SEBUAH ajang yang merambah jaringannya hingga ke tingkat internasional tentu akan menjadi penting bagi publik sebuah negeri. Sebagai pembelajaran, tukar-menukar pengalaman, perigi pendidikan, dan (atau) sekadar forum unjuk kebolehan, pada efek tertentu akan memberi motivasi kuat bagi publik negeri untuk memacu dirinya dalam persaingan di tingkat internasional. Begitu pun semestinya Utan Kayu Literary Bienale 2007 yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu (KUK), 23-30 Agustus ini di Jakarta dan Jawa Tengah. Ajang besar sastra ini mestinya menawarkan nuansa kesegaran bagi publik sastra juga masyarakat luas Indonesia.
Namun, apalah artinya jika ternyata acara ini tidak menghasilkan denyut apa-apa di kalangan sastrawan dan masyarakat negeri? Terang saja, baik KUK sebagai penyelenggara maupun publik sastranya harus sama-sama berintrospeksi kembali mengenai proses dan tujuan penyelenggaraan acara, atau mereposisi bagaimana caranya kaum sastrawan menyikapi kelompok lain dari kelompok mereka yang lebih punya uang dan jaringan untuk membuat acara yang tidak melibatkan mereka di dalamnya, bahkan membuat minder dengan elitisme yang terbangun pada acara itu.
Pada malam pembukaannya (23/8) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang terlihat kemewahan yang ditunjukkan pihak penyelenggara. Makanan berlimpah ruah dilengkapi dengan sejumlah meja bundar untuk makan para tamu (sesuatu yang jarang terjadi dalam setiap acara di Teater Kecil TIM) disuguhkan secara menarik. Ditambah ada pesta bir, dan para tamu bisa menenggak bergelas-gelas bir hingga mabuk. Meskipun tentu bukan tujuan acara ini membuat para tamunya mabuk, nyatanya terlihat banyak tamu yang mabuk selepas acara pembukaan itu. Peristiwa itu terang saja membuat risih para tamu lainnya yang menilai pesta bir itu sebagai bagian dari pekerjaan setan.
Dari samping gedung Teater Kecil, seorang penyair bernama Geger menangis. Ia mengaku baru saja dari dalam gedung. Selepas menulis nama dan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu, ia diusir satpam. Ketegangan sempat terjadi. Geger berkali-kali meyakinkan satpam bahwa dirinya ialah penyair dan orang yang aktif mengikuti kegiatan sastra. Tapi tetap saja ia diusir.
"Saya memang bersandal jepit dan berpakaian jelek seperti ini. Tapi apa karena penampilan seperti ini saya tidak boleh masuk?" keluh Geger berlinang air mata. Dan Geger pun beralih ke gedung Pusat Dokumentasi HB Jassin bersama dua rekannya asal Papua yang membawa secarik undangan.
"Percuma rasanya bawa undangan ini. Iya sih saya boleh masuk, tapi saya tidak boleh makan. Yang boleh makan ialah jenis undangannya lain," kata rekan Geger asal Papua itu sambil menunjukkan undangan yang kemudian dilicaknya sendiri.
Untuk menyukseskan ajang ini, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah menggelontorkan dana cukup besar. Menurut Ketua Komite Sastra DKJ, Zen Hae, dana yang digelontorkan berkisar Rp40 juta.
"Tidak benar acara ini dibiayai DKJ semua. Kami hanya menyumbang tiket, sewa tempat acara di Teater Kecil ini, dan penginapan pengisi acara. Ya, kurang lebih 40 juta rupiah," jelas Zen Hae. Tapi apa argumen DKJ menyumbang KUK, yang dianggap 'berlimpah ruah' uang, sedangkan di tepi lain, komunitas sastra juga butuh siraman DKJ. Sebuah deretan komunitas yang sepi dari lembaga donor.
Selain DKJ, memang masih ada sederet sponsor yang mendukung KUK, antara lain Australia Indonesia Institute, The Indonesian Institute, PT Djarum, dan National Arts Council Singapore.
Kurang membumi
Utan Kayu International Literary Biennale 2007 menghadirkan sekitar 19 sastrawan luar negeri dan sastrawan-sastrawan dalam negeri yang memiliki kedekatan khusus dengan KUK dan DKJ.
"Pesertanya datang dari 20 negara, termasuk Indonesia. Meliputi semua benua yang ada di dunia," ujar Direktur Utan Kayu International Biennale 2007 Sitok Srengenge.
Para penampil di malam pertama cukup gemilang, terutama penampilan Terence Ward, sastrawan kelahiran Boulder, Colorado. Naskah berjudul The City of Death yang dibacakannya memang sudah cukup kuat, ditambah dibacakannya secara cukup tenang dan penuh penghayatan. Sehingga, cerita berlatar Kota Kairo, Mesir, itu mampu menemukan daya tekannya pada penonton.
Begitu pun dengan penampilan Triyanto Triwikromo yang saat pembacaan didampingi rekannya bernama Beni. Sembari berlari kecil, keduanya masuki panggung seperti serigala lapar yang melolong kuat. Triyanto dan Beni yang memakai kedok sempat terkecoh yang mana Triyanto itu. Apalagi sebagian besar penonton memang tidak mengenal Triyanto. Naskah Sayap Kabut Sultan Ngamid dibacakannya selayaknya dialog dalam sandiwara radio. Permainan vokal terasa dominan karena banyak tokoh yang berperan dalam cerpen berlatar Jawa klasik itu. Suasana hidup dalam kesunyian yang mengalir.
Selain melakukan pembacaan karya sastra di TIM, event ini juga berlanjut di Teater Utan Kayu, Jakarta, selama dua hari (25-26/8). Disusul di Galeri Langgeng, Magelang, pada 28 Agustus, hingga berujung di Candi Borobudur, Magelang, pada 29-30 Agustus.
Penyair dan aktivis Fadjroel Rahman melihat event ini sangat penting terutama untuk memotivasi sastrawan-sastrawan dalam negeri untuk berkarya lebih maju lagi.
"Saya melihat penampilan dari Australia (Sam Wagan Watson) cukup bagus. Karyanya sangat unik bagi sastra kita. Karena itu, saya melihat forum ini sangat penting untuk kita semua. Namun sayangnya, event masih terasa eksklusif. Saya melihatnya begitu," kata Fadjroel.
Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri saat dimintai komentarnya hanya menjawab, "Aku tidak nonton, bahkan aku baru tahu ada acara itu ketika aku keluar dari masjid TIM menuju warung Alex," ujar Presiden Penyair itu. Sudah bukan rahasia lagi, KUK memang 'kurang suka' dengan Sutardji. Sosok penyair besar yang tidak mengembek dan tidak rindu tampil.
Sosialisasi acara yang kurang membumi juga sosialisasi yang sengaja tidak disebarkan bagi kelompok di luar jaringan KUK membuat event yang semestinya bisa diraih publik sebagai momentum perbandingan sastra dunia tidak cukup tercapai. Sutardji sebagai penyair kharismatik yang sudah dikenal masyarakat sastra internasional tidak diundang datang, padahal ia bisa menjadi jembatan komunikasi yang menjelaskan posisi sastrawan Indonesia saat ini.
Bila Geger sudah menangis akibat ulah pongah pihak keamanan gedung, dan terbangun rasa mindernya untuk mengikuti acara bernuansa elitis itu, akankah masyarakat sastra Indonesia dibuat menangis hanya karena event ini hanya meninggalkan foto-foto dokumentasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan ke pihak sponsor? Alias tidak berhasil melahirkan sugesti atau motivasi yang kuat mendobrak kesadaran sastrawan Indonesia untuk lebih maju berkarya! Jangan sampai pula yang terkenang dari acara ini yaitu ketika si Geger menangis, pesta bir terus berlanjut. Lalu, di manakah berkah acara ini? (Chavchay Syaifullah/M-3).
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment