Jakarta, Kompas - Selain memberi peluang bagi terciptanya kesejahteraan umat manusia, derasnya arus globalisasi juga bisa menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan pada kelompok penduduk dunia. Bangsa Indonesia yang tengah terpuruk dalam banyak hal saat ini tetap harus punya kemauan dan bekerja keras untuk bangkit menyejajarkan diri dengan bangsa- bangsa lain di dunia.
Dalam kaitan itu, keterbukaan terhadap perbedaan dan keragaman serta kemampuan untuk menyerap hal-hal baik dari bangsa lain justru bisa memperkaya kehidupan budaya dan masyarakat demi kemajuan bangsa ini. Sebenarnya, pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan besar yang masih relevan dengan kehidupan saat ini—dan mendorong bangsa ini sejajar dalam segala aspek kehidupan dengan bangsa lain—sudah diberikan banyak tokoh atau pejuang, termasuk oleh budayawan Sutan Takdir Alisjahbana alias STA. Hanya saja, mutiara berharga itu diabaikan begitu saja.
Dalam diskusi panel "Revitalisasi Pemikiran STA" yang digelar Universitas Nasional (Unas) Jakarta untuk memperingati ulang tahun ke-99 STA, Sabtu (10/2), persoalan ini kembali mengemuka. Diskusi panel menghadirkan sastrawan Sapardi Djoko Damono, tokoh pers Bambang Harymurti, dosen filsafat Unas Suparman Abdullah, serta sejumlah kalangan muda. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Satrio Soemantri Bodjonegoro tampil sebagai pembicara kunci.
Pada pertengahan abad ke-20, STA telah berbicara tentang globalisasi, yang ia istilahkan satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan atau Bumantara. STA yang wafat pada 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun itu menggaungkan modernisasi yang berkiblat pada Barat, namun menuai kontroversi. Padahal, yang STA inginkan adalah bangsa ini mencuri otak Barat dalam arti mengambil sisi positif yang mendorong kemajuan. Bukan menelan semua produk Barat seperti yang terjadi dalam era konsumerisme ini.
Untuk membuat bangsa ini menjadi pintar dan tidak kalah dari bangsa lain, STA juga menawarkan penerjemahan karya- karya asing bermutu ke dalam bahasa Indonesia. Pemerintah juga perlu memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti bahasa global.
Dalam pidato pembukaan diskusi, Rektor Unas Umar Basalim mengatakan, mengenang pemikiran dan gagasan STA yang dituangkan dalam banyak media —seperti karya-karya sastranya, ruang kuliah, dan seminar—akan mencerahkan bangsa yang tengah keterpurukan ini untuk bangkit.
"Pemikiran STA masih layak untuk dikenang dan disegarkan kembali. Beliau tidak hanya tokoh Pujangga Baru, tetapi juga sebagai pejuang nasional dan pelopor modernitas. Setelah acara ini, kami akan berkirim surat ke presiden supaya STA diangkat sebagai pahlawan nasional. Kami harap dalam peringatan ulang tahun ke-100 STA nanti gelar itu bisa didapat," kata Umar.
Satrio mengatakan, bangsa Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dari globalisasi supaya tidak menjadi korban ketidakadilan atau kesenjangan. Modernisasi seperti yang digagas STA, tentu tetap pula memperhatikan akar budaya bangsa.
Membicarakan STA, kata Satrio, akan banyak berbicara pada aspek kesusastraan dan kebahasaan. Sastra tetap harus dipertahankan dalam kehidupan manusia supaya hidup tidak menjadi datar. Adapun bahasa suatu bangsa harus dikembangkan dan dipertahankan.(ELN)
Sumber: Kompas, Senin, 12 Februari 2007
No comments:
Post a Comment