-- Sunaryono Basuki Ks*
Istilah sastra di sini mengacu kepada istilah literature dalam bahasa Inggris yang bermakna bacaan: ada children literature atau bacaan anak-anak, ada pula adult literature atau bacaan orang dewasa.
Sejak Ayu Utami muncul sebagai penulis novel Saman, seolah membicarakan urusan seks perempuan dan laki-laki menjadi hak prerogatif semua orang. Apalagi saat Saman dinyatakan sebagai pemenang, sejumlah sastrawan terkemuka memberikan komentar memuji, kecuali Pramoedya Ananta Toer yang walaupun telah pula menulis novel Midah, si Manis Bergigi Emas tetap tak setuju kalau Saman dianggap luar biasa, satu-satunya di dunia, jenis sastra baru.
Dalam novel yang terbit tahun 50-an itu, Pramoedya menceritakan tentang Midah, wanita terbuang yang terpaksa menjadi pelacur kelas teri, dan sering harus melakukan oral seks lantaran alat kelaminnya sudah dimakan penyakit. Puluhan tahun kemudian Djenar Mahesa Ayu secara menggemparkan menceritakan tentang adegan oral seks itu, bukan antara seorang pelacur kelas teri dengan pelanggannya, tetapi antara seorang anak perempuan dengan ayah kandungnya! Luar biasa berani!
Teman saya, Hardiman, pelukis, kurator seni rupa dan juga penyair, pernah bercerita pada saya tentang pertemuannya dengan seorang gadis muda seusia SMP di sebuah toko buku besar di Denpasar. Dengan memegang buku karya Djenar, gadis itu bertanya, "Om, apa buku ini baik?
Hardiman terperanjat melihat buku yang disodorkan dan balik bertanya, "Mau beli? Sebaiknya tidak. Beli yang lain dulu." Lalu Hardiman memandu gadis itu untuk membeli buku sastra yang lebih sesuai untuk dibaca.
Dari pertemuan itu terungkap bahwa setiap bulan gadis ini mendapat uang saku khusus untuk membeli buku. Dia bebas membeli buku apa saja, namun sebelum membacanya, buku harus diserahkan ayahnya untuk dibaca lebih dahulu. Alangkah terkejut ayahnya kalau si gadis jadi membeli buku itu.
Tentang karya Djenar Mahesa Ayu, kritikus sastra Kathryn Bandel pernah menulis ulasan panjang lebar di Majalah Sastra Horison. Dia bicarakan Waktu Nayla yang banyak dipuji-puji itu. Mungkin bahasanya memang dianggap baru, tetapi bukanlah pembaharu. Kathryn menemukan sejumlah kejanggalan, antara lain logika cerita, padahal logika cerita memang sangat penting.
Pengarang dengan kebebasannya masih terikat dengan kaidah-kaidah penulisan fiksi yang baik, tidak sekadar bercerita kemudian tak keruan juntrungnya. Daya tarik cerita yang mengandalkan deskripsi wilayah sekitar selangkangan perempuan toh akan jatuh bilamana tidak disertai dengan logika cerita yang dapat diterima. Tentu saja, misalnya, format dongeng akan mengikuti logika dongeng, yang tetap terikat pada pakem yang dibangun oleh pengarangnya. Kalau cerita keluar dari pakem tersebut, pembaca akan memprotes dan mengatakan, "Tak masuk akal."
Kenapa tokoh Gatutkaca dipercaya bisa terbang sedangkan saudaranya bisa bergerak di bawah tanah bak ninja? Karena dari awal pembaca diyakinkan bahwa tokoh-tokoh itu memang demikian. Kalau Gatutkaca tiba-tiba bisa menghilang bagaikan the invisible man, pasti pembaca protes, karena kerangka kisah Gatutkaca tak mencakup masalah itu.
Tidak penting siapa yang pertama berani menulis tentang selangkangan perempuan, tentang adegan seks berani yang sebelumnya hanya muncul di dalam edisi stensilan (kemudian foto kopian) dari kisah-kisah jorok yang sengaja ditulis untuk memuaskan nafsu rendah generasi muda. Apakah Saman yang pertama?
Dari ilustrasi di atas jelas di Indonesia saja bukan, apalagi di dunia yang lebih luas. Pramoedya menuliskannya dengan setting yang tepat dan tanpa tujuan mengekspoitir seks untuk membangkitkan nafsu syahwat. Nh Dini juga sudah menulis tentang hubungan lelaki perempuan dengan kebebasan seorang sastrawati sejati, sekali lagi tanpa maksud menggugah syahwat.
Motinggo Boesye, sastrawan yang pada tahun 70 menulis banyak novel hiburan, juga menulis kisah-kisah yang menceritakan hubungan seks yang mendebarkan, namun tak sampai pada pelukisan wilayah sekitar selakangkangan, apalagi sampai menggambarkan alat kelamin lelaki maupun perempuan -- ingat, kata perempuan yang punya makna tinggi, sebab dia berfungsi sebagai empu. Di Bali, ngempu memang berarti pula mengasuh anak.
Motinggo dikenal khalayak pembaca umum lewat novel-novelnya sejenis Tante Mariati, padahal sebelumnya dia menulis novel serius dan indah seperti Titisan Dosa di Atasnya, dan juga sejumlah naskah drama terkenal: Malam Jahanam, Barabah, dan Puisi Rumah Bambu.
Di masa yang tak terlalu jauh ke belakang, DH Lawrence, pengarang Inggris yang terkenal dengan novelnya Lady Chatterley's Lover yang pada awalnya dilarang beredar (1928) karena dianggap porno toh akhirnya justru diterima sebagai karya sastra, karena publik sastra menghargai keindahan karya itu. Tidak ada deskripsi mengenai selangkangan.
Novel itu mengisahkan Constance Chatterley, yang suaminya kemudian pulang dari pelayaran dalam keadaan tercabik-cabik dan mendapat perawatan dokter selama dua tahun dan akhirnya menyerah karena separuh tubuhnya dari pinggul sampai ke kaki lumpuh. Sir Clifford, sang suami, sehari-hari masih bisa bergerak di atas kursi roda berkeliling kebunnya yang luas di Midland, namun tentu saja tak mampu memuaskan sang istri yang sebelumnya punya banyak pacar. Constance yang saat mudanya memang sudah menikmati bercintaan dengan sejumlah pria saat berada di luar negeri, akhirnya jatuh cinta pada Mellors, lelaki yang bekerja di rumah besar ini sebagai pemelihara binatang piaraan.
Adegan-adegan hubungan seks mereka dituturkan justru dengan menumbukkan pemikiran-pemikiran mengenai hakekat cinta, dan bukan mengumbar deskripsi selangkangan. Kalaupun ada, maka pelukisannya sangat lembut dan sering lebih simbolis. Kritikus Richard Hoggard memuji karya ini, dan sempat menyebut pada awalnya novel ini diberi judul Tendeness oleh Lawrence, sebuah judul yang mengacu pada sifat hubungan cinta yang digambarkan dalam novel itu.
* Sunaryono Basuki Ks, Novelis dan dosen Univ Udayana
Sumber: Republika, Minggu,, 05 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment