-- Dwi S Wibowo
DI TAHUN 1960, seorang seniman bernama Yves Klein telah meletakkan batu pertama ihwal performance art. Lewat salah satu aksinya yang bertajuk Saut dans le vide. Ia melompat dari balkon gedung berlantai dua ke arah jalan raya yang lengang. Aksi tersebut diabadikan oleh fotografer Harry Shunk.
Setelahnya, performance art kemudian makin banyak ditampilkan oleh seniman-seniman di Eropa kala itu. Sebutlah Carolee Schneemann, Wolf Vostell, Allan Kaprow, Robert Whitman, hingga yang paling kontroversial dan legendaris Yoko Ono, istri personel The Beatles John Lennon.
Di tahun 1962 untuk pertama kalinya Yoko Ono menampilkan performance art-nya yang paling kontroversial yakni cut piece. Aksinya sangatlah sederhana ia hanya duduk bersimpuh di lantai panggung menyanding sebuah gunting hitam di depannya kemudian ia meminta pada setiap penonton untuk maju satu per satu dan mulai memotong bagian-bagian baju yang ia kenakan. Penonton yang tak hanya perempuan pun maju satu persatu dan melakukan apa yang diminta oleh Yoko Ono, bahkan seorang partisipan lelaki pun pada akhirnya memotong tali bra milik Yoko Ono hingga ia terpaksa memegangi cup bra miliknya dengan kedua tangan agar payudaranya tak kelihatan. Itu bagian dari pertunjukan, dan itulah risiko yang dihadapi seorang performer (sebutan untuk pelaku performance art) ketika berhadapan dengan partisipan yang berada di luar perencanaan. Aksi ini diulanginya lagi pada tahun 2003 di Paris.
Performance art sendiri pada awalnya memiliki pengertian yang sangatlah luas, semua seni pertunjukan dapat digolongkan dalam ranah ini seperti tari, musik, drama, dan lain-lain. Tapi pengertiannya kemudian menyusut seiring mulai berkembangnya aliran dada dan seni konseptual (conceptual art), ketika itu performance art berada pada posisi antitesis terhadap pertunjukan teater yang makin konservatif. Performance art lebih banyak digelar di jalanan, dan kebanyakan melibatkan partisipan yang ditarik begitu saja ketika lewat di sekitar aksi. Maka tak heran bila kadang terjadi misscomunication (kesalahpahaman) di dalam aksi, aksi-aksi semacam ini juga kerap dinamai happening art lantaran terlalu banyak menggantungkan aksi pada partisipan dan tak dapat diulangi untuk memperoleh hasil yang sama.
Seiring berjalannya waktu, para performer semakin mematangkan konsepnya. Dari yang awalnya hanya berfungsi sebagai pertunjukan dan antitesis dari sebuah pertunjukan teater, performance art kemudian dimanfaatkan oleh para performer untuk menyampaikan gagasannya ke ranah publik yang luas. Potensinya untuk menarik perhatian orang banyak, dan juga media massa kemudian banyak ditunggangi oleh ideologi-ideologi dari performernya sendiri. Misalnya aksi John Lennon dan Yoko Ono yang melakukan aksi untuk menentang invasi Amerika terhadap Vietnam. Mungkin di sini, aksi performance art lebih berkesan ketimbang demonstrasi di jalanan.
Di Indonesia, tak sedikit seniman yang melakukan performance art (dalam konteks conceptual art) untuk menyampaikan gagasannya terhadap situasi yang tak aman di sekelilingnya. Kita ingat aksi performance art yang dilakukan Made Wianta Art N Peace di Bali yang melibatkan sekitar 2000 partisipan untuk menyuarakan perdamaian di muka Bumi. Itu salah satu aksi kolosalnya, selain itu ia juga pernah melakukan aksi untuk merespon tragedi bom bali tahun 2002 lalu dengan melukis menggunakan darah sapi di sebuah rumah pemotongan hewan. Tidak hanya Wianta, seniman Indonesia yang melakukan performance art, ada juga Arahmaiani yang dengan begitu giat menyuarakan feminisme lewat performance-nya. Pernah dalam suatu aksinya, ia membuka baju atasnya (hanya mengenakan bra) dan kemudian meminta pada setiap partisipan untuk menuliskan sebuah kata menggunakan spidol di tubuhnya. Wow!.
Performance art (dalam konteks conceptual art-kembali) di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh para perupa, meski di luar itu juga banyak dilakukan oleh penari dan dramawan dalam konteks estetik terutama. Tidak sedikit para perupa yang nyambi jadi performer ataupun konseptor performance art seperti Made Wianta dan Arahmaiani tadi, dan yang lainnyapun tak ingin ketinggalan seperti Afrizal Malna, Titarubi, Dadang Christanto, dan Syahrizal Pahlevi. Meski kebanyakan dari mereka tidak menampilkan performance art sebagai sebuah pertunjukan yang mandiri, melainkan sebagai pendamping dari sebuah pertunjukan besar atau pameran lukisan. Seperti pernah dilakukan Dadang Christanto pada pamerannya ‘’Seeing Java’’ pada tahun baru 2012. Dan yang terbaru dilakukan oleh Syahrizal Pahlevi pada pembukaan pamerannya yang bertajuk ‘’Jurnalisme Visual:Pesan dari Vermont: Archive Project’’.
Colaboration woodcut with DJ and poetry reading Syahrizal Pahlevi mengkolaborasikan antara poetry reading, disc jockey, dan woodcuts. Poetry reading atau pembacaan puisi mungkin sudah sangat lazim ditampilkan dalam mimbar-mimbar sastra, seorang penyair maju ke podium kemudian membacakan puisinya yang ditambah dengan aksi teatrikal untuk menambah penghayatan terhadap isi puisinya. Kita ingat pembacaan-pembacaan puisi yang pernah dilakukan Rendra di Taman Ismail Marzuki yang dilarang pemerintah Orde Baru kala itu, tetapi kali ini Saut Situmorang dan Afrizal Malna menampilkan pembacaan puisi dengan versi berbeda yang dikolaborasikan dengan DJ dan woodcuts.
Saut Situmorang menghadap ke arah dinding dimana salah satu karya Syahrizal Pahlevi dipajang, kemudian mulai membacakan beberapa puisi dari kumpulan puisinya, Otobiografi. Afrizal Malna, menciptakan puisinya sendiri malam itu dengan mengambil diksi-diksi dari lembaran-lembaran koran dan merobeknya di kepala. Menggandeng DJ latex sebagai pemutar piringan hitam, ruangan Sangkring Art Project telah dipenuhi dengan musik menghentak sebelum Syahrizal Pahlevi mulai mencukil hardboard-nya, membuat sketsa wajah dr Oi Hong Djien. Performance art ini berlangsung sekitar 15 menit hingga Syahrizal Pahlevi selesai mencetak sketsa pada selembar kanvas.
Aksi performance art ini menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik karena (meski) penonton tidak dilibatkan langsung dalam aksi sebagai partisipan, tapi secara emosi penonton diajak serta mengikuti hentakan musik, pembacaan puisi, dan ritme gerakan Syahrizal Pahlevi ketika membuat sketsa. Menurut pengakuannya, musik dapat memberi dorongan tersendiri dalam gairah bekerja dan menyimak pembacaan puisi membuatnya tetap berada pada kondisi konsentrasi yang konstan. Tidak mudah apa yang dilakukan Syahrizal Pahlevi, membuat sketsa dalam tekanan semacam itu jika dia tidak menguasai benar teknik-teknik mencukil yang ia butuhkan. Tentu hasilnya tak akan mirip wajah dr Oi Hong Djien. Performance art semacam ini juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan teknis seorang perupa dalam mengerjakan karyanya, jika dalam tekanan saja dapat mengasilkan karya yang rapi, apalagi dalam keadaan nyaman di studio pribadinya?
Sekali lagi, wow!
Dwi S Wibowo, lahir di Jatilawang, 23 Februari 1990. Kini kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta, serta bergiat di Rawarawa Art Commuity. Meraih beberapa penghargaan sastra seperti Radarbali Literary Award 2009, Nominee Batubedil Award 2010.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012
DI TAHUN 1960, seorang seniman bernama Yves Klein telah meletakkan batu pertama ihwal performance art. Lewat salah satu aksinya yang bertajuk Saut dans le vide. Ia melompat dari balkon gedung berlantai dua ke arah jalan raya yang lengang. Aksi tersebut diabadikan oleh fotografer Harry Shunk.
Setelahnya, performance art kemudian makin banyak ditampilkan oleh seniman-seniman di Eropa kala itu. Sebutlah Carolee Schneemann, Wolf Vostell, Allan Kaprow, Robert Whitman, hingga yang paling kontroversial dan legendaris Yoko Ono, istri personel The Beatles John Lennon.
Di tahun 1962 untuk pertama kalinya Yoko Ono menampilkan performance art-nya yang paling kontroversial yakni cut piece. Aksinya sangatlah sederhana ia hanya duduk bersimpuh di lantai panggung menyanding sebuah gunting hitam di depannya kemudian ia meminta pada setiap penonton untuk maju satu per satu dan mulai memotong bagian-bagian baju yang ia kenakan. Penonton yang tak hanya perempuan pun maju satu persatu dan melakukan apa yang diminta oleh Yoko Ono, bahkan seorang partisipan lelaki pun pada akhirnya memotong tali bra milik Yoko Ono hingga ia terpaksa memegangi cup bra miliknya dengan kedua tangan agar payudaranya tak kelihatan. Itu bagian dari pertunjukan, dan itulah risiko yang dihadapi seorang performer (sebutan untuk pelaku performance art) ketika berhadapan dengan partisipan yang berada di luar perencanaan. Aksi ini diulanginya lagi pada tahun 2003 di Paris.
Performance art sendiri pada awalnya memiliki pengertian yang sangatlah luas, semua seni pertunjukan dapat digolongkan dalam ranah ini seperti tari, musik, drama, dan lain-lain. Tapi pengertiannya kemudian menyusut seiring mulai berkembangnya aliran dada dan seni konseptual (conceptual art), ketika itu performance art berada pada posisi antitesis terhadap pertunjukan teater yang makin konservatif. Performance art lebih banyak digelar di jalanan, dan kebanyakan melibatkan partisipan yang ditarik begitu saja ketika lewat di sekitar aksi. Maka tak heran bila kadang terjadi misscomunication (kesalahpahaman) di dalam aksi, aksi-aksi semacam ini juga kerap dinamai happening art lantaran terlalu banyak menggantungkan aksi pada partisipan dan tak dapat diulangi untuk memperoleh hasil yang sama.
Seiring berjalannya waktu, para performer semakin mematangkan konsepnya. Dari yang awalnya hanya berfungsi sebagai pertunjukan dan antitesis dari sebuah pertunjukan teater, performance art kemudian dimanfaatkan oleh para performer untuk menyampaikan gagasannya ke ranah publik yang luas. Potensinya untuk menarik perhatian orang banyak, dan juga media massa kemudian banyak ditunggangi oleh ideologi-ideologi dari performernya sendiri. Misalnya aksi John Lennon dan Yoko Ono yang melakukan aksi untuk menentang invasi Amerika terhadap Vietnam. Mungkin di sini, aksi performance art lebih berkesan ketimbang demonstrasi di jalanan.
Di Indonesia, tak sedikit seniman yang melakukan performance art (dalam konteks conceptual art) untuk menyampaikan gagasannya terhadap situasi yang tak aman di sekelilingnya. Kita ingat aksi performance art yang dilakukan Made Wianta Art N Peace di Bali yang melibatkan sekitar 2000 partisipan untuk menyuarakan perdamaian di muka Bumi. Itu salah satu aksi kolosalnya, selain itu ia juga pernah melakukan aksi untuk merespon tragedi bom bali tahun 2002 lalu dengan melukis menggunakan darah sapi di sebuah rumah pemotongan hewan. Tidak hanya Wianta, seniman Indonesia yang melakukan performance art, ada juga Arahmaiani yang dengan begitu giat menyuarakan feminisme lewat performance-nya. Pernah dalam suatu aksinya, ia membuka baju atasnya (hanya mengenakan bra) dan kemudian meminta pada setiap partisipan untuk menuliskan sebuah kata menggunakan spidol di tubuhnya. Wow!.
Performance art (dalam konteks conceptual art-kembali) di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh para perupa, meski di luar itu juga banyak dilakukan oleh penari dan dramawan dalam konteks estetik terutama. Tidak sedikit para perupa yang nyambi jadi performer ataupun konseptor performance art seperti Made Wianta dan Arahmaiani tadi, dan yang lainnyapun tak ingin ketinggalan seperti Afrizal Malna, Titarubi, Dadang Christanto, dan Syahrizal Pahlevi. Meski kebanyakan dari mereka tidak menampilkan performance art sebagai sebuah pertunjukan yang mandiri, melainkan sebagai pendamping dari sebuah pertunjukan besar atau pameran lukisan. Seperti pernah dilakukan Dadang Christanto pada pamerannya ‘’Seeing Java’’ pada tahun baru 2012. Dan yang terbaru dilakukan oleh Syahrizal Pahlevi pada pembukaan pamerannya yang bertajuk ‘’Jurnalisme Visual:Pesan dari Vermont: Archive Project’’.
Colaboration woodcut with DJ and poetry reading Syahrizal Pahlevi mengkolaborasikan antara poetry reading, disc jockey, dan woodcuts. Poetry reading atau pembacaan puisi mungkin sudah sangat lazim ditampilkan dalam mimbar-mimbar sastra, seorang penyair maju ke podium kemudian membacakan puisinya yang ditambah dengan aksi teatrikal untuk menambah penghayatan terhadap isi puisinya. Kita ingat pembacaan-pembacaan puisi yang pernah dilakukan Rendra di Taman Ismail Marzuki yang dilarang pemerintah Orde Baru kala itu, tetapi kali ini Saut Situmorang dan Afrizal Malna menampilkan pembacaan puisi dengan versi berbeda yang dikolaborasikan dengan DJ dan woodcuts.
Saut Situmorang menghadap ke arah dinding dimana salah satu karya Syahrizal Pahlevi dipajang, kemudian mulai membacakan beberapa puisi dari kumpulan puisinya, Otobiografi. Afrizal Malna, menciptakan puisinya sendiri malam itu dengan mengambil diksi-diksi dari lembaran-lembaran koran dan merobeknya di kepala. Menggandeng DJ latex sebagai pemutar piringan hitam, ruangan Sangkring Art Project telah dipenuhi dengan musik menghentak sebelum Syahrizal Pahlevi mulai mencukil hardboard-nya, membuat sketsa wajah dr Oi Hong Djien. Performance art ini berlangsung sekitar 15 menit hingga Syahrizal Pahlevi selesai mencetak sketsa pada selembar kanvas.
Aksi performance art ini menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik karena (meski) penonton tidak dilibatkan langsung dalam aksi sebagai partisipan, tapi secara emosi penonton diajak serta mengikuti hentakan musik, pembacaan puisi, dan ritme gerakan Syahrizal Pahlevi ketika membuat sketsa. Menurut pengakuannya, musik dapat memberi dorongan tersendiri dalam gairah bekerja dan menyimak pembacaan puisi membuatnya tetap berada pada kondisi konsentrasi yang konstan. Tidak mudah apa yang dilakukan Syahrizal Pahlevi, membuat sketsa dalam tekanan semacam itu jika dia tidak menguasai benar teknik-teknik mencukil yang ia butuhkan. Tentu hasilnya tak akan mirip wajah dr Oi Hong Djien. Performance art semacam ini juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan teknis seorang perupa dalam mengerjakan karyanya, jika dalam tekanan saja dapat mengasilkan karya yang rapi, apalagi dalam keadaan nyaman di studio pribadinya?
Sekali lagi, wow!
Dwi S Wibowo, lahir di Jatilawang, 23 Februari 1990. Kini kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jogjakarta, serta bergiat di Rawarawa Art Commuity. Meraih beberapa penghargaan sastra seperti Radarbali Literary Award 2009, Nominee Batubedil Award 2010.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012
No comments:
Post a Comment