Saturday, August 11, 2007

Masyarakat Adat Masih Termarjinalisasi, Nilai-nilai Kearifan Lokal Ikut Tergerus

Jakarta, Kompas - Masyarakat adat masih termarjinalisasi dan belum mendapatkan pengakuan. Padahal, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dinilai akan dapat menekan konflik.

Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan sehubungan peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia tepat pada Kamis, 9 Agustus 2007. Dalam acara itu hadir pula sejumlah wakil masyarakat adat, di antaranya dari pedalaman Kalimantan, Gunung Kidul, Tondano, dan Luwu Utara.

Abdon mengatakan, terdapat tiga persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat adat. Pertama, berlangsungnya kolonisasi di wilayah masyarakat adat dan sangat sarat berbagai kepentingan. Kedua, masyarakat adat juga mengalami eksploitasi sumber daya alam, mengingat sumber kekayaan seperti hutan dan bahan tambang berada dalam wilayah tanah adat. Ketiga, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai-nilai. Ada nilai-nilai global yang merampas nilai-nilai mereka. Masyarakat adat, misalnya, dipaksa untuk menyangkal kepercayaan yang dianut sejak lama dan memilih satu dari lima agama yang diakui di Indonesia

Rasyid, dari Masyarakat Adat Seko di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mengatakan, sebelum Republik Indonesia terbentuk masyarakat Seko hidup di pinggir kawasan hutan yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Namun, setelah kawasan itu ditetapkan menjadi hutan lindung masyarakat tidak punya akses ke hutan.

"Padahal, kami melihat banyak pengusaha besar mendapatkan hak pengelolaan atas hutan di berbagai tempat," ujarnya.

Masyarakat adat Dayak Benoa di pedalaman Kalimantan juga merasakan adanya diskriminasi, terutama dalam menjalankan ritual spiritual mereka. "Kami sulit mengurus kartu tanda penduduk karena kepercayaan kami, yakni kaharingan, tidak termasuk dalam lima agama yang harus diisi dalam kartu tanda penduduk," ujarnya.

Abdon meyakini, menguatnya isu desentralisasi dan menguatnya etnosentrisme di berbagai wilayah adalah bagian dari persoalan krisis identitas yang berpangkal dari pemberlakuan model kebijakan. Negara sebagai fasilitator pembangunan kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat, merampas hak ulayat, serta menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi anutan masyarakat adat. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 10 Agustus 2007

No comments: