-- Arie F. Batubara
SEBUAH perhelatan teater, berlangsung di Bandung, pada 3-6 Juli lalu. Namanya Festival Teater Remaja Nasional (FTRN) 2013. Diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebanyak 32 kelompok teater remaja dari seluruh Indonesia tampil di event itu. Ke-32 kelompok teater itu merupakan wakil dari semua provinsi, minus Maluku Utara.
Menelan biaya Rp 3 miliar lebih yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, dengan hanya 4 hari penyelenggaraan, festival digelar secara maraton. Karena hanya menggunakan satu panggung pada satu gedung, yakni Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, maka setiap harinya terdapat 8 pertunjukan dari 8 peserta.
Ke-8 pertunjukan itu masing-masing dibagi dalam semacam sesi, yang tiap sesinya berisi dua pertunjukan. Sesi 1 berlangsung pukul 09.30-12.00. Sesi 2: 13.00 - 15.00; sesi 3: 15.30-17.30; dan sesi 4: 19.00-21.00. Artinya, jika dibagi rata, untuk dua pertunjukan pada sesi pertama, masing-masing mendapat jatah 1 jam 15 menit, sementara yang lainnya adalah 1 jam.
Dalam tenggang waktu maksimal 75 menit untuk dua kelompok yang tampil di awal dan 60 menit untuk enam kelompok lainnya, masing-masing peserta dipersilahkan unjuk kebolehan di atas panggung menyajikan sebuah pertunjukan berdurasi maksimal 45 menit.Dengan sistem dan pola penyelenggaraan seperti itu, betapa jumpalitannya peserta mempersiapkan diri. Karena, meski durasi pertunjukan diberikan 45 menit, maka waktu maksimal yang memungkinkan untuk melakukan berbagai persiapan pra dan pasca pertunjukan adalah 30 dan 15 menit. Apa artinya itu?
Pertama, peserta "tergiring" untuk menyusun semacam strategi menyiasati konsiderans waktu yang singkat tersebut. Salah satunya dengan memangkas durasi. Karena ketentuan menyatakan durasi pertunjukan yang 45 menit itu adalah waktu maksimal, maka tak sedikit peserta yang menghadirkan pertunjukan berdurasi 30 menit.
Kedua, sebagai konsekuensinya, peserta seperti tergiring untuk menampilkan pertunjukan yang penuh berbagai bentuk simplikasi. Kebetulan, paralel dengan konsiderans durasi maksimal pertunjukan tadi, masing-masing peserta juga diberi keleluasaan memilih dan menentukan naskah yang dibawakan. Maka, pertemuan dari dua "realitas" tersebut adalah hadirnya pertunjukan yang sangat ala kadarnya, mulai dari cerita (sebagian besar ditulis sendiri oleh peserta), permainan para pemeran, penggarapan (penyutradaraan, artisitik, dan sebagainya). Bahkan, secara rata-rata, hampir dalam semua aspek, peserta dijangkiti penyakit yang sama: rendahnya skill dan penguasaan atas berbagai hal bersifat elementer berteater.
Celakanya, untuk itu bukannya diberi catatan kaki yang perlu diperhatikan. Tetapi malah permakluman, bahwa peserta FTRN 2013 adalah remaja. Seakan-akan, bahwa terhadap setiap yang berlabel remaja, wajar dan sah untuk tidak harus menyajikan yang berkualitas. Ini benar-benar sikap yang meremehkan, yang dalam jangka panjang justru berdampak sangat buruk dalam konteks pembinaan di jagat kehidupan seni teater Indonesia.
Menghabiskan anggaran
Pada tataran ini, pertanyaan penting berikutnya: Untuk apa sesungguhnya FTRN 2013 diselenggarakan?
Kalau merujuk pada pihak yang menjadi penyelenggarannya dan dikaitkan dengan sumber biaya yang digunakan untuk kegiatan ini, tak pelak tentunya bahwa FTRN 2013 dimaksudkan sebagai ajang melakukan pembinaan di bidang kesenian, khususnya seni teater.
Namun, dengan 8 pertunjukan di satu panggung pada satu gedung pertunjukan setiap hari; dengan durasi maksimal 45 menit setiap pertunjukan dan dengan waktu persiapan para maupun pasca pertunjukan hanya antara 15-30 menit untuk tiap pertunjukan; makna pembinaan seperti apakah yang mungkin diperoleh?
Saya kira, siapapun yang tahu atau sekurang-kurang pernah tahu seni teater, paham benar bahwa dengan kondisi semacam itu, agak mustahil terbuka peluang untuk menghadirkan sebuah pertunjukan yang baik. Bahkan, saya sangat yakin, sutradara kaliber dunia seperti Robert Wilson sekalipun tak akan mampu melakukannya. Artinya, kalau kita bicara dalam konteks pembinaan, tentunya sebuah event, lebih-lebih yang sifatnya festival, mestilah ada jaminan atau sekurang-kurangnya membuka peluang bagi munculnya sajian yang terbaik dan berkualitas dalam artian yang sesungguh-sungguhnya sesuai standar yang ada. Bukan sekadar yang terbaik dari yang buruk. Tanpa terpenuhinya prasyarat ini, maka pembinaan itu niscaya tak pernah terjadi.
Tetapi, dengan menyimak sistem, pola, dan mekanisme penyelenggaraan yang digunakan, jelas kiranya bahwa sejak awal FTRN 2013 ini tak mungkin memenuhi hal itu. Malah sebaliknya, festival ini lebih bermakna pembinasaan terhadap seni teater, karena dengan model penyelenggaraannya yang demikian, secara tidak langsung para peserta sesungguhnya telah diajari sedemikian rupa untuk meyakini bahwa pertunjukan teater yang baik itu adalah seperti yang ditampilkan di forum ini. Kesan ini tentu tak berlebihan. Pertama, penyelenggara festival ini adalah lembaga resmi pemerintah dan biaya yang digunakan untuk menyelenggarakannya berasal dari APBN. Kedua, meskipun dikatakan kualitas pertunjukan yang tampil di festival ini di bawah standar, faktanya tetap ada yang terpilih sebagai yang terbaik dan diberi hadiah pula.
Memang, untuk ini, ada sederet apologia yang bisa diajukan. Misalnya, pilihan terhadap yang terbaik itu bersifat kondisional, yakni dalam konteks apa yang terjadi pada FTRN 2013. Tapi, sekali lagi, dalam konteks pembinaan, argumentasi ini mengada-ada dan berbau pembodohan. Sebab, setiap yang namanya pembinaan, harus senantiasa jelas tolok ukur dan standarnya, dan itu tidak bisa tidak harus mengacu kepada nilai-nilai yang umum berlaku dan diakui secara luas oleh publik.
Jadi, tolok ukurnya tidak ada di forum itu, melainkan di luarnya, dan komparasinya bukanlah kegiatan itu sendiri atau kegiatan sejenis lainnya. Melainkan, nilai-nilai yang baku dan standar tadi.
Karena itu, menyadari kenyataan ini, menjadi sangat wajar kalau lantas muncul prasangka bahwa FTRN 2013 sebenarnya tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan sebagai ajang untuk melakukan pembinaan secara semestinya. Akan tetapi, tak lebih tak kurang, kegiatan yang dilaksanakan karena memang harus ada yang dilakukan dan anggarannya terlanjur tersedia.
Dengan kata lain, FTRN 2013 ini diselenggarakan semata untuk menghabiskan anggaran, bukan karena memang ada kebutuhan yang sungguh sublim dan substansial untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, memang akan menjadi berlebihan kalau melalui kegiatan itu kita berharap lebih, apalagi bermanfaat, bagi kemaslahan dan perkembangan seni teater di masa depan.
Cuma saja, menyedihkannya, kegiatan ini diselenggarakan oleh lembaga resmi pemerintah yang di dalam nomenkalturnya tercantum kata pembinaan, serta biaya penyelenggaraannya berasal dari APBN pula yang notabene adalah uang rakyat. Atau memang begitulah sebenarnya tugas pemerintah terhadap seni teater?
Entahlah....
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 13 Juli 2013
SEBUAH perhelatan teater, berlangsung di Bandung, pada 3-6 Juli lalu. Namanya Festival Teater Remaja Nasional (FTRN) 2013. Diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebanyak 32 kelompok teater remaja dari seluruh Indonesia tampil di event itu. Ke-32 kelompok teater itu merupakan wakil dari semua provinsi, minus Maluku Utara.
Menelan biaya Rp 3 miliar lebih yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, dengan hanya 4 hari penyelenggaraan, festival digelar secara maraton. Karena hanya menggunakan satu panggung pada satu gedung, yakni Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, maka setiap harinya terdapat 8 pertunjukan dari 8 peserta.
Ke-8 pertunjukan itu masing-masing dibagi dalam semacam sesi, yang tiap sesinya berisi dua pertunjukan. Sesi 1 berlangsung pukul 09.30-12.00. Sesi 2: 13.00 - 15.00; sesi 3: 15.30-17.30; dan sesi 4: 19.00-21.00. Artinya, jika dibagi rata, untuk dua pertunjukan pada sesi pertama, masing-masing mendapat jatah 1 jam 15 menit, sementara yang lainnya adalah 1 jam.
Dalam tenggang waktu maksimal 75 menit untuk dua kelompok yang tampil di awal dan 60 menit untuk enam kelompok lainnya, masing-masing peserta dipersilahkan unjuk kebolehan di atas panggung menyajikan sebuah pertunjukan berdurasi maksimal 45 menit.Dengan sistem dan pola penyelenggaraan seperti itu, betapa jumpalitannya peserta mempersiapkan diri. Karena, meski durasi pertunjukan diberikan 45 menit, maka waktu maksimal yang memungkinkan untuk melakukan berbagai persiapan pra dan pasca pertunjukan adalah 30 dan 15 menit. Apa artinya itu?
Pertama, peserta "tergiring" untuk menyusun semacam strategi menyiasati konsiderans waktu yang singkat tersebut. Salah satunya dengan memangkas durasi. Karena ketentuan menyatakan durasi pertunjukan yang 45 menit itu adalah waktu maksimal, maka tak sedikit peserta yang menghadirkan pertunjukan berdurasi 30 menit.
Kedua, sebagai konsekuensinya, peserta seperti tergiring untuk menampilkan pertunjukan yang penuh berbagai bentuk simplikasi. Kebetulan, paralel dengan konsiderans durasi maksimal pertunjukan tadi, masing-masing peserta juga diberi keleluasaan memilih dan menentukan naskah yang dibawakan. Maka, pertemuan dari dua "realitas" tersebut adalah hadirnya pertunjukan yang sangat ala kadarnya, mulai dari cerita (sebagian besar ditulis sendiri oleh peserta), permainan para pemeran, penggarapan (penyutradaraan, artisitik, dan sebagainya). Bahkan, secara rata-rata, hampir dalam semua aspek, peserta dijangkiti penyakit yang sama: rendahnya skill dan penguasaan atas berbagai hal bersifat elementer berteater.
Celakanya, untuk itu bukannya diberi catatan kaki yang perlu diperhatikan. Tetapi malah permakluman, bahwa peserta FTRN 2013 adalah remaja. Seakan-akan, bahwa terhadap setiap yang berlabel remaja, wajar dan sah untuk tidak harus menyajikan yang berkualitas. Ini benar-benar sikap yang meremehkan, yang dalam jangka panjang justru berdampak sangat buruk dalam konteks pembinaan di jagat kehidupan seni teater Indonesia.
Menghabiskan anggaran
Pada tataran ini, pertanyaan penting berikutnya: Untuk apa sesungguhnya FTRN 2013 diselenggarakan?
Kalau merujuk pada pihak yang menjadi penyelenggarannya dan dikaitkan dengan sumber biaya yang digunakan untuk kegiatan ini, tak pelak tentunya bahwa FTRN 2013 dimaksudkan sebagai ajang melakukan pembinaan di bidang kesenian, khususnya seni teater.
Namun, dengan 8 pertunjukan di satu panggung pada satu gedung pertunjukan setiap hari; dengan durasi maksimal 45 menit setiap pertunjukan dan dengan waktu persiapan para maupun pasca pertunjukan hanya antara 15-30 menit untuk tiap pertunjukan; makna pembinaan seperti apakah yang mungkin diperoleh?
Saya kira, siapapun yang tahu atau sekurang-kurang pernah tahu seni teater, paham benar bahwa dengan kondisi semacam itu, agak mustahil terbuka peluang untuk menghadirkan sebuah pertunjukan yang baik. Bahkan, saya sangat yakin, sutradara kaliber dunia seperti Robert Wilson sekalipun tak akan mampu melakukannya. Artinya, kalau kita bicara dalam konteks pembinaan, tentunya sebuah event, lebih-lebih yang sifatnya festival, mestilah ada jaminan atau sekurang-kurangnya membuka peluang bagi munculnya sajian yang terbaik dan berkualitas dalam artian yang sesungguh-sungguhnya sesuai standar yang ada. Bukan sekadar yang terbaik dari yang buruk. Tanpa terpenuhinya prasyarat ini, maka pembinaan itu niscaya tak pernah terjadi.
Tetapi, dengan menyimak sistem, pola, dan mekanisme penyelenggaraan yang digunakan, jelas kiranya bahwa sejak awal FTRN 2013 ini tak mungkin memenuhi hal itu. Malah sebaliknya, festival ini lebih bermakna pembinasaan terhadap seni teater, karena dengan model penyelenggaraannya yang demikian, secara tidak langsung para peserta sesungguhnya telah diajari sedemikian rupa untuk meyakini bahwa pertunjukan teater yang baik itu adalah seperti yang ditampilkan di forum ini. Kesan ini tentu tak berlebihan. Pertama, penyelenggara festival ini adalah lembaga resmi pemerintah dan biaya yang digunakan untuk menyelenggarakannya berasal dari APBN. Kedua, meskipun dikatakan kualitas pertunjukan yang tampil di festival ini di bawah standar, faktanya tetap ada yang terpilih sebagai yang terbaik dan diberi hadiah pula.
Memang, untuk ini, ada sederet apologia yang bisa diajukan. Misalnya, pilihan terhadap yang terbaik itu bersifat kondisional, yakni dalam konteks apa yang terjadi pada FTRN 2013. Tapi, sekali lagi, dalam konteks pembinaan, argumentasi ini mengada-ada dan berbau pembodohan. Sebab, setiap yang namanya pembinaan, harus senantiasa jelas tolok ukur dan standarnya, dan itu tidak bisa tidak harus mengacu kepada nilai-nilai yang umum berlaku dan diakui secara luas oleh publik.
Jadi, tolok ukurnya tidak ada di forum itu, melainkan di luarnya, dan komparasinya bukanlah kegiatan itu sendiri atau kegiatan sejenis lainnya. Melainkan, nilai-nilai yang baku dan standar tadi.
Karena itu, menyadari kenyataan ini, menjadi sangat wajar kalau lantas muncul prasangka bahwa FTRN 2013 sebenarnya tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan sebagai ajang untuk melakukan pembinaan secara semestinya. Akan tetapi, tak lebih tak kurang, kegiatan yang dilaksanakan karena memang harus ada yang dilakukan dan anggarannya terlanjur tersedia.
Dengan kata lain, FTRN 2013 ini diselenggarakan semata untuk menghabiskan anggaran, bukan karena memang ada kebutuhan yang sungguh sublim dan substansial untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, memang akan menjadi berlebihan kalau melalui kegiatan itu kita berharap lebih, apalagi bermanfaat, bagi kemaslahan dan perkembangan seni teater di masa depan.
Cuma saja, menyedihkannya, kegiatan ini diselenggarakan oleh lembaga resmi pemerintah yang di dalam nomenkalturnya tercantum kata pembinaan, serta biaya penyelenggaraannya berasal dari APBN pula yang notabene adalah uang rakyat. Atau memang begitulah sebenarnya tugas pemerintah terhadap seni teater?
Entahlah....
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 13 Juli 2013
No comments:
Post a Comment