Sunday, July 29, 2012

Komik dan Pemaknaan Sastra Anak

-- Hendra Sigalingging

PADA 20 Juli lalu, terjadi penembakan secara acak di gedung bioskop Colorado, AS. Kejadian yang terjadi sewaktu pemutaran film Batman: The Dark Knight Rises karya sutradara Christoper Nolan ini memakan korban jiwa.

Dalam salah satu pengakuannya, James Holmes (pelaku penembakan) mengaku terpengaruh oleh karakter Joker, tokoh antagonis yang menjadi musuh (kriminal) dari Batman. Ilustrasi ini memberikan gambaran jika penghayatan mengenai karakter yang ada dalam komik, kartun, dan divisualkan melalui media film merupakan proses yang hidup dalam diri pembaca.

Sejak dekade ketiga abad ke-20, komik memecahkan rekor paling tinggi dalam penjualan buku di Amerika. Satu judul komik dapat beroplah ratusan ribu komik. Di Jepang, menurut pengamat komik Takashi Mizuki, komik manga rata-rata setiap tahun dicetak dalam jumlah lebih dari 1 miliar kopi dan merupakan 40% dari jumlah penerbitan seluruh buku di Jepang.

Hal ini ini mendeskripsikan bagaimana komik menjadi buku populer yang sangat digemari oleh publik di kedua negara ini. Jumlah komik yang cukup mencengangkan di AS dan Jepang, komik dapat dibaca sebagai teks yang “menghibur” dan menciptakan antusiasme pembacaan yang dapat mengisi dahaga imajinasi masyarakatnya.

Penembakan di gedung bioskop Colorado menjadi bukti bagaimana imajinasi yang diinternalisasi oleh James Holmes memampukan dirinya untuk menjadi tokoh Joker yang berada dalam posisi antagonis. Sekali lagi, peristiwa ini mendeskripsikan vitalnya imajinasi dan pemaknaan terhadap teks-teks yang dibaca, termasuk komik ataupun sastra anak.

Sastra Anak dan Pemaknaannya
Persoalan sastra anak di Indonesia sesungguhnya bukanlah persoalan yang hanya dikhususkan pada akademisi sastra, guru sastra, atau pakar sastra anak di Indonesia. Adanya penggunaan kata sastra telah memberi makna jika teks tersebut merupakan milik publik sebagai pembacanya. Hal yang sama juga terjadi pada komik yang tidak salah jika diistilahkan dengan "sastra bergambar". Orang tua dan keluarga menjadi pilar pertama yang memperkenalkan sastra kepada anak.

Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2005:3) menyatakan jika sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan hiburan yang menyenangkan. Seperti komik, teks sastra menampilkan cerita yang harusnya menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh dengan daya suspense, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita.

Ya, sastra menyajikan ruang bagi anak untuk menyenangi dan menikmati dunia anak-anaknya. Pemahaman tentang kehidupan pun datang dari eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, konflik dalam kehidupan, dan pengungkapan berbagai sifat manusia ditawarkan dalam teks sastra.

Sesungguhnya, penulis tidak akan mendiskusikan siapa yang pantas bertanggung jawab atas dianaktirikannya sastra anak, atau minimnya nilai moral dalam sastra anak, atau pendekadean sastra anak. Perdebatan mengenai hal ini membutuhkan proses yang lebih panjang tentunya. Hal ini juga belum menyentuh akar persoalan sastra anak sesungguhnya, yaitu minimnya pemaknaan terhadap teks. 

Menurut penulis, ada dua poin penting ketika kita hendak menginternalisasikan sastra anak dalam diri anak, yaitu pembacaan dan pemaknaan. Orang tua dan lingkungan keluarga menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab atas pembacaan teks sastra kepada anak. Pembacaan yang dilakukan sejak dini lebih memungkinkan anak untuk memelihara ketertarikannya membaca teks sastra dalam tingkat selanjutnya, yaitu ketika anak telah mulai bisa membaca sendiri. Pembacaan inilah yang menjadi ruang awal bagi anak untuk memberikan apresiasi terhadap teks.

Pemaknaan terhadap teks sendiri merupakan aspek vital bagi seorang anak untuk menelaah teks yang telah dibacanya. Dalam hal ini, orang tua dan guru menjadi gudang pemaknaan awal seorang anak. Jika gudang pemaknaan anak yang telah diciptakan oleh orang tua selalu terisi, anak dengan sendirinya dapat memaknai teks tersebut. Anak akan dapat mengembangkan pikiran dan imajinasinya sendiri untuk menciptakan imajinasi baru, nilai, dan fungsi teks sastra yang telah dibacanya.

Jadi, daripada mengeluh kurangnya aspek moralitas dalam sastra anak, lebih baik meningkatkan kemampuan pemaknaan yang baik pada diri si anak. Hal ini menjadi penting mengingat tidak semua anak menyenangi cerita-cerita yang berbau moral, kebaikan-kebaikan yang harus ada dalam diri anak, kisah anak rajin, dan sebagainya.

Terakhir, pembentukan minat baca, ruang apresiasi, dan pemaknaan kritis yang telah dibentuk sebelumnya menjadi langkah-langkah yang tepat untuk mewujudkan anak sebagai generasi bangsa yang kreatif dan kritis. Tentu saja kebijakan-kebijakan kesusteraan yang menjadi tanggung jawab orang dewasa (baca: akademisi, pakar, dan kritikus sastra) dan pemerintah tetap dibutuhkan. Akan tetapi, yang perlu kita cermati adalah bagaimana memperkaya pemaknaan anak-anak terhadap teks di tengah arus globalisasi ini. Karena bagaimanapun, sastra menjadi adiluhung karena makna yang terkandung di dalamnya.

Hendra Sigalingging
, tengah studi di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu,29 Juli 2012

No comments: