Jakarta, Kompas - Pada awal berdirinya, Indonesia pernah menjadi pelopor bangsa modern di Asia dan Afrika. Namun, suasana kejiwaan bangsa Indonesia mengalami pengerdilan. Ini ditandai dengan ditinggalkannya cara berpikir dan bertindak kosmopolitan, menjadi cenderung melihat ke dalam, sehingga status pelopor itu tak bisa dipertahankan.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Minggu (2/9) di Jakarta. Budaya kosmopolitan itu terutama dimiliki pendiri Indonesia, seperti Soekarno dan Moh Hatta. Budaya itu mereka dapatkan dari pendidikan Belanda yang terbuka, egaliter, dan menanamkan kedalaman berpikir dengan cara membiasakan seseorang mempelajari berbagai pemikiran dari sumbernya.
Dengan budaya kosmopolitan, mereka membangun Indonesia yang kemudian sempat menjadi inspirasi negara lain, seperti Malaysia, India, dan bahkan Korea.
Namun, budaya kosmopolitan ini mulai rontok ketika Jepang masuk ke Indonesia dan melarang peredaran berbagai bacaan yang tidak berbahasa Jepang atau Indonesia. Kondisi ini membuat terbatasnya bacaan yang dapat dikonsumsi rakyat. Keadaan makin diperparah dengan mulai dikenalkannya pendidikan militer yang otoriter.
"Orang hasil didikan Jepang ini kemudian berkuasa di masa Orde Baru. Akibatnya, Orde Baru mencitrakan sesuatu yang heroik, tetapi tidak memberikan kedalaman berpikir. Pendidikan yang dibangun juga tak mencerminkan nilai demokrasi," papar Yudi.
Untuk mengembalikan kebesaran Indonesia, kata Yudi, harus diawali dengan mengubah pendidikan. Itu karena bangsa besar hanya bisa dibangun oleh masyarakat yang bermental besar. Mental besar itu dibangun dari pendidikan.
"Pendidikan harus egaliter, memberikan kedalaman berpikir, dan terjangkau sebagian besar orang. Pendidikan juga harus memerhatikan lokalitas setiap daerah sebab yang akan menang dalam persaingan di masa depan adalah mereka yang dapat mengawinkan potensi lokal dengan nilai universal," katanya.
Sosiolog Tamrin Amal Tomagola melihat kebesaran Indonesia di masa depan terletak di tangan kaum menengah. Mereka berarti orang yang berusia muda, hidup di kota menengah, dan dari kelas ekonomi menengah.
Tamrin melihat kelompok itu merupakan pemilik masa depan Indonesia karena mereka relatif tak terkait dengan rezim tertentu sehingga masih bersih, terbiasa hidup dalam pluralitas, dan bisa mengenyam pendidikan yang relatif bermutu. (NWO)
Sumber: Kompas, Senin, 3 September 2007
No comments:
Post a Comment