Sunday, February 04, 2007

Sastra: Rukmana, Ahmad Tohari, dan Made Suarsa Raih Hadiah Rancage 2007

Ajip Rosidi [Foto:YC Kurniantoro/Pembaruan]


TIGA penulis yang masih terus menggunakan bahasa daerah dalam karya-karyanya mendapat hadiah Sastra Rancage 2007. Mereka adalah Rukmana HS, penulis kumpulan cerita pendek berjudul Oleh-Oleh Pertempuran yang ditulis dalam bahasa Sunda dan Ahmad Tohari, penulis roman berjudul Ronggeng Dukuh Paruk Banyumas yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Penulis ketiga ialah I Made Suarsa yang tetap tekun menorehkan pikirannya dalam bahasa Bali. Karya Made Suarsa yang membuatnya terpilih untuk meraih hadiah Rancage ialah, Gede Ombak Gede Angin.

Informasi mengenai pemenang Hadiah Sastra Rancage disampaikan pengurus Yayasan Budaya Rancage, Hawe Setiawan dalam surat elektroniknya yang diterima Pembaruan, Jumat (2/2). Hadiah Sastra Rancage 2007 adalah yang ke-19 kalinya untuk sastra Sunda, yang ke-14 kalinya untuk sastra Jawa dan yang ke-10 kalinya untuk sastra Bali. Hadiah sastra itu untuk penulis yang menggunakan bahasa daerah itu semula memang hanya ditujukan untuk penulis berbahasa Sunda. Dalam perkembangannya kemudian, Yayasan Budaya Rancage memberikan penghargaan sastra untuk penulis berbahasa Jawa dan Bali.

Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage dalam beberapa kali pertemuan menyatakan kegelisahanya soal masa depan sastra daerah. Kegelisahan itu semakin meningkat pada tahun lalu saat tiga pendiri yayasan meninggal dunia. Mereka yang meninggal dunia ialah Ayatrohaedi, Edi S Ekadjati, dan H R Deddi Anggadiredja

Menurutnya, pemerintah tidak pernah serius membuktikan komitmennya untuk mengembangkan sastra daerah. Pada saat yang sama, budayawan itu juga menyaksikan betapa dunia sastra daerah, terutama sastra Sunda, Jawa, dan Bali semakin kehilangan penulis dan pembacanya.

Namun dunia sastra pada 2006 ternyata sedikit menghapus kegelisahannya. Dalam tahun 2006, penerbitan buku dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali lebih marak daripada tahun-tahun sebelumnya. Dalam bahasa Sunda ada 30 judul (tahun 2005 ada 19 judul), dalam bahasa Jawa ada 16 judul (tahun 2005 ada 6 judul) dan dalam bahasa Bali ada 17 judul (tahun 2005 ada 5 judul). "Mudah-mudahan kecenderungan kian banyaknya jumlah buku dalam bahasa ibu yang diterbitkan akan terus berlanjut," katanya.

Jarang

Cerita-cerita pendek Rukmana HS yang dimuat dalam Oleh-oleh Pertempuran terpilih karena cerita mengenai revolusi kemerdekaan (1945-1949) yang ada dalam kisah itu jarang sekali muncul dalam sastra Sunda. Rukmana juga mengetengahkan berbagai peristiwa historis yang selama ini hanya beredar secara lisan dengan latar yang wajar, seperti kiriman kosmetik kepada para pemuda Bandung dari para pemuda Surabaya yang mengejek karena dianggap tidak terjun berjuang, tetapi dibalas oleh para pemuda Bandung dengan mengirimkan kepala Gurkha.

Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan karya Ahmad Tohari adalah versi bahasa Banyumas yang dikerjakan oleh penulisnya sendiri dari triloginya dalam bahasa Indonesia. "Buku itu bukan terjemahan, melainkan hasil penulisan ulang dalam bahasa ibu pengarangnya. Substansi cerita tidak berubah, tetapi penulisan kembali dalam bahasa ibu itu merupakan hasil transformasi. Dalam karya transformasi niscaya ada perubahan yang dalam hal ini nampak pada emosi pengarang sebagai penutur asli ragam bahasa Jawa Banyumasan yang meluncur dan mewarnai karya tersebut menjadi bernuansa khas," jelas Ajip.

Cerita-cerita pendek Made Suarsa selain tampil dengan bahasa yang indah, juga ditandai dengan struktur cerita yang relatif rumit, kompleks dan canggih. Walaupun konflik antartokoh belum maksimal, struktur naratif yang ditandai dengan alur yang kompleks membuat cerita-ceritanya nikmat dibaca.

Persoalan yang digali juga terasa dalam dan disorot dari berbagai sudut. Dalam Rasmining Monang Maning misalnya, Suarsa melukiskan perbedaan persepsi publik tentang kualitas rumah perumnas dan arti hidup dalam kompleks perumahan yang tak pernah ada sebelumnya di Bali.

Sikap realistis dalam era modern tercermin dalam cerita Mangku Sonteng yang melukiskan konflik antara tokoh yang mendukung dan yang menolak pembangunan sekolah di tempat yang dianggap angker.

Akhir cerita menunjukkan bahwa pembangunan sekolah di tempat yang diangap angker itu tidak berarti menghilangkan nilai kesakralan, sebaliknya pembangunan menawarkan bentuk kesejahteraan dan keharmonisan baru.

Cerita-cerita pendek I Made Suarsa terpilih sebagai pemenang karena penulisnya telah menujukkan potensi bahasa Bali sendiri dalam penciptaan prosa liris. Selama ini keindahan bahasa Bali nampak hanya dalam penulisan puisi tradisional.

Made Suarsa membuktikan bahwa keindahan demikian dapat juga dicapai dalam sastra Bali modern. Penyerahan hadiah menurut rencana akan dilaksanakan melalui kerjasama antara Yayasasan Kebudayaan Rancage dengan dengan Universitas Islam Bandung (Unisba) Bandung di kampus Unisba akhir Mei mendatang. [A-14]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 3 Februari 2006

No comments: