Friday, August 31, 2007

Sastra: Penyair Berpentas di Candi Borobudur

PULUHAN penyair dari dalam dan luar negeri membacakan karya sastra masing-masing di panggung terbuka "Aksobya", timur kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/8) malam.

Pergelaran berjudul "Utan Kayu International Literary Biennale 2007" itu dibuka dengan suguhan penampilan tembang Jawa kontemporer berjudul Nyanyian Jiwa oleh komunitas seniman petani lereng Gunung Merapi, dari Padepokan Tjipto Boedojo, Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Selanjutnya komunitas seniman petani lereng Gunung Merbabu, Desa Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, yang dipimpin Kepala Desa Riyadi, menggelar musik tradisional kontemporer "Truntung Gamelan" mengiringi penampilan puluhan penari tradisional "Soreng".

Para penabuh musik truntung mengenakan properti berupa pakaian dari rangkaian daun dan "janggel" jagung yang menutup tubuh dan bagian mukanya. Musik truntung adalah tabuhan alat musik, terbang, dengan sebilah bambu dipadu pukulan bende dan dram.

Gerimis sempat turun di Candi Borobudur sekitar pukul 21.35 hingga 21.50 WIB saat penyair Indonesia, Avi Basuki, membacakan cerpen Perempuan, dan penyair asal India, Mamang Day, membacakan cerpen Tempat yang Gelap, Kota-Kota Kecil dan Sungai, dan Musim Panas Ini.

Penyair asal Belanda, Chris Keulemans sebelum membacakan karya sastranya menyatakan kekagumannya atas kemegahan Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra itu.

Para penyair lain yang menggelar karya-karyanya di pelataran candi itu antara lain Hassan Daoud (Lebanon) dengan cerpen Lorca in Beirut: Who Brought Him Here?, Shin Joong Seun (Korea) membaca cerpen The Fable of Our Age, Hamsad Rangkuti (Indonesia) membaca karya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Selain itu, Kimberly M Blaeser (Amerika Serikat) membacakan puisi Fantasies of Women, Sean M. Whelan (Australia) membaca sejumlah puisinya antara lain Elvis Tears, Dear Elliot, dan Lemonade and Tequila.

Acep Zamzam Noor (Indonesia) membacakan cerpen Menjadi Penyair Lagi, dan Di Malioboro, Sharanya Manivannan (Srilangka) membaca cerpen berjudul Poem dan puisi berjudul The Mapmaker's Wife.

Saat Sharanya membacakan karya sastranya sekitar pukul 22.56 WIB, angin bertiup relatif kencang di sekitar candi itu dan mengakibatkan layar monitor relatif lebar di sisi kanan panggung roboh.

Pergelaran karya sastra oleh para penyair, Rabu (29/8) malam itu ditutup tengah malam dengan penampilan grup musik Akapela Mataraman Yogyakarta yang dipimpin Pardiman, yang menembangkan sejumlah karya sastra Romo Sindhunata, SY, secara jenaka sehingga para penonton tertawa.

Pada kesempatan itu Romo Sindhunata juga membawakan tembang Jawa, geguritan, yang bertutur tentang kemegahan dan spiritualitas Candi Borobudur dengan iringan musik akapela grup "Akapela Mataraman", secara khusuk.

Terlihat menyaksikan pergelaran karya sastra itu antara lain budayawan Gunawan Muhammad dan Romo Kirjito, Pr, pelukis Joko Pekik dan Soni Santoso, seniman lima gunung Magelang, Sutanto Mendut, dan Wakil Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno.

Menurut rencana para penyair lain akan membacakan karya-karyanya pada lanjutan 'event' budaya itu, Kamis (30/8) malam, di panggung "Aksobya" Candi Borobudur.

"Temu penyair ini bagi kalangan seniman Magelang tentu memberikan inspirasi bagi perkembangan dunia sastra di daerah ini," kata penyair Kota Magelang, Es Wibowo.

Sementara itu, acara temu penyair dari dalam dan luar negeri yang berlangsung pada Rabu (29/8) malam juga diramaikan dengan pameran seni instalasi berjudul Lelaku (perjalanan) di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

"Lelaku"

"Karya Lelaku ini simbol perjalanan spiritual manusia, sebagaimana Sidharta Gautama juga menjalani 'lelaku' untuk mencapai kebuddhaannya,' kata Ismanto, seniman Gunung Merapi, Magelang, yang membuat instalasi tersebut, di Magelang, Rabu (29/8) malam.

Lelaku berupa instalasi kurungan dari rangkaian bambu, berjumlah sekitar 20 unit berbagai ukuran itu menghiasi berbagai tempat di panggung terbuka "Aksobya", di timur kaki Candi Borobudur.

Ismanto yang juga pematung, pelukis, dan seniman teater itu mengatakan, setiap orang pasti melakukan perjalanan spiritual kemanusiaan. Para penyair, katanya, menghasilkan berbagai karya sastra setelah mereka melakukan suatu perjalanan spiritual.

"Mereka tidak sekadar menulis karya sastra, tetapi melalui suatu proses perjalanan spiritual dan mendapatkan inspirasi yang kemudian dituangkan dalam karya sastranya," katanya.

Ismanto menyebut kurungan dengan pelita sebagai simbolisasi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jiwa yang bersinar. Pada bagian panggung terbuka itu, karya Lelaku Ismanto juga juga dilengkapi dengan tatanan jerami di berbagai tempat sehingga terkesan eksotik.

Penutupan

Pementasan wayang kontemporer dengan lakon Sudamala akhirnya menutup temu penyair dari dalam dan luar negeri di panggung "Aksobya", kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Pementasan wayang oleh dalang asal Tegal, Jawa Tengah, Slamet Gundono, di Magelang, Kamis (30/8) menjelang tengah malam itu. Gundono saat memulai pementasannya mengatakan, lakon Sudamala diolah secara kontemporer tentang kesetiaan Dewi Uma, berasal dari kisah yang tersimpan di Candi Sukuh, Kabupaten Karanganyar, Jateng.

"Ini tentang liku-liku kehidupan pasangan suami istri, Dewi Uma selingkuh, namun ada kesadaran dan pertobatan," katanya.

Lakon Sudamala dimainkan dalam bentuk pewayangan kontemporer, memadukan antara lain seni musik, tari, performance art, teater, wayang kulit, dan wayang orang. Pementasan itu terkesan megah oleh latar belakang Candi Borobudur yang diterangi lampu ribuan watt dari berbagai sudutnya.

Penonton terlihat tertawa saat menyaksikan pementasan itu karena sang dalang, Slamet Gundono, membawakan lakon itu secara menarik dan kental dengan humornya.

Iringan musik dari tabuhan antara lain saron, demung, terbang, dan kecrek. Sementara Gundono selain mendalang juga memainkan alat musik "kencrung".

Dua tokoh wayang dari bahan plastik dan dua gunungan ditancapkan di panggung tersebut, dan sesekali dimainkan oleh sang dalang. Sementara dua penari putri terlihat tampil secara menarik sebagai tokoh Dewi Uma. Mereka menari mengikuti iringan musik dan tembang Jawa kontemporer yang dilantunkan Dalang Slamet Gundono.

Sebelum para penyair membawakan karya-karya mereka, sejumlah personel grup musik akapela, "Akapela Mataraman" asal Yogyakarta membawakan musik campur sari dengan vokalis Soimah Poncowati diiringi siter, saron, dan kibor.

Grup itu tampil membawakan sejumlah tembang macapat dan campur sari. Soimah secara terus-menerus bernyanyi sambil berdialog dengan penonton dan pemusik.

Ketua Panitia "Utan Kayu International Literary Biennale 2007", Sitok Srengenge, mengatakan, pergelaran yang meriah itu bukan sekadar pertemuan para penyair dan pementasan karya-karya mereka. Akan tetapi, bermanfaat membangun solidaritas antarpenyair dan memberikan inspirasi kepada mereka dan masyarakat luas tentang kehidupan.

"Kesempatan ini bukan hanya kesenangan karena bersama-sama berkumpul dengan menunjukkan karya masing-masing, tetapi menjadi suatu solidaritas kemanusiaan. Kebersamaan ini menguatkan kecintaan terhadap sastra," katanya. [Ant/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 31 Agustus 2007

No comments: