JAKARTA (Media): Sudah saatnya warisan budaya nusantara dipandang sebagai individual property dan mendapatkan perlindungan hukum secara tepat. Perilaku masyarakat yang belum merasa memiliki berdampak pada rentannya pemanfaatan warisan budaya oleh orang yang tidak berhak dengan tujuan komersial.
Demikian dikemukakan Agus Sardjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) bidang kajian kekayaan intelektual dan hukum ekonomi, di Jakarta, kemarin. Perlunya perlindungan hukum itu disebabkan masyarakat Indonesia yang memiliki sikap sangat terbuka terhadap orang lain bisa menjadi sangat rentan terhadap eksistensi dan masa depan warisan budaya itu sendiri.
Masyarakat pada umumnya tidak keberatan jika ada orang luar yang ingin belajar pengetahuan tradisional atau seni, tanpa mengantisipasi dampak sampingannya. Akibatnya, tidak sedikit kreativitas yang sebenarnya bisa dijadikan sumber ekonomi baru itu dimanfaatkan orang lain yang mencari keuntungan.
Warisan budaya Indonesia sebagai kekayaan intelektual, menurut Agus, sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang sistem perlindungan hukumnya yang tepat. "Beberapa pihak mengusulkan penggunaan sistem hak kekayaan intelektual (HaKI), tapi beberapa pihak menganggap ini kurang tepat," imbuhnya.
Sistem HaKI sendiri merupakan pengakuan hukum yang memberi pemegang hak untuk mengatur penggunaan gagasan-gagasan dan ekspresi yang diciptakan untuk jangka waktu tertentu. Sistem itu dianggap kurang tepat karena selama ini para perajin dan pelaku seni di Indonesia kerap mengalami masalah dengan HaKI.
"Peristiwanya, seorang perajin ukir-ukiran kayu tradisional Bali tidak boleh mengekspor langsung ke Amerika. Karena desain ukiran itu sudah didaftarkan sebagai desain paten oleh orang Amerika. Jadi orang Amerika membeli ukiran di Bali kemudian dibawa pulang ke Amerika dan didaftarkan sebagai desain miliknya," papar Agus, memberikan contoh.
'Negative protection'
Berdasarkan kondisi yang tidak menguntungkan para pelaku seni Indonesia tersebut, Agus berpendapat Indonesia perlu mengadopsi sistem negative protection. Berbeda dengan sistem HaKI yang seseorang baru bisa menikmati perlindungan hukum melalui pendaftaran, pada negative protection hak itu bisa didapat tanpa diminta dan secara otomatis lahir setelah karya intelektual telah diselesaikan.
Agus mengandaikan, seorang pelaku seni pertunjukan ketika pementasannya selesai direkam ia bisa menuntut siapa pun yang menggunakan rekaman suara atau gambar pertunjukannya tanpa seizinnya. "Dengan sistem ini juga, pemerintah dapat mengajukan klaim kepada siapa pun yang melanggar hak-hak warisan budaya masyarakatnya."
Klaim ini tidak harus bersifat larangan untuk menggunakan, namun lebih kepada tuntutan adanya bagi keuntungan jika ada pihak lain yang memanfaatkan warisan budaya untuk tujuan ekonomi.
"Sejauh ini negative protection adalah sebuah win win solution. Namun harus dilengkapi dengan database dokumentasi yang lengkap sehingga bisa membuktikan bahwa warisan budaya tertentu memang berasal dari Indonesia," jelasnya lagi. (DI/H-1).
Sumber: Media Indonesia, Senin, 20 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment