-- Susanto Zuhdi*
Rapat Raksasa IKADA (kira-kira di bagian tenggara Lapangan Monas sekarang) pada 19 September, 62 tahun lalu, merupakan peristiwa yang timbul akibat tindakan yang dipelopori para pemuda "Menteng 31", yang tidak puas terhadap kondisi dan struktur politik ketika itu. Mereka, antara lain, adalah Sukarni, Chaerul Saleh, AM Hanafi, dan Adam Malik.
Meskipun kemerdekaan telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, amanat di dalam teks: "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya..." belum menjadi kenyataan.
Perbedaan pandangan antara golongan pemuda dan golongan tua sudah muncul pada akhir zaman Jepang. "Janji Koiso" yang berisi "kemerdekaan di kemudian hari" dari sudut pandang pemuda merupakan "komitmen" yang terus dipegang golongan tua (Soekarno, Hatta, dan Soebardjo). Tentu saja golongan pemuda berpandangan sebaliknya. Itulah sebabnya, setelah semakin santer berita kekalahan Jepang oleh Sekutu, persoalan yang muncul adalah apakah kemerdekaan bangsa Indonesia masih relevan dengan "janji Jepang" atau tidak.
Tampaknya sulit juga jika pengertian lepas dari pengaruh Jepang sepenuhnya kalau mau dikaitkan pada proses kemerdekaan secara umum. Gedung Joang Menteng 31 itu sendiri sebenarnya didapatkan karena "kebaikan" Shimizu, Kepala Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang). Setidaknya karena "surat sakti"-nya, yang diberikan kepada Sukarni, sehingga orang Belanda pemilik Hotel Schomper I mau memberikannya untuk markas pemuda (AM Hanafi, Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan, 1966).
Pada 15 Agustus, sekembali dari Dalath, Vietnam, Soekarno di depan penduduk Jakarta yang menyambutnya di Kemayoran berkata, "Kalau dulu saya berkata sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga."
Sementara itu, para pemuda terus memantau berita dan akhirnya mendapatkan kepastian kekalahan Jepang. Berita itulah yang dijadikan dasar pemuda untuk "memaksa" Bung Karno untuk segera menyatakan kemerdekaan, tanpa campur tangan Jepang.
Di pihak lain, Hatta selaku wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah mengundang anggota badan yang merupakan kelanjutan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk bersidang pada 16 Agustus. Rapat itu untuk membicarakan rencana kemerdekaan. Sejarah mencatat, justru pada saat itu Soekarno dan Hatta "dibawa paksa"—dalam bahasa pemuda "diculik"—ke Rengasdengklok.
Apa pun versi tentang apa yang terjadi di sana, tampaknya para pemuda tidak berhasil "memaksa" kedua tokoh nasional itu menyatakan kemerdekaan. Dengan "jaminan leher" Ahmad Soebardjo, mereka melepaskan Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok kembali ke Jakarta, sore hari itu juga (Ahmad Soebardjo, Lahirnya Republik Indonesia, 1972).
Berkat Soebardjo pula perumusan naskah proklamasi dapat dikerjakan di rumah Laksamana Maeda malam harinya. Seperti diketahui kemudian, teks proklamasi kemerdekaan itulah yang keesokan harinya dibacakan Soekarno bersama Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Nyatalah kemudian bahwa "pemindahan kekuasaan" tidak segera terlaksana. Inilah yang dipandang pemuda sebagai kelemahan strategi perjuangan golongan tua. Dapat dilihat dari cara Presiden Soekarno menjelaskan tentang "pemindahan kekuasaan" itu kepada rakyat.
Di dalam pertemuan dengan para pangrehpraja se-Jawa dan Madura, 2 September 1945, Soekarno mengatakan: "Kita menghadapi hal yang sulit karena kita tidaklah berhadapan lagi dengan Dai Nippon, tetapi dengan status quo internasional. Bagaimanakah status quo internasional itu? Sementara, belum ada pengoperan resmi antara Dai Nippon dan pihak sekutu, maka Dai Nippon diwajibkan menjaga ketenteraman umum. Artinya, Gunseikabu tetap ada di Jawa dan Sumatera, atau Minseibu tetap ada di Sulawesi, Borneo, dan lain-lain. Inilah soal yang maha sulit sebab, dengan demikian, seakan-akan terpaksa di sini ada dua pemerintahan atau dubbele regering, yaitu (1) Pemerintah bala tentara Dai Nippon yang diwajibkan menjaga ketenteraman umum dan (2) Pemerintah RI yang didirikan oleh bangsa Indonesia sendiri.
"Bagaimanakah hakikatnya, riilnya pemindahan kekuasaan antara Dai Nippon dan RI? Pada pokoknya ialah agar sebanyak mungkin kekuasaan dan pekerjaan diserahkan kepada bangsa Indonesia. Inilah hasil dari gentleman agreement antara para pembesar Nippon dengan kami berdua (maksudnya Soekarno dan Hatta). Dan, prosedur ini sedang kita lihat berjalan dengan pengangkatan buco-buco, kyoku-kyoku." (Asia Raya, 3 September 1945).
Rupanya, untuk menyebut kepala departemen, yang tiada lain adalah menteri, Presiden Soekarno masih menggunakan istilah Jepang: buco. Adapun kyoku adalah semacam kepala daerah.
Mungkin sekali strategi yang dipilih itu memperlihatkan cara yang tepat untuk memahami "pemindahan kekuasaan dan lain-lain dengan cara saksama", tetapi dalam pandangan pemuda tidak "dengan tempo yang sesingkat-singkatnya". Inilah yang tak sejalan dengan sikap pemuda. Sebab, lebih dari seminggu sejak Proklamasi didengungkan, tidak terjadi pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang.
Karena ketidaksabarannya, pemuda dari Menteng 31 mengambil prakarsa mengadakan Rapat Raksasa Ikada pada 19 September. Pemuda sudah berencana untuk "memaksa" Soekarno, sebagai presiden, hadir di Lapangan Ikada untuk memberikan instruksi. Akan tetapi, di sinilah pula tampak kematangan tokoh nasional berkarisma seperti Soekarno.
Ia berpidato sangat singkat. "Pertjajalah rakjat kepada pemerintah Republik. Kalau saudara-saudara memang pertjaja kepada Pemerintah Republik jang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itoe, walaoepoen dada kami akan dirobek-robek karenanja, maka berikanlah kepertjajaan itoe kepada kami dengan toendoek kepada perintah-perintah kami dan toendoek kepada disiplin" (Berita Indonesia No 4 Tahun I, 1945).
Setelah mendengar pidato singkat presidennya, rakyat yang berjumlah ribuan—yang berdatangan dari Jakarta dan daerah sekitarnya—membubarkan diri tanpa insiden apa pun. Padahal, tentara Jepang masih memegang senjata laras panjang lengkap dengan sangkurnya mengitari lapangan Ikada.
Akhir peristiwa Ikada sungguh sangat bermakna, dalam arti di sinilah terlihat jelas bahwa terdapat suatu pemerintahan, bernama Republik Indonesia, yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya.
Meminjam ungkapan yang pernah dikemukakan Taufik Abdullah, fakta seperti itu mungkin dapat disebut a decisive moment, sebuah "peristiwa menentukan". Disebut menentukan karena sejak itulah menandai perubahan penting datangnya suatu fase baru.
Bukankah setelah itu kita mengenal zaman "bersiap". Itulah masa "bersiapnya" seluruh rakyat Indonesia menyongsong dan melawan setiap usaha kembalinya penjajahan. Sikap inilah yang tak dimengerti oleh Belanda ketika kemudian mencoba kembali menegakkan pemerintah kolonialnya. Sikap "manis" dan "lembut" dari penduduk yang dikenalnya selama ini sebagai inlander tak terlihat lagi. Sejak saat itu yang tampak adalah suatu bangsa yang telah dapat menentukan pilihannya dengan risiko yang siap ditanggungnya.
Jika analogi dapat digunakan, peristiwa Rapat Raksasa Ikada mungkin merupakan upaya pemuda untuk menebus "kekalahan" pada peristiwa Rengasdengklok. Persoalannya bukan "menang" atau "kalah", tetapi dialektika dan sintesa sejarah tampaknya memperlihatkan pergumulan manusia sebagai agensi yang terus-menerus berusaha mengubah struktur yang dianggap tidak sesuai dengan harapan dan cita-citanya.
* Susanto Zuhdi, Pengajar Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 21 September 2007
No comments:
Post a Comment