Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa.
Baris pertama sajak Jembatan karya Sutardji Calzoum Bachri di atas mengisyaratkan duka bangsa yang begitu dalam. Di mata Presiden Penyair Indonesia itu, bangsa ini sedang sangat menderita akibat orientasi pembangunan yang justru memperlebar kesenjangan sosial, dan membuahkan krisis ekonomi yang hingga kini masih menyisakan banyak air mata.
Sajak kritik sosial itu rupanya berhasil memikat dua menteri sekaligus Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy untuk membacakannya di satu panggung: malam puncak Pekan Presiden Penyair di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Sepanjang hajatan sepekan (14-19 Juli 2007) di PKJ-TIM itu sajak Jembatan juga paling disukai publik (apresian). Sajak kritik sosial terpenting karya sang penyair itu paling banyak dipilih oleh para peserta lomba baca puisi SCB.
Di antara sajak-sajak kritik sosial yang cukup banyak ditulis SCB pada akhir masa orde baru dan pasca-reformasi, sajak Jembatan memang termasuk paling menarik, sekaligus tajam dan komunikatif. Sajak itu cukup mewakili gambaran situasi bangsa pada masa akhir kekuasaan Soeharto sampai saat ini.
JEMBATAN
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung
airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi dalam ewuh pekewuh dalam
isyarat dan kilah tanpa makna
Maka aku pun pergi menatap pada wajah
orang berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki
dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa
kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada. Tapi siapakah yang mampu menjembatani
jurang di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak
bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Berimis tak mampu menguncupkan kibarannya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu negeri
airmata kami
Hajatan sepekan untuk memperingati HUT ke-66 Presiden Penyair Indonesia itu diawali lomba baca puisi internasional di halaman parkir TIM. Lomba yang diikuti 411 peserta dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa peserta dari luar negeri -- antara lain dari Australia ini berlangsung tiga hari penuh (14-16 Juli). Babak penyisihan bahkan berlangsung dua hari dua malam nyaris tanpa jeda.
Dari 411 peserta, dewan juri babak penyisihan (Jose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sunu Wasono) menjaring 50 peserta untuk bertarung di babak final. Di babak penentu ini mereka dinilai oleh Slamet Sukirnanto, Leon Agusta dan Tommy F Awuy. Terpilihlah Zylvia Mardiana (Jakarta Timur) sebagai juara pertama. Juara kedua Hosnizar Hood (Tanjungpinang), dan juara ketiga Chory Marbawi (Jambi). Juga terpilih tiga juara harapan, yakni Hadi Susanto (Depok), Iman Romanshah (Yogyakarta), dan Anas Bahana (Madura).
Usai lomba, digelar Panggung Apresiasi Sastra di Teater Kecil TIM (malam, 17-18 Juli). Di tempat sama (siang, 18 Juli) juga digelar talk show SCB bersama para guru dan siswa SLTA Jakarta. Dua bintang tamu, Muhammad Faiz (penyair cilik) dan Niken Rarasati (juara lomba cerita nasional), ikut memeriahkan talk show. Tidak kurang dari 25 penyair dan sastrawan dari berbagai penjuru Tanah Air ikut memeriahkan panggung apresiasi. Tampil pula artis Ratih Sanggarwati, dan aktor sinetron Sujiwo Tejo yang berduet dengan Fatin Hamama.
Puncak hajatan digelar pada 19 Juli, berupa seminar internasional dan malam puncak acara. Seminar menampilkan Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Hary Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).
Karya-karya SCB dikaji dari berbagai aspek dalam seminar. Salah satu kesimpulan yang menarik, bahwa sajak-sajak berestetika mantra SCB umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik. Zafar Iqbal bahkan menyimpulkan sajak-sajak sufistik SCB lebih dalam dari pada lafal-lafal zikir formal. Dari sini, Abdul Hadi WM menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak SCB sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.
Penanda penting malam puncak adalah pidato kebudayaan Dr Ignas Kleden dan pertunjukan musikalisasi puisi oleh SCB berduet dengan Syaharani dengan iringan dentingan piano yang dimainkan oleh Donna Wulandari. Sesekali SCB juga memainkan harmonika, dan menciptakan suasana pembacaan yang sangat teateral. "Meskipun sudah tampak tua, penampilan Sutardji tetap menarik," kata penyair Aspar Paturusi.
Diawali sambutan ketua Yayasan Panggung Melayu, Asrizal Nur, puncak acara yang dipandu MC Tommy F Awuy dan Djenar Maesa Ayu itu bergulir di depan sekitar 600 penonton yang memadati GBB TIM. Selain dua menteri, sejumlah tokoh, pejabat dan penyair mancanegara, juga tampil membaca puisi. Antara lain, anggota DPD Aida Ismet, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Walikota Tanjungpinang Hj Suryatati A Manan, Walikota Samarinda Achmad Amins, dan wakil bupati Bintan Mastur Taher.
Malam puncak juga diisi peluncuran buku Isyarat karya SCB dan pemutaran film perjalan kepenyairan SCB. Sementara, bazar buku dan pameran foto aktivitas SCB digelar sejak 14 Juli di areal parkir dan lobi Teater Kecil. "Acara ini sengaja kami buat lengkap dan besar-besaran agar berkesan dan bermakna bagi publik sastra Indonesia," kata Asrizal Nur. "Tapi, harap dicatat, sama sekali tidak ada bantuan dan keterlibatan DKJ untuk acara ini," tambahnya. n ahmadun yh
Sumber: Republika, Minggu, 12 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment