Data Buku
Lontara Rindu. S. Gegge Mapanggewa. Republika, Maret 2012. viii + 342 hlm.
NOVEL Lontara Rindu hadir dengan obsesi besar. Mengabarkan kebudayaan masyarakat Bugis hari ini dengan segala permasalahannya. Melalui tokoh Vito, keluarganya, sahabat dan guru sekolahnya, Lontara Rindu adalah sebuah fragmen masyarakat Bugis yang bersahaja dan inspiratif.
Dengan riang dan ringan, melalui novel ini, kebudayaan masyarakat Bugis dapat mudah pembaca pahami, bahkan memungkinkan untuk dijelajahi. Benar. Penulis novel ini, S. Gegge Mapanggewa, seperti hendak mengantarkan pembacanya untuk berziarah ke Cenrana, Panca Lautang, Siddenre Rapang, Sulawesi Selatan.
Penulis tak hanya merayu pembacanya dengan menuturkan bagaimana keindahan alam di muasal tempat penulis lahir dan tumbuh besar itu. Namun juga menuturkan mitos-mitos yang tumbuh sampai saat ini, tradisi adat yang masih berlangsung, agama lokal yang berkembang, kebiasaan-kebiasaan khas masyarakat Bugis, kuliner khas, bahkan sampai dengan permainan tradisional, seperti gasing yang terbuat dari batang pohon kesambi.
Boleh jadi ada anggapan novel ini membosankan bila belum membaca sendiri karena penuh dengan deskripsi artefak kebudayaan tersebut. Tapi, setelah membaca halaman pertama, pembaca tak akan menutupnya sebelum ceritanya selesai. Gegge, penulis buku ini, telah berhasil mengemas artefak kebudayaan itu menjadi bagian penting dari jalinan cerita yang menghibur.
Kisahnya berawal dari Vito, laki-laki remaja yang duduk di SMP, yang sangat rindu bertemu dengan ayah dan adik kembarnya, Vino. Kerinduan Vito ini adalah benang tebal yang menautkan peristiwa-peristiwa lainnya di dalam novel ini. Melalui rindu yang berderu itu, Vito membuka tragedi masa lalu yang menimpa ibunya. Mengapa ia dan ibunya harus berpisah dengan ayahnya dan Vino. Selain itu, tanpa sadar, Vito juga telah menyibak fakta di balik keberadaan penganut keyakinan Tolotang di antara masyarakat muslim Bugis.
Kerinduan Vito yang tulus, dapat dikatakan, adalah pelita penerang bagi sepenggal riwayat kehidupan keluarganya yang disembunyikan oleh ibunya dan kakeknya sendiri.
Peristiwa yang paling menarik adalah kebersamaan Vito dengan ketujuh teman sekolahnya dan Pak Amin, gurunya. Namun, dalam narasi sekunder ini, peran Vito tampak tak selalu dominan. Pak Amin yang dicitrakan sebagai guru sekaligus sahabat murid-muridnya, juga menjadi titik pusar dalam narasi sekunder ini.
Dalam peristiwa pencurian enau untuk pembuatan ballo' (tuak yang dicampur dengan ramuan kayu tertentu yang rasanya pahit dan memabukkan) di kebun milik Pak Japareng, peran yang dimainkan Vito sebenarnya tak begitu berbeda dengan peran Irfan, Anugerah, dan teman-teman lainnya. Justru Pak Amin memainkan peran yang cukup signifikan pada bagian kebersamaan antara siswa ini. Pada narasi sekunder ini fokus cerita seakan beralih kepada Pak Amin.
Terbelahnya fokus cerita ini, sedikitnya berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Benarkah penulis sejatinya ingin mengisahkan tentang perjuangan Vito dalam mencari saudara kembar dan ayahnya? Bahwa cinta Vito akan menjadi penawar luka dan perajut cinta yang telah putus antara keluarga ibunya dan keluarga ayahnya. Atau justru penulis ingin mengisahkan semangat hidup anak-anak Pakka Salo dalam mencari ilmu, meskipun penuh dengan keterbatasan.
Dualisme narasi yang tampak menganga ini, menimbulkan kecurigaan bahwa dalam proses kreatifnya, penulis dibayang-bayangi oleh kesuksesan novel Laskar Pelangi. Bila tidak dikatakan sebagai epigon dari Laskar Pelangi.
Jejak bayang-bayang itu dapat ditemui dari pemilihan tokoh-tokohnya, keberadaan guru, lomba dirgahayu kemerdekaan, dan setting kelas terdapat kesamaan novel ini dengan Laskar Pelangi. Benarkah ini suatu tindakan duplikasi penulisnya terhadap Laskar Pelangi atau memang suatu proses kreatif yang di luar kendali kesadaran penulisnya?
Entahlah. Namun, bila mengingat novel ini adalah pemenang dari hasil penjurian lomba menulis, hal tersebut tentulah patut disayangkan.
Pada akhir-akhir cerita, peristiwa-peristiwa tiba-tiba—bila tidak dikatakan kebetulan-kebetulan—yang diciptakan penulis seperti memaksakan akhir cerita yang bahagia. Hal ini tentu sedikit menyiksa pembaca. Ya. Mengakibatkan pembaca harus kerja keras menyusun logika cerita untuk menyimpulkan akhir cerita novel ini. n
Ratno Fadillah, penulis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012
Lontara Rindu. S. Gegge Mapanggewa. Republika, Maret 2012. viii + 342 hlm.
NOVEL Lontara Rindu hadir dengan obsesi besar. Mengabarkan kebudayaan masyarakat Bugis hari ini dengan segala permasalahannya. Melalui tokoh Vito, keluarganya, sahabat dan guru sekolahnya, Lontara Rindu adalah sebuah fragmen masyarakat Bugis yang bersahaja dan inspiratif.
Dengan riang dan ringan, melalui novel ini, kebudayaan masyarakat Bugis dapat mudah pembaca pahami, bahkan memungkinkan untuk dijelajahi. Benar. Penulis novel ini, S. Gegge Mapanggewa, seperti hendak mengantarkan pembacanya untuk berziarah ke Cenrana, Panca Lautang, Siddenre Rapang, Sulawesi Selatan.
Penulis tak hanya merayu pembacanya dengan menuturkan bagaimana keindahan alam di muasal tempat penulis lahir dan tumbuh besar itu. Namun juga menuturkan mitos-mitos yang tumbuh sampai saat ini, tradisi adat yang masih berlangsung, agama lokal yang berkembang, kebiasaan-kebiasaan khas masyarakat Bugis, kuliner khas, bahkan sampai dengan permainan tradisional, seperti gasing yang terbuat dari batang pohon kesambi.
Boleh jadi ada anggapan novel ini membosankan bila belum membaca sendiri karena penuh dengan deskripsi artefak kebudayaan tersebut. Tapi, setelah membaca halaman pertama, pembaca tak akan menutupnya sebelum ceritanya selesai. Gegge, penulis buku ini, telah berhasil mengemas artefak kebudayaan itu menjadi bagian penting dari jalinan cerita yang menghibur.
Kisahnya berawal dari Vito, laki-laki remaja yang duduk di SMP, yang sangat rindu bertemu dengan ayah dan adik kembarnya, Vino. Kerinduan Vito ini adalah benang tebal yang menautkan peristiwa-peristiwa lainnya di dalam novel ini. Melalui rindu yang berderu itu, Vito membuka tragedi masa lalu yang menimpa ibunya. Mengapa ia dan ibunya harus berpisah dengan ayahnya dan Vino. Selain itu, tanpa sadar, Vito juga telah menyibak fakta di balik keberadaan penganut keyakinan Tolotang di antara masyarakat muslim Bugis.
Kerinduan Vito yang tulus, dapat dikatakan, adalah pelita penerang bagi sepenggal riwayat kehidupan keluarganya yang disembunyikan oleh ibunya dan kakeknya sendiri.
Peristiwa yang paling menarik adalah kebersamaan Vito dengan ketujuh teman sekolahnya dan Pak Amin, gurunya. Namun, dalam narasi sekunder ini, peran Vito tampak tak selalu dominan. Pak Amin yang dicitrakan sebagai guru sekaligus sahabat murid-muridnya, juga menjadi titik pusar dalam narasi sekunder ini.
Dalam peristiwa pencurian enau untuk pembuatan ballo' (tuak yang dicampur dengan ramuan kayu tertentu yang rasanya pahit dan memabukkan) di kebun milik Pak Japareng, peran yang dimainkan Vito sebenarnya tak begitu berbeda dengan peran Irfan, Anugerah, dan teman-teman lainnya. Justru Pak Amin memainkan peran yang cukup signifikan pada bagian kebersamaan antara siswa ini. Pada narasi sekunder ini fokus cerita seakan beralih kepada Pak Amin.
Terbelahnya fokus cerita ini, sedikitnya berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Benarkah penulis sejatinya ingin mengisahkan tentang perjuangan Vito dalam mencari saudara kembar dan ayahnya? Bahwa cinta Vito akan menjadi penawar luka dan perajut cinta yang telah putus antara keluarga ibunya dan keluarga ayahnya. Atau justru penulis ingin mengisahkan semangat hidup anak-anak Pakka Salo dalam mencari ilmu, meskipun penuh dengan keterbatasan.
Dualisme narasi yang tampak menganga ini, menimbulkan kecurigaan bahwa dalam proses kreatifnya, penulis dibayang-bayangi oleh kesuksesan novel Laskar Pelangi. Bila tidak dikatakan sebagai epigon dari Laskar Pelangi.
Jejak bayang-bayang itu dapat ditemui dari pemilihan tokoh-tokohnya, keberadaan guru, lomba dirgahayu kemerdekaan, dan setting kelas terdapat kesamaan novel ini dengan Laskar Pelangi. Benarkah ini suatu tindakan duplikasi penulisnya terhadap Laskar Pelangi atau memang suatu proses kreatif yang di luar kendali kesadaran penulisnya?
Entahlah. Namun, bila mengingat novel ini adalah pemenang dari hasil penjurian lomba menulis, hal tersebut tentulah patut disayangkan.
Pada akhir-akhir cerita, peristiwa-peristiwa tiba-tiba—bila tidak dikatakan kebetulan-kebetulan—yang diciptakan penulis seperti memaksakan akhir cerita yang bahagia. Hal ini tentu sedikit menyiksa pembaca. Ya. Mengakibatkan pembaca harus kerja keras menyusun logika cerita untuk menyimpulkan akhir cerita novel ini. n
Ratno Fadillah, penulis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012
No comments:
Post a Comment