Jakarta, Kompas - Ketika sastra Indonesia harus menjadi nasional yang terjadi adalah penyeragaman. Teknik ataupun tema-tema sastra mengalami pemiskinan alternatif. Kekayaan etnik memang untuk sementara dapat ditampung dalam istilah ”warna lokal”, tetapi semua itu tidak cukup memberikan ruang bagi kekayaan tematik dan estetik yang khas etnik di Indonesia untuk diungkap.
”Oleh karena itu, kami ingin membangkitkan sastra etnik, dalam arti menampilkan ruh etnik yang ketika terpaksa mempergunakan bahasa Indonesia, maka bahasa yang dipakai pun kental dengan unsur etniknya. Bahkan, dalam banyak kasus bahasa yang dipergunakan adalah bahasa etnik itu sendiri secara total. Ini pasti akan memberikan kekayaan tersendiri bagi sastra kita,” kata Hari Leo AER, Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta, Rabu (21/4), berkait rencana Bincang-Bincang Sastra edisi ke-54, Minggu (25/4) sore mendatang di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Kegiatan yang merupakan kerja sama SPS Yogyakarta, Taman Budaya Yogyakarta, dan berbagai komunitas sastra kampus dan kampung ini melibatkan penyair-penyair asal Bojonegoro, Tegal, Ponorogo, Indramayu, dan Surabaya.
Pertunjukan sastra
Seperti pertemuan terdahulu, Bincang-Bincang Sastra SPS Yogyakarta juga menampilkan pertunjukan sastra. Mereka yang akan tampil, antara lain, adalah Yanto Munyuk, Agus Sighro Budiono, Didik Wahyudi, Gampang Prawoto, Asrul Irfanto, Aguk Sudarmojo, Hery Abdi Gusti, Wahyu Subakdiono, Arieyoko (Bojonegoro), Ary Nurdiana (Ponorogo), Tina Rch (Surabaya), Dyah Setyawati (Tegal), dan Nurochman Sudibyo (Indramayu).
”Kami menghindari istilah sastra daerah karena kesannya sastra daerah itu merupakan subordinasi dari sastra pusat. Yaitu, sastra Indonesia yang sering didominasi dan dihegemoni oleh oknum sastrawan dari pusat,” kata Mustofa W Hasyim, dedengkot SPS Yogyakarta.
Dalam acara mendatang diundang pula Ahmadun Yosi Erfanda dari Jakarta dan Dad Murniah dari Pusat Bahasa Diknas. ”Narasumber yang banyak keliling Indonesia kami harapkan dapat memberi gambaran tentang bagaimana masa depan sastra etnik ini,” tambah Mustofa.(POM)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 April 2010
No comments:
Post a Comment