-- Sunlie Thomas Alexander
SETELAH memadamkan lampu kamar mandi, ia meletakkan lilin di depan cermin dan mulai memanggil: ”Bloody Mary, Bloody Mary, Bloody Mary!” Tepat sehabis panggilan ketiga, sesuatu yang sangat aneh dan menakutkan pun terjadi. Sebuah tragedi berdarah menimpa sebuah keluarga di sebuah kota.
Cuplikan di atas adalah salah satu kisah urban legend (legenda kota) yang cukup kesohor di Amerika Serikat, Bloody Mary, yang kemudian mendunia lewat sinema horor. Di kota-kota besar-kecil di Amerika, cerita-cerita semacam ini cukup populer. Cerita Bloody Mary sendiri hidup dalam beberapa versi sejak tahun 60-an, bahkan mungkin lebih awal. Legenda ini kemudian berkembang menjadi suatu permainan memanggil hantu di depan cermin pada kalangan anak-anak dan remaja. Seperti juga halnya folklor dan cerita tradisional lain, tentu saja ceritanya yang orisinal sukar dilacak atau mungkin memang tidak ada.
Istilah urban legend ini dikenalkan oleh Jan Harold Brunvald lewat bukunya, The Vanishing Hitchhiker: American Urban Legends & Their Meanings (New York: WW Norton, 1981). Sebagai legenda perkotaan, ia adalah cerita masyarakat modern yang menyebar dari mulut ke mulut (atau dari ponsel ke ponsel, komputer ke komputer) yang sering pula dianggap kisah nyata. Kerap kali cerita-ceritanya terdiri dari kombinasi unsur horor dan humor, atau terkadang pesan moral yang membangkitkan rasa empati dan peringatan.
Adalah industri perfilman yang kemudian dengan cerdik memanfaatkan kepopulerannya untuk meraup keuntungan. Selain Bloody Mary, nyaris hampir semua legenda kota terkenal di Amerika, misalnya, telah difilmkan. Sebut saja Aren’t You Glad You Didn’t Turn on the Light?, Humans Can Lick, Too, Candyman, The Killer in the Backseat, The Clown Statue, The Kidney Thieves, dan banyak lagi. Di tangan para sineaslah, kisah-kisah ini diadaptasi ulang dan dibuat lebih mencengangkan, baik lewat layar lebar maupun serial televisi.
Hal yang serupa juga terjadi pada cerita-cerita legenda kota terkenal di Tanah Air, seperti Si Manis Jembatan Ancol, Suster Ngesot, Kolor Ijo, Hantu Jamu Gendong, Hantu Ambulans, dan Terowongan Casablanca.
Keintiman yang retak
Sebagai mitos modern yang berkembang di masyarakat perkotaan, legenda kota memang tak bisa dipisahkan dari fenomena kaum urban yang mengadu nasib di kota-kota besar. Cerita Hantu Jamu Gendong, misalnya, berkisah tentang arwah seorang penjual jamu gendong bernama Sri yang semasa hidupnya meyakini kota sebagai solusi tepat untuk memperbaiki taraf kesejahteraan dibandingkan desa.
Plot dan penokohan ceritanya tampak kuat, tetapi sebenarnya lebih dari usaha menampilkan esensi atau edukasi, legenda kota lebih banyak memainkan sensasi dengan mempermainkan etika serta estetika secara kasar, mencari efek teror dan horor murahan. Karena itu, kisah-kisah semacam itu mungkin lebih cocok digolongkan sebagai isu, rumor, atau gosip ketimbang –katakanlah—sejenis sastra lisan.
Tentu saja hal itu berkait erat dengan psikologi sosial masyarakat perkotaan, budaya urban yang melingkupinya. Sebagai cerita yang berkembang dari isu, legenda kota tak lain adalah metamorfosis dari tradisi bergunjing yang akrab pada masyarakat pedesaan. Hal ini bisa jadi lantaran adanya kerinduan masyarakat urban perkotaan yang kesepian oleh tingginya mobilitas dan merasa terasing di tengah lanskap kota yang pikuk, pada suasana intim di kampung halaman yang ditinggalkan. Di sinilah legenda kota mengambil perannya melekatkan kembali keintiman yang retak.
Terlepas dari soal percaya tidaknya kita pada isi cerita itu, kisah-kisah dalam legenda perkotaan memang menjadi penting serta mengasyikkan sebagai bahan obrolan atau diskusi iseng saat istirahat siang di kantor atau chatting. Kekuatan oral dari mulut ke mulut dan kemajuan teknologi komunikasi pun menjadi media pengantar yang sangat andal. Pada mulanya, legenda kota didistribusikan secara tradisional melalui komunikasi antara mereka yang memiliki hubungan emosional dan personal.
Dengan moda komunikasi semacam itu, legenda kota pun menyebar dengan cara yang cepat, mudah dan luas, karena ada kesan seakan-akan hal itu benar terjadi. Realitas psikologis dan spiritual masyarakat juga tingkat kepercayaan pada ”relasi dekat” di atas menempatkan legenda kota menjadi seperti semacam perekat baru. Perekat di antara urban sesama asal, atau urban senasib sependeritaan. Apalagi, jika kejadian cerita tersebut berada dalam ruang lingkup mental map kita, misalnya di dekat tempat tinggal kita.
Menurut Jan Harold Brunvald, ada dua pokok penting dalam legenda perkotaan. Yang pertama, kisah-kisah legenda, mitos dan cerita rakyat ternyata juga adalah milik kaum urban, bukan hanya milik masyarakat tradisional. Kedua, di balik itu, lewat cerita-cerita seperti ini, kita dapat mengetahui banyak tentang masyarakat dan budaya modern dan perkotaan.
Maka, bila kita bisa sepakat dengan Brunvald, dapatlah kita membaca bagaimana tabiat, perilaku, bahkan kondisi mental (termasuk penyakit-penyakit) orang-orang kota, berdasarkan cerita-cerita atau legenda yang diproduksi dan disebarluaskannya. Adakah, misalnya, takhayul masih begitu kuat menelikung kesadaran modern orang urban, atau mungkin kemodernan telah menciptakan takhayulnya sendiri, yang khas di tiap komunitasnya?
Adakah, misal lainnya, masyarakat rasional, terbuka, kosmopolit, dan egaliter—sebagaimana kaum urban—masih juga memendam imaji-imaji kasarnya tentang seks, sebagaimana mereka memendamnya karena represi oleh adat, agama, dan tradisi? Adakah, lanjutannya, kita tidak pernah jauh berjalan melampaui tradisionalisme dan keprimitifan kita, setidaknya dalam dua hal itu?
Kini, giliran Anda yang harus menjawabnya.
* Sunlie Thomas Alexander, Aktivis Bale Sastra Kecapi Yogyakarta, dan Periset Parikesit Institute Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 3 April 2010
No comments:
Post a Comment