Sunday, November 01, 2009

Ekspresi Wajah Puisi

PARA penyair atau sastrawan terlahir berkat tempaan pengalaman dari waktu ke waktu. Dengan pengalaman pula puisi mereka hadir dengan penuh makna. Banyak hal bisa diungkapkan dengan sebait puisi.

UANG DAN TILAS. Seorang seniman membaca karya puisinya pada acara pembacaan puisi dengan tajuk Pembacaan dan Bantingan Puisi di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Sejumlah penyair dari dalam dan luar negeri turRut mengisi pembacaan puisi tersebut.

Puisi juga bisa melahirkan banyak makna yang terkadang tidak semua orang bisa mengerti. Puisi awalnya berasal dari bahasa Yunani Kuno poiéo atau poió yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan I create. Pada masanya, poieo adalah seni yang tertulis di mana bahasa digunakan dengan menonjolkan kualitas estetika atau sisi keindahannya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan pengulangan kalimat dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa.

Namun, perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi bukanlah sejenis literatur, tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Bait-bait puisi dapat berbentuk apa saja. Hal tersebut merupakan salah satu cara penyair untuk menunjukkan pemikirannya. Puisi terkadang juga hanya berisi satu kata atau suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca itu membuat puisi menjadi tidak mudah dimengerti.Namun sastrawan selalu memiliki alasan untuk segala kreativitasnya.

Tidak ada yang membatasi keinginan sang pujangga dalam menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru sehingga lahirlah puisi modern seperti yang ada di tengah masyarakat sekarang. Kemudian muncul pula puisi kontemporer. Hal itu antara lain tampak dalam pertunjukan yang telah dilangsungkan di Komunitas Teater Salihara, Jalan Salihara,Pasar Minggu, beberapa waktu lalu. Pembacaan puisi bertajuk Pembacaan dan Bantingan Puisi oleh penyairpenyair dari berbagai negara semisal Korea, Belanda,Australia, Malaysia,dan Indonesia sendiri ini menjadi titik tolak bahwa puisi di Indonesia masih banyak diminati.

Hadir pada kesempatan pertama adalah Aan Mansyur dengan tiga buah puisi. Di Hadapan Mata Jendela menjadi puisi pertama yang dibacakan Aan Mansyur.Puisi yang bercerita tentang kecintaan pada alam tersebut membuat penonton terdiam. Puisi itu juga bercerita tentang kecintaan pada jendela yang dari baliknya terlihat awan, pohon, dan sungai. Satu-satunya tempat yang tidak bisa dicintai pada kisah dalam puisi itu adalah jalanan di depan kantor gubernur.

Karena memiliki tanda merah dilarang berhenti. "Aku juga mencintai hujan, sungguh,walau aku kadang juga jengkel.Karena hujan hampir seperti perangkap jala nelayan," katanya dalam puisinya. Pelukan menjadi puisi kedua yang dibawakan Aan Mansyur dan tidak kalah menarik sehingga penonton enggan beranjak dari kursi masing-masing. Bercerita tentang seseorang yang selalu ingin bertanya, sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?

Juga cerita tentang seorang istri yang ingin menjadi gurita agar bisa memeluk semua anak-anak dan suaminya. Pagi Ini menjadi puisi ketiga yang dibawakan Aan Mansyur.Bercerita tentang pejalan kaki yang memadati jalan, tetapi tidak ada satu pun yang dikenal. Juga bercerita tentang sulitnya mencari rumah makan yang menyajikan mi instan buatan dalam negeri. Bukan hanya penyair dalam negeri saja yang ikut berpartisipasi pada acara tersebut.

Bernice Chauly (Malaysia) juga hadir dengan puisi pertama berjudul At Endau dan Slip Upuntuk puisi kedua. Selain membawakan puisi pendek, Bernice membawakan pul sebuah puisi panjang. Puisi itu bercerita tentang sebuah keluarga yang ditinggal mati kepala keluarga. Puisi apik tersebut juga bercerita tentang buku harian yang menceritakan banyak hal. Cerita tentang seorang ayah yang mati muda.Tentang ayah yang meninggal dan ibu yang menjerit -jerit ditinggalkan. Keunikan tema dalam pembacaan puisi tersebut terlihat ketika Agus R Sarjono yang karyakaryanya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia hadir di atas pentas.

Puisi pertama yang dibawakannya berjudul Syair Pindah Rumah. "Puisi ini sengaja ditulis sambil mengemasi barangbarang dan kenangan. Cerita tentang beratnya meninggalkan kenangan ketika pindah rumah. Orang-orang yang terusir dari tanahnya yang bermimpi tentang sebuah rumah," katanya. Penyair asal Belanda Alfred Schaffer yang juga peraih banyak penghargaan di Belanda membawakan puisi berjudul Mereka Harus Benar-Benar Siap Untuk Pergi dan Mereka Menyimpan Sendiri untuk Nanti. Puisi Alfred banyak bercerita tentang seorang ibu dengan anak-anaknya.

"Dalam pengamatan saya, puisi-puisi Indonesia banyak lahir dengan emosi setelah reformasi. Puisi itu menjadi sangat personal, dalam, dan apa pun bisa terjadi di dalamnya.Termasuk puisi yang penuh dengan emosi yang meledakledak," kata Alfred dalam diskusi yang digelar seusai acara. Sebagai penutup rangkaian pembacaan puisi tersebut,penyair asal Payakumbuh,Sumatera Barat, Gus TF Sakai,hadir dengan sebuah puisi panjang berjudul Moss Maiden (Perempuan Lumut). Puisi ini bercerita tentang keluarga yang menghuni sebuah rumah berarsitektur Belanda.

Kediaman itu adalah rumah satu-satunya yang tidak berubah sejak seratus tahun lalu. Dalam puisinya diceritakan bahwa si nenek melihat sebuah kampung yang jauh yang tidak ada lagi dalampeta.Dikampungituterdapat banyak perempuan lumut yang tidak boleh kawin sampai kapan pun. Kalau dia menikah, dia akan terkena kutukan ke mana pun dia lari,hingga akhirnya menjadi buta. (bernadette lilia nova)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 1 November 2009

No comments: