Sunday, July 28, 2013

[Jendela Buku] Kritik Terselubung Tajuk Rencana pada Era Soeharto

-- Rudy Policarpus

Buku ini menceritakan tajuk rencana Assegaf yang banyak menyentuh beragam isu yang relevan hingga kini.

Zaman Keemasan Soeharto
D.H. Assegaff
Penerbit Buku Kompas,
I, Juli 2013
414 hlm
BUKU yang mengangkat mantan Presiden Soeharto sebagai tema utama seakan tak pernah habis. Mulai dari mencibir, mengkritisi kediktatorannya dan korupsi yang menggurita di zaman pemerintahannya, ataupun puja-puji terhadap penguasa rezim Orde Baru itu.

Jurnalis senior, almarhum Djafar Husin Assegaff, melalui bukunya berjudul Zaman Keemasan Soeharto yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Juli 2013, dia menyingkirkan sisi kontroversial Soeharto dan memilih mengupas masa gemilang sang presiden dan kritik-kritik terselubung. Buku ini adalah kumpulan 225 tajuk rencananya di Surabaya Post periode 1989-1993.

Sebelum mengupas buku yang ditebitkan sebagai kenangan kepada pasangan pendiri Surabaya Post, Abdoel Aziz dan Toety Aziz ini, menarik jika kita melihat latar belakang karier Asseggaf. Kariernya yang gemilang membawa Assegaff ke pucuk pimpinan di sejumlah media massa, seperti wakil pimpinan umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, pemimpin redaksi Suara Karya, serta pemimpin redaksi Warta Ekonomi hingga menjabat duta besar di Vietnam.

Pada zamannya, LKBN Antara dan Suara Karya dikenal identik dengan media corongnya Orde Baru. Kedekatannya dengan penguasa membuat posisi Assegaf jarang berseberangan dengan pemerintah saat itu. Tajuk rencana adalah sikap sebuah media terhadap peristiwa yang aktual dan menyedot perhatian publik.

Jika demikian definisinya, tulisan-tulisan pria kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 12 Desember 1932 ada pada posisi aman. Sikap itu tentu dapat dipahami, karena pada zaman Soeharto, mengkritik dianggap menggangu stabilitas politik.

Mengkritik secara halus

Alhasil penulis tajuk rencana harus pandai melakukan to read between the lines. Mengkritik secara halus. Contohnya, sebagai bagian dari insan pers, sudah tentu Assegaff menyuarakan kebebasan bersuara. Dalam tajuknya berjudul Etos Wartawan dalam Sistem Pers Pancasila dan Pers Nasional tidak Boleh Disensor, dia mengakui kerap terjadi benturan antara pers dan pemerintah. Ia juga mendorong agar pers lebih berani bersikap, meski tetap dianjurkan melakukan dialog dalam konsep interaksi positif dengan pemerintah.

Juga tengok kritik terselubungnya dalam tajuk berjudul Menanggulangi Korupsi. Ia menulis,"Masalah korupsi adalah masalah yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan. Kami sepakat terhadap apa yang dikostatir Presiden, karena sekarang ini tampaknya nilai-nilai masyarakat sudah berubah. Kita menyaksikan seorang yang menduduki suatu jabatan dan menjadi kaya raya, oleh masyarakat dianggap sebagai suatu prestasi. Ia menonjol dan dianggap sebagai tokoh teladan yang sukses. Tokoh tadi kemudian tidak lagi merasa sungkan atau malu untuk pamer keberhasilannya yang jelas didapat dari cara-cara yang tidak terpuji."Kami sependapat" adalah sebuah dorongan sekaligus kritik terselubung.

Tajuk tersebut ditulis ketika menanggapi pernyataan Presiden Soeharto yang mengatakan bahwa pemeberantasan korupsi akan terlaksana jika masyarakat dapat mengembankan sanksi sosial dan moral kepada koruptor. Sebuah ironi, karena Soeharto kemudian lengser karena isu korupsi di lingkungan kekuasannya.

Tajuk rencana Assegaf banyak menyentuh beragam isu yang relevan hingga kini. Mulai dari Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah negara lain, pengangguran, disiplin anggota DPR, kinerja kepolisian, utang nasional, hingga isu-isu korupsi dan kemiskinan. Namun sayang, hingga kini isu itu belum ada solusi dan perbaikan. Anggota dewan redaksi Media Group ini menyajikan secara lugas untuk ukuran zaman yang demokrasinya terbilang semu. Mengutip pendapat Jacob Oetama di buku setebal 414 halaman ini, jurnalistik pers yang dikembangkan senantiasa mempertimbangkan segala sesuatu dan tidak bersikap ekstrem. Ekstremitas tidak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.

Assegaff tak salah memilih judul buku ini. Karena pada rentang periode tajuk ini dimuat, era Orde Baru tengah berada di puncak prestasi. Kala itu, Indonesia dianggap sebagai 'macan Asia' dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Posisi Indonesia di percaturan politik dunia juga strategis sebagai negara paling berpengaruh di ASEAN dan KTT Non Blok. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013

No comments: