-- Ahmad Ijazi H
SEBUAH cerita pendek (Cerpen) akan tampak berpenampilan lebih feminin dan melankolis ketika seorang sastrawan mampu menyuarakan suasana yang romantik dan puitis dalam karya sastra yang digagasnya. Hal tersebut dapat dicermati dari pilihan diksi yang unik serta aneh (yang di luar dari kebiasaan), selain karena kepiawaian penulisnya yang mampu mengakrobatik kata-kata sehingga kalimat-kalimat yang ia tuangkan menjadi kemasan yang menakjubkan. Kiranya, seperti itulah kesan pertama yang membekas saat membaca paragraf awal sebuah Cerpen apik karya M Raudah Jambak (MRJ) bertajuk Cerita dari Kampung Petalangan (CDKP), yang terangkum dalam Dari Seberang Perbatasan, kumpulan Cerpen pilihan Riau Pos tahun 2012.
Membaca paragraf-paragraf selanjutnya, diksi-diksi yang dilemparkan MRJ dalam Cerpen tersebut semakin terasa tajam dan meruncing. Simak saja penggalan Cerpen berikut: hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang padi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lalu simak pula: sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya. Dilihat sekilas, kalimat-kalimat tersebut lebih mirip dengan penggalan-penggalan sajak yang berserakan, yang sengaja disisipkan penulisnya dalam tubuh Cerpen, sehingga fragmen-fragmen yang terangkum di dalamanya menjadi tampak tidak biasa (berbeda) dari Cerpen-Cerpen kebanyakan.
Tema yang digagas MRJ dalam Cerpen ini cukup menarik. Berbicara tentang perselingkuhan. Sebuah tema yang sejatinya sangat rentan terjadi dalam wilayah internal keluarga. Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya perselingkuhan, diantaranya; tidak adanya kecocokan satu sama lain hingga hubungan yang terjalin menjadi terasa membeku dan hambar, pertengkaran yang kerap terjadi yang bersumber dari keegoisan masing-masing, masalah finansial yang tidak stabil dalam keluarga, atau hal-hal intim lainnya seperti penyakit yang diderita (mandul, impotensi, cacat fisik, dll). Hal itu pula yang agaknya mematik konflik dalam Cerpen CDKP ini. Akibat perselingkuhan, tragedi berdarah pun terjadi di sebuah kampung petalangan.
Dikisahkan (sejak pada bagian awal cerita), aroma perselingkuhan itu tercium amat kental di hidung ‘Abangda’ (panggilan sayang sang istri, Mardiah, kepada si lelaki, suaminya). Usai Mardiah berpamitan untuk berjualan jamu, Abangda menguntit kepergian sang istri dari belakang. Sudah menjadi kebiasan, Mardiah akan pulang ketika hari beranjak maghrib. Pulang dengan senyuman yang paling hangat, kendati otak-otak yang ia jajakan hari itu hanya sedikit yang terjual.
Namun kemesraan di antara keduanya seperti tak pernah memudar. Satu sama lain saling memperlihatkan rasa cintanya yang begitu besar. Kecupan sayang tak pernah terlupakan, selalu seperti pengantin baru, kendati usia pernikahan mereka telah terbilang cukup lama. Tetapi, pada suatu ketika, Abangda tak mampu menahan untuk tidak melontarkan sebuah pertanyaan yang begitu menohok jantung Mardiah, bahwa: ia kerap menyaksikan istri yang teramat ia cintai itu dipeluk seorang bujang dari belakang -di sebuah pelabuhan. Tanpa bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya, Mardiah berusaha berkilah. ‘’Lelaki itu hanya pelanggan,’’ begitu Mardiah menjawab. Tetapi Abangda terus mengejarnya dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Hingga pertengkaran sengit pun tak dapat dihindari. Keduanya sama-sama keras mempertahankan argumen mereka masing-masing.
Mardiah yang kian tersudut akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya: ‘’Abangda, dengar, seburuk apa pun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.’’ Begitulah cara Mardiah mengeksekusi keadaan. Telak. Mendengar perkataan Mardiah itu, letupan amarah di jantung Abangda pun seketika meleleh. Mereka kemudian larut dalam irama desah, lumatan, pagutan, serta gairah yang semakin memuncak. Sementara hujan bermain dengan suasana beku yang kian intim mewarnai malam-malam keduanya yang semakin panjang.
Tetapi Abangda tetap tak mampu menepis rasa gamang yang sejak lama telah merasuk dalam lingkar kepalanya. Sebagai seorang pengangguran, Abangda sering merasa rendah diri di hadapan istrinya. Ia begitu mengimpikan memperoleh pekerjaan tetap serta menjalani kehidupan dengan penghasilan yang cukup, tetapi semua harapannya itu seperti enggan menghampirinya. Abangda sungguh merasa amat sedih dan kecewa. Ia terlampau jemu menyaksikan sang istri bekerja menjajakan otak-otak kepada setiap pelanggannya setiap hari, sementara ia hanya meringkuk dalam peraduan tanpa bisa melakukan apa-apa.
Terlebih saat kenyaatan pelik tentang buah hati yang tak kunjung datang. ‘’Kita belum punya anak,’’ begitu Abangda melontarkan risau yang berkecamuk di hatinya. Tetapi Mardiah hanya menanggapinya dingin. Ia tak ingin kesedihan itu kembali menggerayangi rongga dadanya. Ia tak ingin hari-harinya kembali diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran yang tak kunjung terselesaikan.
‘’Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku untuk merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan, aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.’’ Kembali Mardiah mampu mendinginkan suasana dengan kata-katanya yang meluluhkan.
Bila dicermati, kata-kata tersebut seperti terkesan berlebihan. Tetapi itulah senjata yang digunakan Mardiah agar suaminya tetap mempercayainya. Sejatinya, setiap orang yang merasa terancam, (karena telah ketahuan selingkuh) akan berperilaku sedikit tak wajar, di luar dari kebiasaan. Seperti halnya Mardiah yang memperlihatkan perhatian lebih dari biasanya. Tujuannya tidak lain adalah agar ia tak dipandang tercela di mata sang suami, kendati perbuatan hina (selingkuh) itu benar-benar telah ia lakukan.
Kata maaf terkadang terlalu murah untuk diucapkan. Apalagi jika kesalahan yang sama kembali dilakukan, bahkan sampai berulang-ulang. Dan situasi itulah yang agaknya dihadapi Abangda. Hari itu, Mardiah tak bisa bekerja seperti biasanya lantaran sakit. Abangda tak menaruh curiga sedikit pun. Ia percaya saja jika istrinya itu memang benar-benar sedang sakit. Abangda pun pergi, bekerja menyusuri kampung Petalangan, menggantikan sang istri. Seperti yang dilakukan Mardiah, Abangda pulang sebelum maghrib menjelang. Langkahnya yang jenjang menapaki jalan pulang dengan penuh kerinduan. Ia ingin memberi kebahagian pada Mardiah yang sedang tebaring lemah dalam peraduan.
Namun harapan itu kemudian lebur menjadi malapetaka yang begitu mengerikan. Tepat saat Abangda telah menjejak pintu rumahnya, ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat menjijikkan. Ranjang di rumahnya kini dipenuhi desah, peluh, serta birahi, tetapi bukan desah, peluh, serta birahi miliknya, melainkan milik laki-laki lain. Sesak di jantung Abangda sungguh tak dapat tertahankan lagi. Perbuatan hina yang dilakukan Mardiah dengan laki-laki selingkuhannya itu membuat amarahnya meledak. Seperti kerasukan iblis, Abangda menikamkan belati di tangannya, hingga ranjang itu seketika memerah dibanjiri darah.
Begitulah kisah diakhiri, tanpa ada penjelasan bagaimana nasib para tokoh selanjutnya. Belati yang ditikamkan pun masih terkesan samar, tak jelas siapa yang tertikam belati; apakah Mardiah, laki-laki selingkuhannya, atau Abangda justru menikamkan belati di tangannya itu ke tubuhnya sendiri. Tetapi jika dicermati dari paparan di ending cerita, tikaman belati itu merujuk pada tubuh Mardiah atau laki-laki yang menjadi selingkuhannya. Gambaran itulah kiranya yang paling logis setelah merunut konflik, serta sebab-akibat yang terjadi dalam Cerpen ini.
