DEPOK (Media): Penggiat dunia sastra diharapkan dapat menjadi subjek atas perkembangan pesat kota-kota besar baik dari sisi perubahan fisik maupun budaya masyarakatnya.
Hal ini dimaksudkan agar kota-kota metropolitan tetap memiliki peradaban dalam menghadapi gencarnya arus modernisasi dan bisa mereduksi masalah sosial yang tumbuh dalam masyarakat kota besar.
Demikian benang merah dari diskusi pleno pada hari pertama Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII yang mengambil tema Sastra dalam konteks perkotaan industrialisasi dan urbanisme di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIPB), Universitas Indonesia, Depok, kemarin.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi pleno itu yakni pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, kolumnis Kompas Bre Redana, sastrawan muda Rudi Gunawan, dan dramawan Nano Riantiarno. Hadir juga dalam pembukaan tersebut, Ketua Panitia Kongres Internasional Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) 2007 Lilawati Kurnia, Ketua Umum Hiski Pusat Riris K Toha Sarumpaet, Dekan FIPB UI Ida Sundari Husen, dan sejumlah penggiat sastra dari seluruh nusantara.
Marco Kusumawijaya mengatakan peranan sebagai subjek atas perkembangan kota metropolitan yang pesat diharapkan dapat dilakukan oleh penggiat dunia sastra, baik itu pelaku, peneliti, maupun penikmat. "Selama ini yang terjadi, ketika dalam membangun suatu kota metropolitan di sejumlah daerah di Indonesia, hanyalah negosiasi antara birokrat dan politisi," kata Marco.
Bre Redana menambahkan agar peradaban tidak luntur ketika terjadinya pembangunan suatu kota metropolitan, yang perlu menjadi pertimbangan adalah nilai-nilai spiritual, seperti yang tecermin di Kota Alexandria (Mesir) dan Roma (Italia).
Sedangkan, Rudi Gunawan menambahkan ketika membangun suatu kota metropolitan masyarakat sastra tidak hanya mempertimbangkan aspek peradaban saja, tetapi juga harus ikut memecahkan masalah-masalah sosial. (Dik/H-1)
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 8 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment