Putu Wijaya saat membacakan cerita "Peristiwa Bulu Merak" karya Khu Lung di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (16/2). Acara bertajuk para pendekar Tjersil tersebut, dilaksanakan oleh Dewan Kesenia Jakarta. [Pembaruan/Ignatius Liliek]
BOHONG besar. Itu komentar yang harus diberikan kepada orang yang mengaku penggemar cerita silat Cina tapi tidak tahu Siatiaw Enghiong. Kisah Pemanah Burung Rajawali, demikian arti Siatiaw Enghiong, bisa jadi merupakan kisah terpopuler bagi penggemar cerita silat Cina.
Ya, bisa jadi karena setiap cerita silat mempunyai kekuatan kisahnya masing-masing. Dari mulai alur cerita yang bercabang-cabang dengan daya pikat yang akan semakin menguat setiap jari tangan membuka halaman baru cerita itu. Dari mulai jurus tendangan, pukulan, tangkisan hingga ilmu meringankan tubuh.
Jangan lupakan pula kemampuan para penulis cerita silat Cina, untuk menggambarkan jalinan kisah asmara antara sepasang pendekar. Hidup. Para penggemar cerita silat Cina sejati tidak mungkin melupakan Sintiaw Hiaplu (Sang Rajawali dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thian To Liong Kie/To Ling To (Kisah Membunuh Naga).
Tapi nama penulis kisah menawan itu memang kalah populer dengan karyanya. Semua judul cerita silat itu adalah karya Ching Yung. Pria bernama asli Zha Liangyong kelahiran Haining itu bisa jadi juga kalah populer oleh nama Kho Ping Hoo. Tapi lepas dari soal siapa lebih populer dari siapa seperti layaknya adu kesaktian para pendekar silat Cina di masa lalu, cerita silat Cina memang tidak ada matinya. Mereka punya pembaca setia yang sekarang malah telah banyak membentuk komunitas khusus.
Sebagian di antara mereka itulah yang Jumat (16/2) datang sejam sebelum acara Lampion Sastra I bertema Para Pendekar Tjersil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Sanggar Baru TIM yang terletak di belakang Studio 21 sejak siang memang telah ditata dengan khusus. Lampion berwarna merah. Tempat berdoa lengkap dengan hio dan lilin merahnya. Pilihan kata Tjersil, tjerita (cerita) silat, tampaknya sengaja dipilih untuk melemparkan pembaca ke rimba persilatan yang penuh adu kesaktian lengkap dengan pernak-perniknya.
Begitulah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Zen Hae dan kawan-kawannya sengaja menghadirkan Putu Wijaya, Madin Tyasawan, Aseng Tralala, dan Eliza, untuk membawakan penggalan kisah-kisah menawan tersebut. Dan penonton pun terpaku saat kisah-kisah yang sebagian besar mereka ketahui itu dibawakan dengan menarik oleh Putu Wijaya dan kawan-kawannya.
Putu mendapat giliran membacakan petikan karya Khu Lung berjudul Peristiwa Bulu Merak. Pendekar teater Indonesia sebelumnya menjelaskan, karya Khu Lung mempunyai daya pikat tersendiri. Kisah yang dibacakan Putu Wijaya memang nyaris tanpa adu kemampuan bersilat. Tapi kekuatannya ada pada penggambaran banyak situasi yang demikian cermat.
Menelusuri halaman-halaman demi halaman kisah Peristiwa Bulu Merak, pembacanya akan bisa membayangkan banyak hal. Dari mulai adegan mengiris dan memotong daging hingga memasak. "Kata-kata yang digunakan Khu Lung bagai pisau tajam," ucap Putu.
Langkah yang dilakukan DKJ untuk mengadakan acara pembacaan cerita silat itu jelas harus mendapat apresiasi tinggi. Meskipun penggemar cerita silat Cina keberadaannya tersebar di semua lapisan masyarakat, masih banyak pengamat sastra yang kurang memperhatikan kekuatan cerita tersebut.
Padahal sastrawan Ajip Rosidi lewat tulisannya yang dimuat majalah Star Weekly edisi 8 Februari 1958 sudah menyindir mereka yang merasa dirinya ahli sastra untuk lebih memperhatikan cerita silat tersebut. Dalam artikelnya yang berjudul Cersil yang Tegang, Platis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia. Ajip memang sejak lama sudah menunjukkan kegemaran dan bahkan pembelaannya yang telanjang pada cerita silat tersebut. Sekarang DKJ sudah memulai langkah positif dengan acara Lampion Sastranya. Siapa menyusul? [A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 17 Februari 2007
No comments:
Post a Comment