-- Mulyawan Karim dan Rudy Badil*
SAAT berlangsung Ekspedisi Tanah Papua, Agustus lalu, belasan wartawan Kompas menyebar di segala pelosok tanah Papua. Tentu saja dengan niatan meliput soal masyarakat dan kebudayaan Papua, di masa ramai-ramainya demo dan bertebarannya layanan pesan singkat atau SMS penuh muatan teror berita ribut-ribut soal otonomi khusus, pemekaran daerah, hubungan kurang seru antara Merah Putih dan "bintang kejora", malah pakai tebaran bumbu isu "seperatisme" segala.
Anggota Ekspedisi Tanah Papua (ETP) yang bertugas mencari berita dan kisah kejadian di lapangan tentu saja senang-senang tak tenang membaca catatan ancaman SMS yang seru-seram, atau sering tertawa mendengar mop atau cerita lucu-lucuan khas Papua, semisal mop saat gencar-gencarnya kampanye aman dari HIV/AIDS dengan kondom: "Kau mau aman, jangan pakai tentara jangan pakai polisi. Pakai... kondom!"
Namun, yang kepikiran justru bukan SMS atau mop itu. Sebab, dari catatan yang terbawa, tercatat nama-nama yang kebanyakan bergelar sarjana antropologi, juga sarjana ilmu lainnya, termasuk pakar otodidak di Papua.
Pertemuan dan diskusi terjalin rapi jali, informasi pun masuk dengan tulus dan mulus. Hingga rekan yang di Lembah Balim tahu duduk soal "busana", berupa cangkang labu kering penutup aurat pria itu namanya holim, atau koteka di Paniai, huni di Mapi, kobewak di kawasan Tolikara, atau anyum di Pegunungan Bintang. Juga rumah bundar orang Dani, namanya dalam tulisan antara honae, honei, honay, dan bukan "honey" yang dikira turis bule artinya madu atau sayang.
Untungnya kebanyakan sarjana antropologi atau antropolog, begitu sebutannya, memang "Anak-anak Papua", misalnya Dr Johsz Robert Mansoben, Dr Nafi Sangganafa, Drs Jack Morind MA, Drs Frans Apomfires MA, Dra Mien A Rumbiak MA, Drs Freddy Sokoy MA, Drs Roriwo Karetji MM beserta antropolog lainnya. Kebetulan sekali, mayoritas dari nama itu memang antropolog "cangkokan" dari Universitas Indonesia (UI), UGM, Unpad, dan juga luar negeri.
Akan tetapi, selain nama antropolog Papua yang "Orang Komin" dengan kulit hitam dan rambut keriting, juga ada beberapa "Orang Amber" yang bukan "anak Papua" karena rambut lurusnya dengan kulit sawo matang, tetapi mengenal Papua karena tugas dan memang kelahiran Papua, seperti Ahmad Kadir MSi, Marsum MSi, atau Dr Onny Suwardi Redjo MPH yang "jamer" alias Jawa-Merauke. Selain itu, ada juga Nicodemus Tan yang peranakan China-Papua serta sobat lain, termasuk rohaniwan dan guru sekolah yang "Orang Amber", tetapi memiliki pengetahuan "ilmu dasar" antropologi praktis karena tugas dan pergaulannya sehari-hari.
Kesadaran mencari sumber yang tahu antropologi mutlak bagi peliput yang mau menulis jernih dan bersih soal manusia dan budaya Papua. Bayangkan kalau sampai salah sumber, bisa- bisa dianggap menyebarkan isu murahan sejenis SMS teror yang lagi ramai-ramainya di sana.
Disebut "ilmu sisa"
Sebelum kemerdekaan tahun 1945, antropologi memang "ilmunya" orang Belanda. Mereka yang akan bertugas di Hindia Timur sebagai pegawai pemerintah kolonial, tentara, atau penyiar agama diwajibkan punya bekal pengetahuan luas soal bumi, bahasa-bahasa, dan adat istiadat rakyat negeri jajahan itu.
Ilmu tentang Indonesia itu disebut land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie alias ilmu bumi dan ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda, bukan antropologi.
Satu-satunya antropolog Belanda masa itu hanya GA Wilken, guru besar Universitas Leiden pada 1885. Dalam buku Tokoh-tokoh Antropologi (1962), Wilken disebut Koentjaraningrat (15 Juni 1923-23 Maret 1999) sebagai penganut aliran evolusionisme karena membuat kerangka dasar untuk penggolongan suku bangsa di Indonesia.
Setelah zaman Wilken, penelitian tentang bumi, masyarakat, dan kebudayaan Indonesia diambil alih pakar non-antropologi. Misalnya penelitian bahasa dan filologi, aneka ragam masyarakat dan hukum adat Nusantara, menghasilkan adatrechtsmonografieen atau adatrechtbundels. Penelitian sejarah persebaran agama Islam, hukum Islam, prasejarah Indonesia, dan lainnya, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia, lebih banyak dilakukan ahli pertanian. Sampai-sampai di Belanda antropologi disebut sebagai "ilmu sisa" karena meneliti aspek masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang dianggap tak perlu diselidiki dan dikaji lagi.
Bersamaan dengan itu, pengumpulan data etnologi Indonesia yang giat dilakukan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, meski bukan dilakukan antropolog, dapat menghasilkan karya etnogarfi yang lengkap. Misalnya C Snouck Hurgronje yang ahli filologi Semit, tetapi terkenal sebagai penulis buku etnografi Aceh dan Gayo yang hebat. AW Niewenhuis yang dokter, tetapi menulis buku deskripsi lengkap dan mendalam tentang suku-suku Dayak di Kalimantan, saatnya memimpin ekspedisi lintas Kapuas-Mahakam dari Barat-Timur Kalimantan.
Begitu juga buku etnografi tentang adat istiadat suku Toraja Barat dan Toraja Timur, karya AC Kruyt yang seorang guru agama, tetapi sudah berbekal land- en volkenkunde dari Binnenlands Bestuur atau Departemen Dalam Negeri Belanda.
Pada masa yang sama, antropolog Barat non-Belanda juga banyak meneliti di Indonesia bagian timur. Di antaranya EM Loeb sebagai antropolog Amerika Serikat pertama yang meneliti di Sumatera Barat, disusul antropolog perempuan AS, seperti Cora Dubois yang meneliti di Alor dan Margaret Mead di Bali.
Era baru kajian antropologi Indonesia muncul menjelang Perang Dunia II. JPB de Josselin de Jong bersama antropolog Belanda lainnya meneliti struktur sosial kuno masyarakat di Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan lainnya.
Namun, penelitian tentang keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia sempat terhenti pada awal zaman kemerdekaan karena peneliti Belanda itu hampir semua pulang ke Belanda, kecuali GJ Held yang guru besar antropologi di UI sampai wafatnya pada 1956.
Peran antropolog Belanda berangsur diambil alih peneliti dari AS. Sejak sekitar tahun 1955 banyak di antaranya meneliti lapangan di Indonesia. Beberapa hasil risetnya pun menjadi buku klasik dan legendaris, seperti Clifford Geertz (Religion of Java, 1960), Hildred Geertz (The Javanese Family, 1961), dan AC Dewey (Peasant Marketing in Java, 1962).
Menyebar setelah UI
Dalam masa peralihan itu pula, tepatnya tahun 1957, setelah setahun sebelumnya Koentjaraningrat kembali membawa gelar master antropologi dari Universitas Yale.
Waktu itu berdiri jurusan antropologi di Fakultas Sastra UI. Jurusan baru ini membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia melanjutkan studi di bidang penelitian masyarakat dan kebudayaannya. Bukan lagi meneliti kegiatan koloni penjajahan, seperti yang dilakukan ahli land- en volkenkunde Belanda dulu.
Antropologi sebagai ilmu baru dikembangkan melalui mata kuliah dasar, agar mahasiswanya mulai mengerti lebih jauh soal keindonesiaan dengan ragam-ragam budayanya.
Pengetahuan yang tadinya berdasarkan kebutuhan praktis Belanda, yang disebut practical anthropology, kini mempelajari lebih tajam lagi soal asas kebudayaan, konsep, metode dan teori baru, juga menjadi ilmu terapan untuk penelitian perubahan dan pergeseran kebudayaan manusia dalam masa transisi sosial budayanya.
Ilmu yang tadinya disebut "ilmu sisa" sepertinya kini cocok disebut sebagai salah satu "dasar"-nya ilmu-ilmu sosial, agar orang lebih mengenal manusia lainnya secara utuh sebagai individu berikut latar belakang sosial budayanya. Sebab, selama 50 tahun kian banyak antropolog di banyak perguruan tinggi, sambil mengajar dan mengembangkan antropologi di dalam ruang maupun lapangan penelitian.
Hanya yang harus dipikirkan, apa saja karya lapangan yang dapat diterapkan untuk umum, agar mengenal lebih jauh manusia dan perilaku sosial-budayanya.
Sebab, kalau dari buku referensi hasil penelitian empirik, terus terang sulit bagi wartawan menemukan bahan yang cocok mau tahu ABC-nya manusia dan kebudayaan yang didatangi, seperti yang dihadapi tim ETP Kompas selama di Papua.
Untung rekan-rekan Universitas Cenderawasih amat bersahabat dan mau bagi-bagi ilmunya. Harap saja masih ada rekan antropolog di USU Medan, Unpad Bandung, UGM Yogyakarta, Udayana Denpasar, Unhas Makassar, Unsrat Manado, Uncen Jayapura dan lainnya masih tetap mau bagi-bagi sisi lain ilmu antropologinya, sebagai ilmu dasar yang klasik tapi asyik.
* Rudy Badil, Wartawan Tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, Kamis, 27 September 2007
No comments:
Post a Comment