Sunday, November 01, 2009

[Buku] Papua dalam Narasi Kritis

Judul buku : Tanah Tabu
Pengarang : Anindita S. Thayf
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Mei 2009
Tebal : 240 halaman

KETIDAKADILAN, kesenjangan sosial, dan ketimpangan pembangunan adalah menu sehari-hari di negeri ini. Salah mengurus negara adalah "prestasi" aparatur pemerintah Indonesia dari level tertinggi sampai terendah. Rakyat masih kerap diposisikan sebagai obyek, bukan subyek pembangunan. Pelaksanaannya yang belum berjalan sesuai harapan membuat warga masih termarginalisasi dalam laju pembangunan.

Sumber daya alam yang melimpah, belum bisa diproduksi dan dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Banyak negara atau kepentingan asing mengail untung sebanyak-banyaknya di air keruh bernama Indonesia ini.

Tengoklah Papua. Apa yang terlintas di benak tentang pulau kepala burung itu? Alamnya yang eksotis, ciri fisik penduduknya yang khas, atau kekayaan sumber daya alam. Bisa juga ada yang menganggap Papua sebagai daerah rawan konflik dan mengarah separatis. Menjadi lucu jika pemeritah pusat terus menekankan pentingnya keutuhan NKRI, sementara implementasi demi kesejahteraan rakyat tidak tepat.

Novel Tanah Tabu yang mengangkat berbagai problem di Papua. Tanah Tabu adalah julukan penulis untuk menggambarkan Papua. Ada tiga tokoh utama yang memposisikan diri sebagai narator dalam novel ini: Leksi (bocah wanita), Pum (anjing), dan Kwee (babi). Pum dan Kwee yang tidak bisa akur menggiring pembaca pada dua sosok lain yang berperan penting dalam keseluruhan cerita, Mabel (nenek Leksi, mertua Mace) dan Mace (ibu Leksi). Porsi Mabel menjadi sentral dalam narasi Leksi, Pum, dan Kwee.

Harmoni alam dan manusia di Papua mulai terusik ketika orang asing datang membawa kepentingan ekonomi. Dalam novel ini direpresentasikan lewat perusahaan tambang emas yang memasuki Papua. Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Pelan tapi pasti, kehadiran perusahan itu menggusur kearifan lokal. Sebagian penduduk asli Papua jadi budak atau anak tiri di tanah sendiri. Bahkan sampai terpaksa mencari limbah emas sisa pertambangan perusahaan asing.

Papua yang eksotis, diperkosa, dan dieksploitasi habis-habisan sumber daya alamnya oleh pendatang, sementara penduduk asli tetap hidup sengsara. Nasib mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Andai pun sempat menikmati, tetap dalam porsi dan posisi kalah. Ambil contoh, Mabel muda yang dibawa keluarga asing dan dijadikan pembantu rumah. Atau eforia sebagai daerah kaya hasil tambang yang mengakibatkan kebiasaan buruk kaum pria Papua. Mereka menghabiskan uang hasil memburuh di tambang emas untuk minum minuman keras, membeli barang-barang mahal yang notebene belum penting lalu menjualnya lagi ketika uang telah habis.

Penulis mengusung wacana diskriminasi gender lewat tokoh-tokoh dalam novel ini. Leksi, Mabel, Mace adalah tiga sosok wanita dari generasi berbeda. Perempuan menjadi korban maskulinitas kaum pria Papua. Ada kesadaran pemberontakan dalam jiwa mereka. Leksi yang polos, cenderung naif, namun kadang cerdas, mencoba membongkar semua yang dilihat dan didengarnya dari orang dewasa. Juga tak takut membuktikan apa yang membuatnya penasaran.

Mabel, wanita tua dengan segala keterbatasannya, melakukan terobosan. Dia jadi corong melawan tindakan para pendatang yang memperlakukan Papua semena-mena. Mengutip pernyataan Kris Budiman, salah seorang juri lomba penulisan novel ini, Mabel menjadi gambaran perempuan hebat tanpa perlu ribet dengan retorika ala akivis perempuan menengah kota.

Perilaku antarmanusia pun disindir secara satir dalam novel ini. Pum dan Kwee yang setia kepada tuannya, sejak awal cerita sudah diketahui sebagai dua pihak yang tak akur, pun punya sisi manusiawi. Sementara manusia (dalam bingkai Tanah Tabu) justru didominasi sisi kebinatangan. Simak kisah Mabel yang pernah jadi korban terpaksa dari konflik kekerasan berlatar ekonomi dan politik di Papua. Dia diciduk dan disiksa fisik batin oleh aparat keamanan karena tuduhan yang direkayasa. Selain itu juga ada sejarah perang antar suku hanya karena memaknai harga diri secara sempit.

Hanya saja saya agak terganggu dengan narasi hewan ini. Ada pendapat, berdasar penelitian, bahwa usia maksimal anjing tidak sama dengan manusia. Setahun usia anjing setara dengan 7 tahun usia manusia. Anjing tertua yang pernah hidup (diakui Guiness World Records) usianya 28 tahun. Nah, jika dalam novel dikisahkan Pum sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama Mabel, maka pertanyaan yang mengusik logika: berapakah umur Pum dan umur Mabel yang sudah nenek-nenek itu?

Tepat bila novel Tanah Tabu ini melenggang sebagai juara I dalam sayembara novel yang dihelat Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu. Ia merefleksikan sekaligus merayakan gugatan terhadap berbagai problematika yang merundung Papua: ekonomi, pendidikan, gender, diskriminasi sosial, sumber daya alam dan lingkungan, kapitalisme, juga kultural-politik. Membuka kesadaran pembaca terhadap realitas yang telah, sedang, dan bakal terjadi di sana.

Arman A.Z., penikmat sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 November 2009

No comments: