MENULIS adalah perang. Membaca adalah senjatanya. Begitulah moto yang terpatri dalam proses kreatif Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, 14, saat membuat novel setebal 660 halaman dengan judul Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar, yang diluncurkan di Bataviase Nouvellese Cafe Galeri, Jakarta, Sabtu (17/2).
Sebagai penulis muda, Ataka mampu menciptakan fantasi-fantasi luar biasa. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa yang dimunculkan dalam kisah petualangannya itu.
''Semula saya bercita-cita menjadi dokter. Namun karena banyak malapraktik, akhirnya saya malas menjadi dokter. Saya ingin menjadi penulis saja,'' kata siswa kelas IX SMP Negeri 5 Yogyakarta itu.
Novel Misteri Pedang Skinheald II dengan tebal 660 itu dalam banyak hal memang menunjukkan bakat kepengarangannya yang prestisius. Apalagi jika dibandingkan dengan penulis-penulis cilik atau penulis muda yang kecanduan menulis novel pop. Tingkat kerumitan cerita yang terangkum dalam novel Misteri Pedang Skinheald II telah mencerminkan fantasi pengarang yang bebas dan kreatif.
''Saya suka membaca karya-karya JK Rowling dan Pramoedya Ananta Toer,'' kata Ataka sambil menyebut judul-judul novel tentang Harry Potter, serta novel-novel sejarah seperti Arus Balik, Bumi Manusia, dan Calon Arang karya Pramoedya.
Dengan berbekal tekad menulis yang membulat, Ataka kini telah menerbitkan sejumlah bukunya, antara lain Misteri Pedang Skinheald I: Sang Pembuka Segel (Alinea, 2005), Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (Liliput, 2005), dan Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar (Copernican, 2007). Novelnya yang segera diterbitkan lagi ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Palangtritis.
Kegiatan menulis telah ditekuni Ataka sejak kelas 4 SD. Kata demi kata ia torehkan tanpa ia tahu harus menjadi apa. Sebab hasil tulisannya selalu ia gulung, seperti Patih Gajah Mada menggulung titahnya kepada para prajuritnya.
Gulungan tulisan berupa cerita-cerita ringan itu tidak selalu tersimpan baik oleh Ataka. Akibatnya orang tuanya kerap menganggap tulisan-tulisan Ataka sebagai sampah. Namun untunglah, lambat laun kedua orang tua Ataka menyadari hobi sekaligus potensi anaknya sebagai seorang yang berbakat menulis.
Di luar kegiatan mengarang, Ataka tetap belajar dan mengejar ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah. Terbukti, September 2006, ia berhasil meraih medali perunggu saat mengikuti Olimpiade Sains Nasional Bidang Fisika. (Chavchay Syaifullah/H-4)
Sumber: Media Indonesia, Selasa, 20 Februari 2007
No comments:
Post a Comment