Melalui Cerpen CDKP ini, MRJ mencoba membidik ranah sensitif keluarga miskin yang tidak harmonis. Perselingkuhan adalah kebiasaan buruk yang menjadi faktor terbesar pemicu kehancuran dalam rumah tangga. Ikatan suci pernikahan yang direkatkan dengan ijab kabul yang sakral seketika akan menjadi tak bernilai lagi bila kesetiaan telah dinodai oleh sebuah pengkhianatan. Kendati rentetan-rentetan masalah kerap mewarnai dalam kehidupan berumah tangga, tidak lantas melunturkan perasaan cinta kita terhadap pasangan, tetapi justru menjadikannya semakin kokoh dan kuat. n
Ahmad Ijazi H, menulis esai, puisi, Cerpen dan novel. Bergiat di FLP Riau, serta mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Juli 2013
SEBUAH cerita pendek (Cerpen) akan tampak berpenampilan lebih feminin dan melankolis ketika seorang sastrawan mampu menyuarakan suasana yang romantik dan puitis dalam karya sastra yang digagasnya. Hal tersebut dapat dicermati dari pilihan diksi yang unik serta aneh (yang di luar dari kebiasaan), selain karena kepiawaian penulisnya yang mampu mengakrobatik kata-kata sehingga kalimat-kalimat yang ia tuangkan menjadi kemasan yang menakjubkan. Kiranya, seperti itulah kesan pertama yang membekas saat membaca paragraf awal sebuah Cerpen apik karya M Raudah Jambak (MRJ) bertajuk Cerita dari Kampung Petalangan (CDKP), yang terangkum dalam Dari Seberang Perbatasan, kumpulan Cerpen pilihan Riau Pos tahun 2012.
Membaca paragraf-paragraf selanjutnya, diksi-diksi yang dilemparkan MRJ dalam Cerpen tersebut semakin terasa tajam dan meruncing. Simak saja penggalan Cerpen berikut: hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang padi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lalu simak pula: sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya. Dilihat sekilas, kalimat-kalimat tersebut lebih mirip dengan penggalan-penggalan sajak yang berserakan, yang sengaja disisipkan penulisnya dalam tubuh Cerpen, sehingga fragmen-fragmen yang terangkum di dalamanya menjadi tampak tidak biasa (berbeda) dari Cerpen-Cerpen kebanyakan.
Tema yang digagas MRJ dalam Cerpen ini cukup menarik. Berbicara tentang perselingkuhan. Sebuah tema yang sejatinya sangat rentan terjadi dalam wilayah internal keluarga. Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya perselingkuhan, diantaranya; tidak adanya kecocokan satu sama lain hingga hubungan yang terjalin menjadi terasa membeku dan hambar, pertengkaran yang kerap terjadi yang bersumber dari keegoisan masing-masing, masalah finansial yang tidak stabil dalam keluarga, atau hal-hal intim lainnya seperti penyakit yang diderita (mandul, impotensi, cacat fisik, dll). Hal itu pula yang agaknya mematik konflik dalam Cerpen CDKP ini. Akibat perselingkuhan, tragedi berdarah pun terjadi di sebuah kampung petalangan.
Dikisahkan (sejak pada bagian awal cerita), aroma perselingkuhan itu tercium amat kental di hidung ‘Abangda’ (panggilan sayang sang istri, Mardiah, kepada si lelaki, suaminya). Usai Mardiah berpamitan untuk berjualan jamu, Abangda menguntit kepergian sang istri dari belakang. Sudah menjadi kebiasan, Mardiah akan pulang ketika hari beranjak maghrib. Pulang dengan senyuman yang paling hangat, kendati otak-otak yang ia jajakan hari itu hanya sedikit yang terjual.
Namun kemesraan di antara keduanya seperti tak pernah memudar. Satu sama lain saling memperlihatkan rasa cintanya yang begitu besar. Kecupan sayang tak pernah terlupakan, selalu seperti pengantin baru, kendati usia pernikahan mereka telah terbilang cukup lama. Tetapi, pada suatu ketika, Abangda tak mampu menahan untuk tidak melontarkan sebuah pertanyaan yang begitu menohok jantung Mardiah, bahwa: ia kerap menyaksikan istri yang teramat ia cintai itu dipeluk seorang bujang dari belakang -di sebuah pelabuhan. Tanpa bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya, Mardiah berusaha berkilah. ‘’Lelaki itu hanya pelanggan,’’ begitu Mardiah menjawab. Tetapi Abangda terus mengejarnya dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Hingga pertengkaran sengit pun tak dapat dihindari. Keduanya sama-sama keras mempertahankan argumen mereka masing-masing.
Mardiah yang kian tersudut akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya: ‘’Abangda, dengar, seburuk apa pun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.’’ Begitulah cara Mardiah mengeksekusi keadaan. Telak. Mendengar perkataan Mardiah itu, letupan amarah di jantung Abangda pun seketika meleleh. Mereka kemudian larut dalam irama desah, lumatan, pagutan, serta gairah yang semakin memuncak. Sementara hujan bermain dengan suasana beku yang kian intim mewarnai malam-malam keduanya yang semakin panjang.
Tetapi Abangda tetap tak mampu menepis rasa gamang yang sejak lama telah merasuk dalam lingkar kepalanya. Sebagai seorang pengangguran, Abangda sering merasa rendah diri di hadapan istrinya. Ia begitu mengimpikan memperoleh pekerjaan tetap serta menjalani kehidupan dengan penghasilan yang cukup, tetapi semua harapannya itu seperti enggan menghampirinya. Abangda sungguh merasa amat sedih dan kecewa. Ia terlampau jemu menyaksikan sang istri bekerja menjajakan otak-otak kepada setiap pelanggannya setiap hari, sementara ia hanya meringkuk dalam peraduan tanpa bisa melakukan apa-apa.
Terlebih saat kenyaatan pelik tentang buah hati yang tak kunjung datang. ‘’Kita belum punya anak,’’ begitu Abangda melontarkan risau yang berkecamuk di hatinya. Tetapi Mardiah hanya menanggapinya dingin. Ia tak ingin kesedihan itu kembali menggerayangi rongga dadanya. Ia tak ingin hari-harinya kembali diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran yang tak kunjung terselesaikan.
‘’Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku untuk merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan, aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.’’ Kembali Mardiah mampu mendinginkan suasana dengan kata-katanya yang meluluhkan.
Bila dicermati, kata-kata tersebut seperti terkesan berlebihan. Tetapi itulah senjata yang digunakan Mardiah agar suaminya tetap mempercayainya. Sejatinya, setiap orang yang merasa terancam, (karena telah ketahuan selingkuh) akan berperilaku sedikit tak wajar, di luar dari kebiasaan. Seperti halnya Mardiah yang memperlihatkan perhatian lebih dari biasanya. Tujuannya tidak lain adalah agar ia tak dipandang tercela di mata sang suami, kendati perbuatan hina (selingkuh) itu benar-benar telah ia lakukan.
Kata maaf terkadang terlalu murah untuk diucapkan. Apalagi jika kesalahan yang sama kembali dilakukan, bahkan sampai berulang-ulang. Dan situasi itulah yang agaknya dihadapi Abangda. Hari itu, Mardiah tak bisa bekerja seperti biasanya lantaran sakit. Abangda tak menaruh curiga sedikit pun. Ia percaya saja jika istrinya itu memang benar-benar sedang sakit. Abangda pun pergi, bekerja menyusuri kampung Petalangan, menggantikan sang istri. Seperti yang dilakukan Mardiah, Abangda pulang sebelum maghrib menjelang. Langkahnya yang jenjang menapaki jalan pulang dengan penuh kerinduan. Ia ingin memberi kebahagian pada Mardiah yang sedang tebaring lemah dalam peraduan.
Namun harapan itu kemudian lebur menjadi malapetaka yang begitu mengerikan. Tepat saat Abangda telah menjejak pintu rumahnya, ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat menjijikkan. Ranjang di rumahnya kini dipenuhi desah, peluh, serta birahi, tetapi bukan desah, peluh, serta birahi miliknya, melainkan milik laki-laki lain. Sesak di jantung Abangda sungguh tak dapat tertahankan lagi. Perbuatan hina yang dilakukan Mardiah dengan laki-laki selingkuhannya itu membuat amarahnya meledak. Seperti kerasukan iblis, Abangda menikamkan belati di tangannya, hingga ranjang itu seketika memerah dibanjiri darah.
Begitulah kisah diakhiri, tanpa ada penjelasan bagaimana nasib para tokoh selanjutnya. Belati yang ditikamkan pun masih terkesan samar, tak jelas siapa yang tertikam belati; apakah Mardiah, laki-laki selingkuhannya, atau Abangda justru menikamkan belati di tangannya itu ke tubuhnya sendiri. Tetapi jika dicermati dari paparan di ending cerita, tikaman belati itu merujuk pada tubuh Mardiah atau laki-laki yang menjadi selingkuhannya. Gambaran itulah kiranya yang paling logis setelah merunut konflik, serta sebab-akibat yang terjadi dalam Cerpen ini.
Melalui Cerpen CDKP ini, MRJ mencoba membidik ranah sensitif keluarga miskin yang tidak harmonis. Perselingkuhan adalah kebiasaan buruk yang menjadi faktor terbesar pemicu kehancuran dalam rumah tangga. Ikatan suci pernikahan yang direkatkan dengan ijab kabul yang sakral seketika akan menjadi tak bernilai lagi bila kesetiaan telah dinodai oleh sebuah pengkhianatan. Kendati rentetan-rentetan masalah kerap mewarnai dalam kehidupan berumah tangga, tidak lantas melunturkan perasaan cinta kita terhadap pasangan, tetapi justru menjadikannya semakin kokoh dan kuat. n
Ahmad Ijazi H, menulis esai, puisi, Cerpen dan novel. Bergiat di FLP Riau, serta mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Juli 2013
No comments:
Post a Comment