BUKU Surga Retak mengisahkan perjalanan hidup Suri si gadis belia yang penuh dinamika di tanah Deli. Buku ini mengisahkan kegetiran Suri karena ayahnya mempertaruhkan ibu di meja judi, padahal dalam pertaruhan kelas seribu rupiahan saja bapak selalu kalah. Perhitungan ayahnya yang terlalu gegabah tidak sebanding dengan keberanian orang-orang lain yang sudah terlatih berjudi sejak Belanda mengembangkan kapitalisme di tanah Deli Serdang.
Bapak membuat Suri seperti tercabut dari kebahagiaan, kabur di malam buta dengan motor tua, menuju harapan baru, meninggalkan indahnya cinta yang baru mekar di belakang.
Itulah sepenggal novel Surga Retak, karya Syahmedi Dean yang baru diluncurkan di Gramedia Pondok Indah, Jakarta, 4 Juli lalu. Aktivis dan politikus wanita Wanda Hamidah dan penulis biografi Alberthine Endah turut mengupas novel Surga Retak ini.
Buku ini mengupas keserakahan akan tanah perkebunan yang ada di Deli Serdang, Sumatra Utara. Juga mengupas peninggalan Belanda tentang pelacuran, perjudian, dan kapitalisme yang hingga kini masih terjadi.
Novel Dean kali ini memiliki perbedaan dari novel-novel sebelumnya. Biasanya ia mengangkat gaya hidup ataupun fesyen, dan mengambil lokasi di Kota Paris, Milan, dan Singapura. Dean memberikan sentuhan berbeda dengan mengedepankan nilai-nilai sosial, budaya, sejarah, dan kisah asmara antara Suri dan Murad. Selain itu, ia menggunakan lokasi ia dilahirkan, yaitu di Deli Serdang.
Dengan deskripsi yang sangat detail, pembaca serasa benar-benar masuk alur novel ini dan merasakan perasaan yang ada pada novel Surga Retak ini. Dalam pengerjaan buku ini, sang penulis membutuhkan waktu selama dua tahun. Itu karena ia harus meriset dan mengolah data yang berkaitan dengan novel ini. Dean mengatakan surga retak adalah tanah di Deli Serdang yang dulunya dialiri air yang memiliki humus yang baik sehingga tanah yang ada subur. "Namun, karena keserakahan Belanda, air itu dikuasai sehingga tanah di Deli Serdang mengering," jelasnya.
Menyanyat hati
Penulis menggambarkan kehidupan pelacuran sangat menyayat hati, tak hanya wanita yang menjadi pelacur, tapi laki-laki pun ikut di dalamnya. Kegiatan perjudian yang sangat gila dalam novel ini digambarkan bahwa saat tak memiliki uang, istri, anak atau apa pun dijadikan bahan pertaruhan.
Lalu, apa pesan moral dalam novel yang sarat kesedihan ini?
Dean menyatakan kadang-kadang manusia mengira nasib dipengaruhi dengan apa yang dilakukan. Padahal tidak, nasib dipengaruhi beberapa hal yang lain, seperti sejarah dan hal-hal yang di sekitar kita.
Alberthine takjub terhadap novel Surga Retak ini karena loncatan yang dilakukan penulis sangat jauh. "Saya melihat Dean dapat membuat hal-hal yang bernilai dari sesuatu yang sederhana," tuturnya.
Novel ini menyajikan sebuah ide yang menginspirasi, menyuguhkan mimpi, dan cara mewujudkannya. Walau nasib kadang mencoba untuk memutar roda kendali hidup Anda dari jalan panjang untuk mencapai mimpi Anda. Seperti kata Suri dalam novel Surga Retak, 'Aku harus punya cita-cita, harus berani bermimpi. Kalau tidak, aku cuma terombang-ambing dalam kehidupan duniawi, terombang-ambing dalam arus hidup orang lain. Cita-cita bisa membuat kita punya kehidupan sendiri dalam gelombang kehidupan dunia'. (Why/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 Juli 2013
Bapak membuat Suri seperti tercabut dari kebahagiaan, kabur di malam buta dengan motor tua, menuju harapan baru, meninggalkan indahnya cinta yang baru mekar di belakang.
Itulah sepenggal novel Surga Retak, karya Syahmedi Dean yang baru diluncurkan di Gramedia Pondok Indah, Jakarta, 4 Juli lalu. Aktivis dan politikus wanita Wanda Hamidah dan penulis biografi Alberthine Endah turut mengupas novel Surga Retak ini.
Buku ini mengupas keserakahan akan tanah perkebunan yang ada di Deli Serdang, Sumatra Utara. Juga mengupas peninggalan Belanda tentang pelacuran, perjudian, dan kapitalisme yang hingga kini masih terjadi.
Novel Dean kali ini memiliki perbedaan dari novel-novel sebelumnya. Biasanya ia mengangkat gaya hidup ataupun fesyen, dan mengambil lokasi di Kota Paris, Milan, dan Singapura. Dean memberikan sentuhan berbeda dengan mengedepankan nilai-nilai sosial, budaya, sejarah, dan kisah asmara antara Suri dan Murad. Selain itu, ia menggunakan lokasi ia dilahirkan, yaitu di Deli Serdang.
Dengan deskripsi yang sangat detail, pembaca serasa benar-benar masuk alur novel ini dan merasakan perasaan yang ada pada novel Surga Retak ini. Dalam pengerjaan buku ini, sang penulis membutuhkan waktu selama dua tahun. Itu karena ia harus meriset dan mengolah data yang berkaitan dengan novel ini. Dean mengatakan surga retak adalah tanah di Deli Serdang yang dulunya dialiri air yang memiliki humus yang baik sehingga tanah yang ada subur. "Namun, karena keserakahan Belanda, air itu dikuasai sehingga tanah di Deli Serdang mengering," jelasnya.
Menyanyat hati
Penulis menggambarkan kehidupan pelacuran sangat menyayat hati, tak hanya wanita yang menjadi pelacur, tapi laki-laki pun ikut di dalamnya. Kegiatan perjudian yang sangat gila dalam novel ini digambarkan bahwa saat tak memiliki uang, istri, anak atau apa pun dijadikan bahan pertaruhan.
Lalu, apa pesan moral dalam novel yang sarat kesedihan ini?
Dean menyatakan kadang-kadang manusia mengira nasib dipengaruhi dengan apa yang dilakukan. Padahal tidak, nasib dipengaruhi beberapa hal yang lain, seperti sejarah dan hal-hal yang di sekitar kita.
Alberthine takjub terhadap novel Surga Retak ini karena loncatan yang dilakukan penulis sangat jauh. "Saya melihat Dean dapat membuat hal-hal yang bernilai dari sesuatu yang sederhana," tuturnya.
Novel ini menyajikan sebuah ide yang menginspirasi, menyuguhkan mimpi, dan cara mewujudkannya. Walau nasib kadang mencoba untuk memutar roda kendali hidup Anda dari jalan panjang untuk mencapai mimpi Anda. Seperti kata Suri dalam novel Surga Retak, 'Aku harus punya cita-cita, harus berani bermimpi. Kalau tidak, aku cuma terombang-ambing dalam kehidupan duniawi, terombang-ambing dalam arus hidup orang lain. Cita-cita bisa membuat kita punya kehidupan sendiri dalam gelombang kehidupan dunia'. (Why/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 Juli 2013
No comments:
Post a Comment