Sunday, July 21, 2013

[Tifa] Membaca Garis Penuh Keteduhan

-- Iwan Kurniawan

Sebanyak 30 seniman menghadirkan tafsiran atas seni kaligrafi. Penuh perenungan dan penjiwaan mendalam terhadap Sang Khalik.

PAMERAN KALIGRAFI ISLAM: Pengunjung menyaksikan rangkaian Pameran
Calligraphy Islam II 2013 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta Pusat, Rabu, (17/7). Pameran yang diikuti 30 pelukis dan perupa
dari Institut Kesenian Jakarta ini diharapkan dapat menambah makna
lebih luas tentang kaligrafi. Pameran digelar hingga 27 Juli 2013 dan
buka pukul 10.00-21.00 WIB. MI/ATET DWI PRAMADIA

GORESAN ayat-ayat suci Alquran di atas kanvas hingga ukiran nama Allah di atas kayu menjadi sebuah pemandangan yang memberikan sebuah nuansa yang berbeda. Ada nyanyian-nyanyian jiwa untuk memuliakan nama-Nya.

Lewat Pameran Kaligrafi Islam Kedua di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15-27 Juli, ada lembaran-lembaran khusyuk untuk bisa lebih dekat kepada Sang Pencipta.

Pameran ini menghadirkan 30 karya seniman. Mereka mencoba untuk melihat dan memaknai nama Allah. Mulai dari gaya abstrak yang penuh perenungan hingga gaya realis yang penuh dengan unsur keindahan.

Membaca pikiran para seniman memang tak mudah. Pasalnya, pengalaman religius mereka pastilah berbeda-beda. “Pengalaman spiritual akan membawa setiap seniman untuk menghadirkan karya yang berbeda-beda,” ujar perupa Agoes Salim ST di sela-sela pembukaan pameran, awal pekan ini.

Sebagai pengalaman atas kehidupan yang glamor dan hedonis, Agoes pun tak menyangsikannya. Ia pun menghadirkan karya yang penuh dengan teknik ukir sebagai rasa syukur.

Teknik ukir yang ia hadirkan lewat simbol-simbol memang tak mudah. Apalagi, ayah dua anak itu harus benar-benar jeli untuk bisa mengukir sesuai dengan ayat yang terdapat dalam Alquran.

Tengok saja karya Al-Ikhlas yang penuh dengan simbol-simbol berupa lekukan-lekukan yang memberikan kesan sebagai sebuah karya abstrak. Namun, bila kita lihat secara detail, ada tulisan 'Al Ikhlas' yang diukir dalam tulisan Arab yang mengundang decak kagum bagi pengunjung. “Menggunakan media kayu memang lebih membuat karya itu hidup. Saya coba untuk menghadirkan simbol-simbol,” jelas pengajar seni rupa di Institut Kesenian Jakarta itu.

Menafsir setiap kalimat bergaya kaligrafi memang butuh pengetahuan mendalam, terutama merasakan sentuhan dan pengalaman paling terdalam dari lubuk hati seniman.

Karya-karya penuh dengan unsur warna bisa kita lihat pada goresan tangan di atas kertas, seperti dalam karya Siti Turmini K berjudul Ya Allah Tambahkanlah Ilmu Pengetahuan.

Karya ini begitu padu dengan komposisi hitam dan putih. Tiap-tiap garis memiliki makna tersendiri. Corak futuristik begitu kuat sehingga kita bisa membaca pengalaman batin Siti atas interpretasi ketuhanannya.

Berbeda dengan pelukis asal Papua Barat, Fauzan Musa’ad, yang begitu konsisten dengan menghadirkan tema-tema yang dekat dengan kehidupan, Semisal, salat lima waktu, berzikir, hingga pemaknaan atas cahaya.

Pada sebuah karya, Fauzan menghadirkan Al-Ashy (Demi Masa). Sebuah tafsiran yang beragam sehingga membuat karya itu begitu berbobot dan berkarakter kuat.

Dalam karya berukuran 120x100 cm itu terlihat sebuah jam analog yang ia pasang di sisi kanan kanvas. Ia menggunakan jam sebagai sebuah cermin atas masa yang selalu memiliki misteri-misteri tersendiri.

“Intinya, setiap waktu itu harus dimanfaatkan dengan baik. Bila kita membagi waktu yang tepat, hidup ini akan berarti sehingga kita bisa menyelesaikan setiap pekerjaan sesuai dengan rencana Allah,” tutur Fauzan dengan nada khas Papua.

Jagat alam Dalam dunia seni visual, kaligrafi diambil dari kata bahasa Yunani, yaitu ‘kallos’ dan ‘grapha’ yang secara harfiah berarti ’tulisan cantik’.

Kaligrafi diperkenalkan sejak zaman Mesir purba, Yunani purba, dan China purba karena pada masa itulah tulisan diukir di atas batu atau kepingan bulu dengan menggunakan alat yang tajam.

Kemudian, alat tulis seperti buluh, bulu ayam, berus digunakan untuk menulis di atas kulit kayu atau belulang. Namun, sejak penemuan kertas, pelbagai jenis pena digunakan untuk menulis kaligrafi. Untuk tulisan Rumi dan tulisan Khat, pena manuskrip amat sesuai digunakan untuk menghasilkan garis yang indah dan elok.

Namun, dalam dunia Islam, perkembangan kaligrafi sudah ada sejak abad ke-11 dari Persia. Seni kaligrafi biasanya diukir di kayu, bisa dari kayu jati, mahoni, dan lainnya. Kaligrafi Islam sangat berkembang di lingkungan masyarakat Jepara.

Isi kaligrafi disadur dari ayat-ayat Alquran yang mempunyai khat Turki atau yang lainnya. Kaligrafi Arab kayu terbagi menjadi beberapa kategori, kaligrafi Allah-Muhammad, kaligrafi Ayat Kursi, kaligrafi Ayat Seribu Dinar, kaligrafi Asmaul Husna, dan kaligrafi surah-surah Alquran.

Tentu saja, peranan seniman Islam dalam mengembangkan seni kaligrafi menjadi penting. Pasalnya, itu akan menjadi sebuah catatan yang menarik dalam perkembangan seni rupa Islam di Indonesia.

Terlepas dari unsur keislaman, beberapa seniman juga masih menjaga sebuah toleransi yang dihadirkan lewat karya lukis. Anindyo Widito menghadirkan karya berjudul Untukmu Agamamu dan Untukku Agamaku.

Selain menghadirkan masjid, Anindyo memberikan objek berupa gereja, pura, dan wihara dalam karyanya. Ia seakan mau menunjukkan bahwa seni tak harus berpatok kepada suatu paham tertentu.

Ada sebuah kebenaran yang ada dalam setiap agama bumi sehingga membuat karya ini begitu kuat. Melihat setiap karya pada pameran kaligrafi ini seakan membawa kita untuk membaca garis penuh keteduhan.(M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013     

No comments: