-- Iwan Kurniawan
Persoalan kualitas udara, sampah, hingga ruang hijau yang mulai sempit menjadi kritik para seniman cilik lewat karya. Ada perenungan atas kondisi kota.
ENAM lempeng penjuru mata angin tergambar jelas dalam sebuah lingkaran yang disimbolkan sebagai bumi. Lima lempeng terlihat terlepas dari 'wadah' berupa lingkaran itu. Hanya satu penjuru yang masih bertahan di pusaran. Setiap lempeng memiliki nama, yaitu Patih Malabar, Sri Patih Mandalawangi, Patih Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang. Di setiap lempeng--diibaratkan sebagai gunung--ada sebuah permenungan mendalam.
Seakan setiap penjuru sudah rusak sehingga dapat membuat warga terkena bencana alam suatu waktu. Sebuah ironi memang. Kita dapat melihat kerusakan lingkungan di sebagian kota besar.
Gambaran itu terlihat jelas dalam karya berjudul Ajimat pada pameran seni bertajuk Riung Gunung: Mari Reka Kota di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, pada 7-21 Juli lalu. Pada pameran itu, juga dipamerkan manuskrip buatan, puisi, hingga seni instalasi dalam menafsir persoalan kota.
Dalam karya Ajimat yang dikerjakan sejumlah seniman cilik, ada terdengar suara Sang Hyang Riung Gunung. Suara rekaman itu sengaja dihadirkan dengan menggunakan tape recorder sehingga membuat pengunjung seakan mendengar suara dari 'Sang Kuasa'.
Ada pula karya lain yang penuh dengan unsur kritik, yaitu Berjuang.
Semua karya itu merupakan garapan Temmy Febrian, Hervin, Nabil, Azmi, Willian, Hanifan, Tia, Salma, Kimi, dan Bening.
Terlihat degradasi warga mencolok. Paduan cat akrilik hingga ornamen-ornamen tambahan membuat setiap karya seakan mengingatkan kita agar berjuang menuju Riung Gunung untuk menghijaukan kembali kota. "Banjir dan sampah selalu ada di sekitar kita. Kami ingin agar Bandung kembali asri dan hijau," ujar Temmy yang juga ikut dalam pameran tersebut.
Pameran Riung Gunung: Mari Reka Kota menghadirkan suara-suara warga kota yang dalam perencanaan kota masih jarang didengarkan. Anak-anak menghadirkan impian masa depan melalui miniatur-miniatur Kota Bandung.
Sebagian karya-karya seakan berbicara tentang masa depan (sekitar 20 hingga 30 tahun mendatang). Kota yang kelak dipimpin generasi baru sehingga menjadi agen perubahan bagi kotanya.
Gunung
Objek-objek gunung dalam beberapa karya membuat kita seakan diingatkan kembali pada lembaran sejarah, terutama keberadaan Gunung Sunda. Memang, semuanya itu sudah terjadi berabad-abad lampau. Namun, legenda-legenda masih hidup di Tatar Pasundan.
Tengok saja, cerita rakyat tentang pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi yang masih melekat di hati kita. Balutan kisah legenda itulah semakin menambah karya Ajimat terasa kuat dengan kearifan lokal. Penggunaan nama-nama gunung seperti Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang menunjukkan ada sebuah keinginan untuk memprovokasi masyarakat yang datang ke pameran tersebut untuk ikut bertindak. Terutama, melakukan upaya untuk ikut menghijaukan kembali kawasan yang sudah hancur akibat kerusakan lingkungan di lereng-lereng gunung.
Menengok pada karya-karya lain memang cukup ritmis. Para seniman cilik seolah membebaskan diri menjadi alam sehingga begitu polos dan lugu. Alam yang bisa bicara, punya rasa, dan imajinasi.
Pada karya Hanifan, misalnya, ia seolah-olah menempatkan dirinya sebagai alam sehingga bisa bicara dan nulis. Itu tertuang dalam lirik puisi yang dibuat menyerupai lembaran-lembaran manuskrip yang dipajang di dalam kaca.
Pada salah satu piece tertulis; 'Aku adalah hamparan ruangbisa bebas bergerak dengan alamaku adalah tempat kalian berkumpul, berinteraksi, dan menghirup udara segar...sekarang badanku mulai berkurangberganti dengan bangunan-bangunan kokoh'.
Direktur Kreatif Sahabat Kota, Aulia Amanda Santoso, yang ikut menjembatani para seniman cilik berpameran, mengaku perlu pengenalan alam sejak dini. Itu dapat membentuk pemikiran mereka untuk peduli terhadap alam sekitar. "Saya dan puluhan anak turun ke lapangan. Kami melihat pencemaran sungai, kemacetan, hingga ruang hijau yang minim untuk dituangkan lewat seni," gumamnya.
Persoalan kerusakan lingkungan hingga kesemrawutan transportasi tak lepas dari kacamata seniman cilik. Mereka tak banyak berkata-kata. Hanya mampu mereka realitas lewat karya seni. Penuh sindiran dan gelitik terhadap kebijakan pemerintah kota yang korup. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013
Persoalan kualitas udara, sampah, hingga ruang hijau yang mulai sempit menjadi kritik para seniman cilik lewat karya. Ada perenungan atas kondisi kota.
ENAM lempeng penjuru mata angin tergambar jelas dalam sebuah lingkaran yang disimbolkan sebagai bumi. Lima lempeng terlihat terlepas dari 'wadah' berupa lingkaran itu. Hanya satu penjuru yang masih bertahan di pusaran. Setiap lempeng memiliki nama, yaitu Patih Malabar, Sri Patih Mandalawangi, Patih Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang. Di setiap lempeng--diibaratkan sebagai gunung--ada sebuah permenungan mendalam.
Seakan setiap penjuru sudah rusak sehingga dapat membuat warga terkena bencana alam suatu waktu. Sebuah ironi memang. Kita dapat melihat kerusakan lingkungan di sebagian kota besar.
Gambaran itu terlihat jelas dalam karya berjudul Ajimat pada pameran seni bertajuk Riung Gunung: Mari Reka Kota di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, pada 7-21 Juli lalu. Pada pameran itu, juga dipamerkan manuskrip buatan, puisi, hingga seni instalasi dalam menafsir persoalan kota.
Dalam karya Ajimat yang dikerjakan sejumlah seniman cilik, ada terdengar suara Sang Hyang Riung Gunung. Suara rekaman itu sengaja dihadirkan dengan menggunakan tape recorder sehingga membuat pengunjung seakan mendengar suara dari 'Sang Kuasa'.
Ada pula karya lain yang penuh dengan unsur kritik, yaitu Berjuang.
Semua karya itu merupakan garapan Temmy Febrian, Hervin, Nabil, Azmi, Willian, Hanifan, Tia, Salma, Kimi, dan Bening.
Terlihat degradasi warga mencolok. Paduan cat akrilik hingga ornamen-ornamen tambahan membuat setiap karya seakan mengingatkan kita agar berjuang menuju Riung Gunung untuk menghijaukan kembali kota. "Banjir dan sampah selalu ada di sekitar kita. Kami ingin agar Bandung kembali asri dan hijau," ujar Temmy yang juga ikut dalam pameran tersebut.
Pameran Riung Gunung: Mari Reka Kota menghadirkan suara-suara warga kota yang dalam perencanaan kota masih jarang didengarkan. Anak-anak menghadirkan impian masa depan melalui miniatur-miniatur Kota Bandung.
Sebagian karya-karya seakan berbicara tentang masa depan (sekitar 20 hingga 30 tahun mendatang). Kota yang kelak dipimpin generasi baru sehingga menjadi agen perubahan bagi kotanya.
Gunung
Objek-objek gunung dalam beberapa karya membuat kita seakan diingatkan kembali pada lembaran sejarah, terutama keberadaan Gunung Sunda. Memang, semuanya itu sudah terjadi berabad-abad lampau. Namun, legenda-legenda masih hidup di Tatar Pasundan.
Tengok saja, cerita rakyat tentang pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi yang masih melekat di hati kita. Balutan kisah legenda itulah semakin menambah karya Ajimat terasa kuat dengan kearifan lokal. Penggunaan nama-nama gunung seperti Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang menunjukkan ada sebuah keinginan untuk memprovokasi masyarakat yang datang ke pameran tersebut untuk ikut bertindak. Terutama, melakukan upaya untuk ikut menghijaukan kembali kawasan yang sudah hancur akibat kerusakan lingkungan di lereng-lereng gunung.
Menengok pada karya-karya lain memang cukup ritmis. Para seniman cilik seolah membebaskan diri menjadi alam sehingga begitu polos dan lugu. Alam yang bisa bicara, punya rasa, dan imajinasi.
Pada karya Hanifan, misalnya, ia seolah-olah menempatkan dirinya sebagai alam sehingga bisa bicara dan nulis. Itu tertuang dalam lirik puisi yang dibuat menyerupai lembaran-lembaran manuskrip yang dipajang di dalam kaca.
Pada salah satu piece tertulis; 'Aku adalah hamparan ruangbisa bebas bergerak dengan alamaku adalah tempat kalian berkumpul, berinteraksi, dan menghirup udara segar...sekarang badanku mulai berkurangberganti dengan bangunan-bangunan kokoh'.
Direktur Kreatif Sahabat Kota, Aulia Amanda Santoso, yang ikut menjembatani para seniman cilik berpameran, mengaku perlu pengenalan alam sejak dini. Itu dapat membentuk pemikiran mereka untuk peduli terhadap alam sekitar. "Saya dan puluhan anak turun ke lapangan. Kami melihat pencemaran sungai, kemacetan, hingga ruang hijau yang minim untuk dituangkan lewat seni," gumamnya.
Persoalan kerusakan lingkungan hingga kesemrawutan transportasi tak lepas dari kacamata seniman cilik. Mereka tak banyak berkata-kata. Hanya mampu mereka realitas lewat karya seni. Penuh sindiran dan gelitik terhadap kebijakan pemerintah kota yang korup. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013
No comments:
Post a Comment