Thursday, September 27, 2007

Memberi Bekal Sastra untuk "Suara Kaki Lima"

PENAMPILAN para pekerja seni (baca: pengamen puisi) di bus-bus jika dilakukan dengan benar akan membantu membangkitkan kembali seni sastra dalam kehidupan masyarakat yang mulai memudar. Sebaliknya jika dilakukan dengan tidak benar hanya akan membuat seni sastra dalam kehidupan masyarakat semakin terpuruk.

Agar menarik para penumpang, para pengamen harus mengikuti tren dan menambah wawasan pengetahuan. (dok sp)

Oleh karena itulah, kata aktor senior, Adi Kurdi, pembinaan terhadap para pekerja seni di bus-bus perlu dibina dan dilatih, agar mereka dapat menampilkan seni sastra lengkap dengan kandungan nilai, etika dan estetikanya.

"Pemerintah seharusnya membantu membina mereka dengan memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai sastra, agar penampilan mereka menjadi bagus, sehingga dapat memasyarakatkan seni sastra dengan benar di kalangan masyarakat," katanya di sela-sela acara workshop menulis dan membaca puisi bagi para pengamen jalanan atau penjaja "suara kaki lima" di Taman Ismail Marzuki, Rabu (26/9).

Dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta tersebut, selain Adi Kurdi, sutradara kenamaan Khairul Umam juga turut menjadi pemberi materi.

Adi mengatakan, saat dirinya masih kecil masyarakat menggunakan seni sastra dalam komunikasi mereka sehari-hari. Saat itu, sastra begitu berperan dalam kehidupan masyarakat.

"Waktu saya kecil, kalau ngomong pakai berpantun. Di Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia itu hal yang biasa. Tapi sekarang coba kalau kita ngomong sehari-hari pakai gaya berpantun yang ada malah diketawain orang. Padahal dulu sastra itu merupakan bagian dari komunikasi kita sehari-hari," ungkapnya.

Saat ini, jelas Adi, sastra hanya dipakai dalam acara-acara resmi, seperti pidato presiden, atau acara-acara perkawinan dan acara-acara adat lainnya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah tidak mengapresiasinya, sehingga lama-lama jadi benar-benar hilang.

Menurut Adi, saat ini bahasa sebagai alat komunikasi ekspresi juga tidak lagi diajarkan dalam pelajaran di sekolah. Pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah hanya sebatas pada ilmu linguistik, atau ilmu tata bahasa.

"Jadi sistem pendidikan kita pun ikut berperan dalam hilangnya seni sastra kita. Lama-lama sastra Indonesia akan tenggelam dan hanya akan ditemui di buku-buku sastra lama atau kuno. Hal itu sudah mulai terjadi pada sastra Jawa kuno yang hanya busa ditemui di daun lontar, di mana orang membacanya lagi sekarang sudah jarang yang busa mengerti," ungkapnya.

Kebutuhan Peserta

Sementara itu, Ketua Komite Sastra, Zen Hae mengatakan, workshop ini diselenggarakan karena pihaknya melihat adanya suatu kebutuhan dari para peserta acara audisi Lampion Sastra yang diselenggarakan Komite Sastra beberapa bulan lalu.

"Para peserta audisi berharap Komite Sastra menyelenggarakan workshop bagi mereka. Alhasil kami pun memutuskan untuk menyelenggarakan workshop bagaimana menulis dan membaca puisi selama dua hari ini," jelasnya.

Acara yang diikuti oleh sekitar 30 pekerja seni di bus ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan para pekerja sastra, sehingga mereka akan lebih diperhitungkan masyarakat, karena kualitas penampilan mereka.

Salah seorang peserta workshop, Boyke berharap, Komite Sastra akan membantu mereka menyediakan fasilitas untuk berekspresi. Misalnya dengan menyewa sebuah bus yang didalamnya dipenuhi penumpang, di mana mereka dapat membaca puisi di atasnya.

"Soalnya kalau di atas bus kita bawaannya emosi mulu, karena nggak dapet duit. Makanya kita berharap Komite Sastra membantu mungkin dengan menyewakan sebuah bus yang penuh dengan penumpang, supaya kami bisa baca puisi di dalamnya," ungkapnya dan disambut tawa para peserta workshop lainnya.

Sementara Bo, pekerja seni dari Karawang mengaku bisa memperoleh uang sekitar Rp 50.000-RP 80.000 per hari dengan bekerja sebagai pembaca puisi di atas bus jurusan Ka- rawang-Bekasi. Jumlah tersebut cukup untuk membayar kontrakan rumahnya sebesar Rp 300.000 per bulan serta kebutuhan hidup lainnya.

Baginya, penyelenggaraan workshop ini merupakan kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebab, dengan mengikuti workshop ini dirinya akan mendapat pelatihan bagaimana membaca puisi yang baik dan "menghanyutkan" pendengarnya.

"Dengan menjadi pintar saya bisa dapat duit lebih banyak dari penumpang," tandasnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 27 September 2007

No comments: