-- Musa Ismail
“Bukan salahmu, tetapi hukum di negeri ini yang tanpa pasti, sehingga memang benar-benar sampai hari ini apa yang terjadi padamu-juga ratusan lainnya-tidak pernah diungkapkan lagi” (Cerpen “Luka Beku”).
“Luka yang datang karena sebuah cinta, dan cinta itu menyisakan ngilu” (Cerpen “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”).
SENGAJA saya kutip ungkapan tersebut untuk membuktikan bahwa kumpulan cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku (selanjutnya saya singkat TAdSD) karya Hary B Kori’un (HBK) memang berbicara tentang luka hukum dan luka cinta atau hukum luka dan cinta luka yang pada akhirnya berujung pada sikap profeminis. Ada 11 cerpen di dalamnya: “Penjara”, “Lelaki Mumi”, “Laksmi”, “Tunggu Aku di Sungai Duku”, “Wanita di Seberang Jalan”, “Nyanyian Batanghari”, “Maria”, “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”, “Wanita Penunggu Kayutanam”, “Luka Beku”, dan “Pulang”. Ungkapan itu juga untuk menyerlahkan bahwa persoalan hukum, cinta, dan gerakan feminis selalu merecup tumbuh dalam karya sastra.
Karya sastra memang tak akan pernah kering menggali persoalan apa pun. Selama kehidupan masih berdenyut, kegalauan atau kegamangan masih tersisa, dan kebahagiaan menjadi dambaan, mata air karya sastra akan terus mengucur sejuk menyirami nurani pembaca. Hukum dan cinta senantiasa menjadi materi hangat buat kreativitas sastra. Tentang hukum, ada dialog dalam Antigone karya Sophocles (l496-406 SM). Kutipan dialog ini adalah satu dari kutipan paling populer dalam literatur hukum. Kisahnya berpusat pada sosok Antigone, putri Raja Oedipus. Ketika dua saudaranya, Eteocles dan Polynices, terbunuh dalam perang untuk merebut tahta Thebes, Creon memaklumatkan bahwa Polynices dilarang dikubur sesuai hukum Thebes. Namun, Antigone menentangnya dan mengubur sendiri saudaranya.
Karya sastra menyelami hukum atau pun sebaliknya, bukanlah menjadi persoalan. Kenyataannya bahwa antara hukum dan karya sastra menjadi sesuatu yang menarik. Kehadiran sastra tentu sangat penting dalam perkembangan ilmu hukum. Saat ini, menurut beberapa artikel, terdapat studi kontemporer di dunia hukum yang telah mengintroduksi sastra sebagai bagian dari studinya. Tentu pula kita masih ingat ketika Freud mengawinkan psikologi dan sastra sehingga memunculkan telaah psiko-sastra. Nah, ketika persoalan hukum diaduk dengan masalah misteri cinta, bukankah akan melahirkan karya sastra dengan suguhan yang istimewa atau provokatif?
Tentu saja TAdSD menghadirkan tema hukum dan cinta dengan cara berbeda. Perbedaan ini menunjukkan karakteristik sastrawan (HBK) sebagai individual yang intelektual. Tentu pula sangat berkaitan dengan kebudayaan, latar, dan rujukan peristiwa yang dialami oleh sastrawan sebagai pengomunikasi melalui karya sastranya.
Keberadaan HBK sebagai sastrawan dalam TAdSD lebih leluasa, dominan, dan kuat menggunakan sudut pandang (point of view) keakuan (akulirik), meskipun sebenarnya cerpen-cerpen HBK bersudut pandang campuran (akuan-diaan). Namun, kalau kita telisik lebih mendalam, keberadaan diaan hanya bersifat membantu akuan sehingga keutamaan akuan lebih mendominasi. Kekuatan ini dipertegas lagi dengan karakter tokoh aku yang berprofesi sebagai wartawan (berkaitan dengan profesi HBK).
Nah, di sinilah (berkaitan dengan profesi kewartawanan HBK) terbukti bahwa latar belakang ikut menjadi “bidan” dalam kelahiran karya sastra. Melalui pandangan sebagai sastrawan-wartawan, HBK mengisahkan betapa hukum dan cinta merupakan suatu misteri yang sulit untuk dipecahkan. Sepertinya, ada kekuatan-kekuatan lain yang melindungi, mempermainkan, dan menutupi kedua persoalan ini, juga dalam kehidupan nyata. Ini tentu saja karena beberapa cerpennya ini justru berangkat dari realitas.
Persoalan-persoalan hukum di negara ini dapat kita tangkap dalam TAdSD. Ketidakadilan, kebenaran, penyiksaan oleh oknum aparat, mempermainkan hukum, persekongkolan dapat kita pahami. HBK mengetengahkan peristiwa aktual yang terjadi di kehidupan kita dan negara kita saat ini. “Maria... polisi, jaksa, dan hakim boleh memenjara diriku, tetapi seumur hidup aku tak akan mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan...”, “Aku ingin mengatakan padamu bahwa persekongkolan ada di mana-mana, di penjara sekalipun. Persekongkolan antara sipir dengan sipir, sipir dengan Kalapas, sipir dengan narapidana atau bahkan narapidana dengan Kalapas” (cerpen “Penjara”).
Ini suatu kenyataan yang mengingatkan kita pada peristiwa tindak kriminal yang marak di dalam Lapas. Realitas luka hukum dapat juga kita simak dalam kutipan cerpen berikut. “….Banyak perusahaan yang dituding, tetapi belum ada satu pun yang dijadikan tersangka, katanya belum ada fakta verbal, namun katanya pengusutan tetap dilakukan. Pengusutan yang membingungkan karena mirip benang kusut. Wartawan yang menulis berita itu tidak menuliskan bahwa sebenarnya pembakaran hutan yang dimulai dengan penebangan kayu, banyak terjadi kolusi antara pejabat pemerintah, pejabat keamanan dan pengusaha tersebut” (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”). Luka hukum lain dapat kita pahami dalam cerpen “Luka Beku”: “Katakanlah dengan jujur, siapa laki-laki yang mau menerima seorang perempuan setelah dia digilir orang-orang tak dikenal dengan brutal. Bahkan polisi pun tidak menolong kami, wartawan menganggap kami mengada-ada, apalagi jaksa. Hukum seperti apa ini?” Persoalan hukum menjadi paparan hangat HBK dalam TAdSD. Masalah ini justru begitu kita rasakan, begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. HBK membuktikan eksistensi hukum yang tercabik luka.
Lantas, bagaimana dengan persoalan cinta? Tema cinta selalu saja mengasyikkan. Bahkan, tak akan pernah habis ide untuk menuliskannya. Bagaimana jika mencintai seseorang, tetapi tidak bisa memilikinya? “Aku tak cemburu dengan lelaki di sampingmu, karena bagiku kepemilikan tubuh bukanlah hal yang penting. Tubuh hanya tulang yang dibalut daging, darah dan kulit, dan kemudian mati dengan sendirinya ketika saatnya tiba. Tetapi, ada satu zat yang lebih kekal, yang tak bisa mati-mati. Aku memiliki hatimu dan aku sudah membuang keinginan untuk kepemilikan tubuhmu. Seks bukan sesuatu yang utama dalam cinta, karena perasaan dan semangat adalah segalanya” (cerpen “Penjara”).
Di sisi lain, bagaimana emosional kita ketika cinta datang setelah terjadi musibah yang memilukan? Dalam cerpen “Laksmi”, HBK menghadirkan misteri cinta sekaligus mempermainkannya. Dia memunculkan perasaan cinta tokoh Aku setelah tokoh wanita (Laksmi) —yang pada mulanya tidak dicintai— mengalami musibah tsunami di Aceh. Lantas, bagaimana permainan perasaan ketika kita menunggu kepulangan/kedatangan yang belum pasti dari orang yang sangat kita cintai? Misteri menunggu cinta seseorang dapat kita pahami dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”. Di cerpen “Nyanyian Batanghari”, gambaran luka cinta terjadi karena perasaan cinta yang terpendam dan tokoh yang dicintainya pergi untuk selamanya. Dalam cerpen “Luka Beku”, kita akan merasakan perasaan luka seperti apa pula jika wanita yang kita cintai sudah ternodai/tidak suci lagi serta tidak mau lagi menjalin cinta dengan kita? Lantas, cerpen “Pulang” menyuguhkan begitu ngilunya cinta kepada orang tua karena tidak dapat menyaksikan kepergiannya.
Di dalam cerpen-cerpennya, HBK menyuguhkan kalimat-kalimat bersayap filsafat. Tentu saja kalimat-kalimat berdaya pikir itu memberikan kesan tersendiri berkenaan dengan mutu cerpen-cerpen yang dihasilkannya. Misalkan saja, aku akan menjadi tua di penjara, tetapi pikiranku tak akan pernah tua di manapun aku berada (cerpen “Penjara”); bagi saya, mencintai itu membebaskan (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”); cinta adalah kepercayaan dan keikhlasan (cerpen “Nyanyian Batanghari”); cinta bisa membebaskan orang dari batas-batas yang membuat perbedaan (cerpen “Luka Beku”.)
Hal yang lain yang cukup menarik perhatian saya bahwa HBK juga penulis yang profeminis. Sebagai sebuah teori, feminisme juga banyak dipraktikkan oleh kaum pria sehingga lahirlah terminologi male feminist. Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru dan belum begitu akrab. Terminologi ini muncul tatkala feminisme mulai merambah ranah studi yang intensif pada pengembangan wacana yang kritis dan analisis atas masalah feminis laki-laki. Feminisme pria (male feminist) adalah sebutan bagi kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok profeminis.
Sikap profeminis HBK, misalnya, dapat kita lihat dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”: Namun, engkau yang sering mengajarkan padaku bahwa harus ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Aku senang, engkau jugalah yang meyakinkan orang tuaku agar aku bisa kuliah hingga menjadi sarjana, meski hanya sarjana guru. Dalam cerpen “Wanita Penunggu Kayutanam”, HBK menulis begini: bahwa sentuhan wanita bisa mengalahkan segalanya, baik untuk anak-anaknya maupun suaminya. Padahal itu hanya kalimat lain bagi laki-laki untuk menghilangkan hak perempuan untuk hidup sejajar dengan wajar. Kamu tahu? Di sini wanita adalah simbol kekuatan.
Luka hukum, luka cinta, dan feminisme dalam TAdSD membaur dengan jernih. HBK berhasil memadukannya menjadi sesuatu yang menarik. Dalam cerpen-cerpennya ini, terkesan bahwa kepengarangan HBK sangat berkarakter, terutama jika dikaitkan dengan profesinya sebagai pemberita. Aspek ekstrinsik keprofesiannya itu menjadi salah satu latar belakang kelahiran dan nilai-nilai unik di dalam karyanya.
Musa Ismail, sastrawan dan guru di SMAN 3 Bengkalis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012
“Bukan salahmu, tetapi hukum di negeri ini yang tanpa pasti, sehingga memang benar-benar sampai hari ini apa yang terjadi padamu-juga ratusan lainnya-tidak pernah diungkapkan lagi” (Cerpen “Luka Beku”).
“Luka yang datang karena sebuah cinta, dan cinta itu menyisakan ngilu” (Cerpen “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”).
SENGAJA saya kutip ungkapan tersebut untuk membuktikan bahwa kumpulan cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku (selanjutnya saya singkat TAdSD) karya Hary B Kori’un (HBK) memang berbicara tentang luka hukum dan luka cinta atau hukum luka dan cinta luka yang pada akhirnya berujung pada sikap profeminis. Ada 11 cerpen di dalamnya: “Penjara”, “Lelaki Mumi”, “Laksmi”, “Tunggu Aku di Sungai Duku”, “Wanita di Seberang Jalan”, “Nyanyian Batanghari”, “Maria”, “Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu”, “Wanita Penunggu Kayutanam”, “Luka Beku”, dan “Pulang”. Ungkapan itu juga untuk menyerlahkan bahwa persoalan hukum, cinta, dan gerakan feminis selalu merecup tumbuh dalam karya sastra.
Karya sastra memang tak akan pernah kering menggali persoalan apa pun. Selama kehidupan masih berdenyut, kegalauan atau kegamangan masih tersisa, dan kebahagiaan menjadi dambaan, mata air karya sastra akan terus mengucur sejuk menyirami nurani pembaca. Hukum dan cinta senantiasa menjadi materi hangat buat kreativitas sastra. Tentang hukum, ada dialog dalam Antigone karya Sophocles (l496-406 SM). Kutipan dialog ini adalah satu dari kutipan paling populer dalam literatur hukum. Kisahnya berpusat pada sosok Antigone, putri Raja Oedipus. Ketika dua saudaranya, Eteocles dan Polynices, terbunuh dalam perang untuk merebut tahta Thebes, Creon memaklumatkan bahwa Polynices dilarang dikubur sesuai hukum Thebes. Namun, Antigone menentangnya dan mengubur sendiri saudaranya.
Karya sastra menyelami hukum atau pun sebaliknya, bukanlah menjadi persoalan. Kenyataannya bahwa antara hukum dan karya sastra menjadi sesuatu yang menarik. Kehadiran sastra tentu sangat penting dalam perkembangan ilmu hukum. Saat ini, menurut beberapa artikel, terdapat studi kontemporer di dunia hukum yang telah mengintroduksi sastra sebagai bagian dari studinya. Tentu pula kita masih ingat ketika Freud mengawinkan psikologi dan sastra sehingga memunculkan telaah psiko-sastra. Nah, ketika persoalan hukum diaduk dengan masalah misteri cinta, bukankah akan melahirkan karya sastra dengan suguhan yang istimewa atau provokatif?
Tentu saja TAdSD menghadirkan tema hukum dan cinta dengan cara berbeda. Perbedaan ini menunjukkan karakteristik sastrawan (HBK) sebagai individual yang intelektual. Tentu pula sangat berkaitan dengan kebudayaan, latar, dan rujukan peristiwa yang dialami oleh sastrawan sebagai pengomunikasi melalui karya sastranya.
Keberadaan HBK sebagai sastrawan dalam TAdSD lebih leluasa, dominan, dan kuat menggunakan sudut pandang (point of view) keakuan (akulirik), meskipun sebenarnya cerpen-cerpen HBK bersudut pandang campuran (akuan-diaan). Namun, kalau kita telisik lebih mendalam, keberadaan diaan hanya bersifat membantu akuan sehingga keutamaan akuan lebih mendominasi. Kekuatan ini dipertegas lagi dengan karakter tokoh aku yang berprofesi sebagai wartawan (berkaitan dengan profesi HBK).
Nah, di sinilah (berkaitan dengan profesi kewartawanan HBK) terbukti bahwa latar belakang ikut menjadi “bidan” dalam kelahiran karya sastra. Melalui pandangan sebagai sastrawan-wartawan, HBK mengisahkan betapa hukum dan cinta merupakan suatu misteri yang sulit untuk dipecahkan. Sepertinya, ada kekuatan-kekuatan lain yang melindungi, mempermainkan, dan menutupi kedua persoalan ini, juga dalam kehidupan nyata. Ini tentu saja karena beberapa cerpennya ini justru berangkat dari realitas.
Persoalan-persoalan hukum di negara ini dapat kita tangkap dalam TAdSD. Ketidakadilan, kebenaran, penyiksaan oleh oknum aparat, mempermainkan hukum, persekongkolan dapat kita pahami. HBK mengetengahkan peristiwa aktual yang terjadi di kehidupan kita dan negara kita saat ini. “Maria... polisi, jaksa, dan hakim boleh memenjara diriku, tetapi seumur hidup aku tak akan mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan...”, “Aku ingin mengatakan padamu bahwa persekongkolan ada di mana-mana, di penjara sekalipun. Persekongkolan antara sipir dengan sipir, sipir dengan Kalapas, sipir dengan narapidana atau bahkan narapidana dengan Kalapas” (cerpen “Penjara”).
Ini suatu kenyataan yang mengingatkan kita pada peristiwa tindak kriminal yang marak di dalam Lapas. Realitas luka hukum dapat juga kita simak dalam kutipan cerpen berikut. “….Banyak perusahaan yang dituding, tetapi belum ada satu pun yang dijadikan tersangka, katanya belum ada fakta verbal, namun katanya pengusutan tetap dilakukan. Pengusutan yang membingungkan karena mirip benang kusut. Wartawan yang menulis berita itu tidak menuliskan bahwa sebenarnya pembakaran hutan yang dimulai dengan penebangan kayu, banyak terjadi kolusi antara pejabat pemerintah, pejabat keamanan dan pengusaha tersebut” (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”). Luka hukum lain dapat kita pahami dalam cerpen “Luka Beku”: “Katakanlah dengan jujur, siapa laki-laki yang mau menerima seorang perempuan setelah dia digilir orang-orang tak dikenal dengan brutal. Bahkan polisi pun tidak menolong kami, wartawan menganggap kami mengada-ada, apalagi jaksa. Hukum seperti apa ini?” Persoalan hukum menjadi paparan hangat HBK dalam TAdSD. Masalah ini justru begitu kita rasakan, begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. HBK membuktikan eksistensi hukum yang tercabik luka.
Lantas, bagaimana dengan persoalan cinta? Tema cinta selalu saja mengasyikkan. Bahkan, tak akan pernah habis ide untuk menuliskannya. Bagaimana jika mencintai seseorang, tetapi tidak bisa memilikinya? “Aku tak cemburu dengan lelaki di sampingmu, karena bagiku kepemilikan tubuh bukanlah hal yang penting. Tubuh hanya tulang yang dibalut daging, darah dan kulit, dan kemudian mati dengan sendirinya ketika saatnya tiba. Tetapi, ada satu zat yang lebih kekal, yang tak bisa mati-mati. Aku memiliki hatimu dan aku sudah membuang keinginan untuk kepemilikan tubuhmu. Seks bukan sesuatu yang utama dalam cinta, karena perasaan dan semangat adalah segalanya” (cerpen “Penjara”).
Di sisi lain, bagaimana emosional kita ketika cinta datang setelah terjadi musibah yang memilukan? Dalam cerpen “Laksmi”, HBK menghadirkan misteri cinta sekaligus mempermainkannya. Dia memunculkan perasaan cinta tokoh Aku setelah tokoh wanita (Laksmi) —yang pada mulanya tidak dicintai— mengalami musibah tsunami di Aceh. Lantas, bagaimana permainan perasaan ketika kita menunggu kepulangan/kedatangan yang belum pasti dari orang yang sangat kita cintai? Misteri menunggu cinta seseorang dapat kita pahami dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”. Di cerpen “Nyanyian Batanghari”, gambaran luka cinta terjadi karena perasaan cinta yang terpendam dan tokoh yang dicintainya pergi untuk selamanya. Dalam cerpen “Luka Beku”, kita akan merasakan perasaan luka seperti apa pula jika wanita yang kita cintai sudah ternodai/tidak suci lagi serta tidak mau lagi menjalin cinta dengan kita? Lantas, cerpen “Pulang” menyuguhkan begitu ngilunya cinta kepada orang tua karena tidak dapat menyaksikan kepergiannya.
Di dalam cerpen-cerpennya, HBK menyuguhkan kalimat-kalimat bersayap filsafat. Tentu saja kalimat-kalimat berdaya pikir itu memberikan kesan tersendiri berkenaan dengan mutu cerpen-cerpen yang dihasilkannya. Misalkan saja, aku akan menjadi tua di penjara, tetapi pikiranku tak akan pernah tua di manapun aku berada (cerpen “Penjara”); bagi saya, mencintai itu membebaskan (cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”); cinta adalah kepercayaan dan keikhlasan (cerpen “Nyanyian Batanghari”); cinta bisa membebaskan orang dari batas-batas yang membuat perbedaan (cerpen “Luka Beku”.)
Hal yang lain yang cukup menarik perhatian saya bahwa HBK juga penulis yang profeminis. Sebagai sebuah teori, feminisme juga banyak dipraktikkan oleh kaum pria sehingga lahirlah terminologi male feminist. Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru dan belum begitu akrab. Terminologi ini muncul tatkala feminisme mulai merambah ranah studi yang intensif pada pengembangan wacana yang kritis dan analisis atas masalah feminis laki-laki. Feminisme pria (male feminist) adalah sebutan bagi kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok profeminis.
Sikap profeminis HBK, misalnya, dapat kita lihat dalam cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”: Namun, engkau yang sering mengajarkan padaku bahwa harus ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Aku senang, engkau jugalah yang meyakinkan orang tuaku agar aku bisa kuliah hingga menjadi sarjana, meski hanya sarjana guru. Dalam cerpen “Wanita Penunggu Kayutanam”, HBK menulis begini: bahwa sentuhan wanita bisa mengalahkan segalanya, baik untuk anak-anaknya maupun suaminya. Padahal itu hanya kalimat lain bagi laki-laki untuk menghilangkan hak perempuan untuk hidup sejajar dengan wajar. Kamu tahu? Di sini wanita adalah simbol kekuatan.
Luka hukum, luka cinta, dan feminisme dalam TAdSD membaur dengan jernih. HBK berhasil memadukannya menjadi sesuatu yang menarik. Dalam cerpen-cerpennya ini, terkesan bahwa kepengarangan HBK sangat berkarakter, terutama jika dikaitkan dengan profesinya sebagai pemberita. Aspek ekstrinsik keprofesiannya itu menjadi salah satu latar belakang kelahiran dan nilai-nilai unik di dalam karyanya.
Musa Ismail, sastrawan dan guru di SMAN 3 Bengkalis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012
No comments:
Post a Comment