Pos terbitan Yayasan Sagang tahun 2012 ini.
Sajak menjadi menarik manakala dalam bait-baitnya yang puitis tersebut terselip nama Tuhan sebagai zat yang bergerak di dalamnya. Dalam situasi ini, Tuhan seolah-olah terasa begitu dekat dengan sang penulis (seperti tak berjarak). Perasaan itulah yang sejatinya memberikan ruang serta nafas yang begitu luas kepada seorang penulis untuk melukiskan ‘’wajah’’ Tuhannya dalam sajak secara leluasa, namun tetap memiliki batasan-batasan serta kaidah-kaidah yang disyariatkan.
Jika membaca Tuhan, maka yang paling dekat dan senantiasa bersinggungan langsung dengan wujud-Nya adalah perihal ‘’kepulangan’’ (kematian). Simak saja sajak imajinatif berjudul ‘’Molekul Waktu’’ karya Fakhrunnas MA Jabbar berikut ini. Dalam baitnya dituliskan: molekul-molekul itu berbenturan menghambur waktu. Tak tahu di mana proton dan elektron membilang jiwa. Waktu berserakan di telapak kaki. Bergerak kian kemari. Menuju tiang arasy yang tinggi. (halaman 27).
Dalam penggalan sajak di atas digambarkan dengan amat jelas bagaimana hubungan Sang Pencipta dengan makhluk yang diciptakan-Nya saat ‘kembali’ (pulang) kepada dzat-Nya yang Maha Tinggi. Hal itu ditandai dalam kalimat menuju tiang arasy yang tinggi. Kemudian di akhir sajak, Fakhrunnas MA Jabbar menegaskan perihal ‘’kepulangan’’ tersebut dalam kalimat: terbawalah ia ke liang waktu yang dalam. Ada zat maha menunggu. Di situ. ‘Liang waktu’ digambarkan sebagai tempat peristirahatan terakhir, sedangkan ‘zat maha menunggu’ dimaksudkan sebagai wujud Tuhan Sang Pencipta.
Sajak berikutnya berjudul ‘’Jika Aku Tersesat’’ karya Husen Arifin. Dalam sajak tersebut Husen Arifin hendak menyuarakan kepada pembaca tentang kerisauan seorang penulis akan keberadaan hari akhir. Hal itu dapat dicermati dalam bait berikut: rakaat hidupku// hanyalah kesengsaraan// aku yang rapuh// yang membayangkan neraka (halaman 38). Dalam kalimat aku yang rapuh penulis mengakui bahwa ia hanyalah hamba yang sangat kecil, dan rapuh (lemah) yang tak memiliki daya upaya untuk mengingkari ketetapan-Nya (takdir).
Lalu di akhir sajaknya, Husen Arifin mempertegas kerisauannya tersebut dalam bait: selagi kata-kata// tak berbekal// tak beramal// maka tak ada rakaat// yang khidmat// aku menyesali// jika aku tersesat. Kerisauan itu dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa takut seorang hamba saat ia ‘dipanggil pulang’ dalam keadaan yang tidak siap lantaran membawa bekal (amal) yang tidak cukup.
Kemudian, dalam sajak yang berjudul ‘’Segumpal Tanah’’ Musa Ismail hendak mengisahkan perihal asal muasal penciptaan mahluk yang diciptakan dari segumpal tanah. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: segumpal tanah di tanganmu// menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara// mejadi hati dan buih-buih lautan// juga daun-daun kering berguguran// di hamparan bumi luas membentang (halaman 85).
Di akhir sajak, Musa Ismail lagi-lagi menuliskan riwayat ‘kepulangan’ yang cukup kental dalam sajaknya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: menjadi putih, menjadi hitam// lalu kembali dalam kekosongan// diam. Dalam potongan sajak tersebut jelas digambarkan kapasitas Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak menjadikan makhluk ciptaan-Nya mejadi ‘putih’ atau menjadi ‘hitam’ sesuai dengan takdir yang sudah ditetapkan-Nya.
Selanjutnya, dalam sajaknya yang cukup panjang, M Badri mengisahkan tentang perjalanan hidup ‘aku’ lewat sajaknya yang bertajuk ‘’Amsal Perahu’’ Sebuah perahu kembali ke dermaga// setelah mengarungi lautan kata// ombak sajak// badai pusi// berkawan matahari (halaman 99), begitu M Badri menuliskan bait pertama sajaknya.
Dalam sajak tersebut M Badri menempatkan ‘perahu’ sebagai ‘aku’. Perahu yang berjalan menapaki kehidupannya, bermukim di berbagai persinggahan, menyelami berbagai petualangan, sampai akhirnya ia harus kembali ‘pulang’ ke pangkuan Tuhan yang menciptakannya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: tiba di Bandar paling sepi// ia berorasi// di antara dua perahu. Lalu riwayat ‘kepulangan’ itu dipertegas dalam ungkapan bait berikut: ketika aku tak berdarah lagi// sambutlah aku// dalam tanah kosong-Mu.
Melalui dua sajaknya yang berjudul ‘’Perjumpaan’’ dan ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengisyaratkan riwayat ‘kepulangan’nya secara singkat dan padat. Namun makna ‘kepulangan’ tersebut dapat dipahami dengan sangat gamblang tertuang dalam dua sajak tersebut. Sajak pertama berbunyi: selalu akan kita kenali nantinya// seseorang bernama perpisaan// segera kita kemasi segala kenangan// sampai tangis tak sanggup lagi mendedah// segeralah. segeralah (halaman 15).
Pada kalimat seorang bernama perpisahan sangat jelas digambarkan situasi yang harus dilewati setiap manusia dalam kehidupannya yakni berpisah. Pada saat berpisah, maka segala kenanganlah yang kemudian melekat erat dalam ingatan. Pada kalimat sampai tangis tak sanggup lagi mendedah mengandung pengertian batas akhir atau batas kesanggupan seseorang untuk berhenti mengenang (melepas kenangan).
Selanjutnya, dalam ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengemas riwayat ‘kepulangan’nya tersebut melalui bait berikut: ketika kau dengar dentang lonceng// percayalah bahwa waktu akan mengajari kita// untuk bergegas menggulung hari menuju lelap// menuju muasal tempat kita akan berpulang (halaman 16).
Pada kalimat waktu akan mengajari kita terkandung makna perjalanan seseorang yang dilalui dalam ruang waktu (kehidupan) dengan berbagai macam peristiwa yang dijumpainya tersebut sebagai bahan pembelajaran. Pada kalimat menggulung hari menuju lelap terkandung makna batas yang dipersiapkan untuk kembali. Dan kalimat menuju muasal tempat kita akan berpulang sangat tegas menjelaskan arah mana yang mesti dituju saat ‘berpulang’ menuju keabadian, yakni kembali kepada Sang Pencipta.
Sejatinya, sejauh apapun manusia berjalan, mengayuh sampan di luasnya samudera, namun tempat kembali yang paling hakiki hanyalah Tuhan semata. Tuhan memberikan nafas kehidupan ke pada setiap manusia dengan tujuan mulia, yakni agar menjadi khalifah di atas muka bumi. Menyerukan risalah Illahiyah kepada setiap makhluk untuk menuju jalan cahaya, jalan kebenaran Tuhan.
Dalam proses kreatifnya, para penyair dalam kumpulan sajak ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ ini turut ambil bagian menyuarakan hakikat ketuhanan tersebut melalui bahasa sajak yang puitis. Menyuarakan kebenaran zat-Nya melalalui diksi-diksi pilihan. Memberikan nasihat melalui bait-bait yang imajinatif, secara halus tanpa menggurui.
Membaca sajak-sajak di atas, kita akan semakin memahami hakikat ‘kepulangan’ itu ternyata amat dekat dengan kita. Sejatinya, tak ada bekal yang amat berharga yang dapat kita bawa saat nyawa telah terlepas dari raga kita, kecuali amal. Hanya amal-lah yang kelak menemani dan mampu memberikan pertolongan kepada kita saat ‘kesendirian’ itu bermukim di akhir perjalanan kehidupan setiap insan.***
Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 25 Agustus 1988. Menulis esai, cerpen, puisi dan novel. Mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Juli 2013
No comments:
Post a Comment