Sunday, April 18, 2010

"Keadilan" di Ranah Adat

-- F.X. Widaryanto

"PANGGUNG" di teater kebun STSI Bandung itu tertutup dengan bilik bambu yang mulai terkoyak di sana- sini. Sekilas berkesan "kumuh", tetapi sekaligus menunjukkan kecerdasan penatanya. Sang koreografer, Alfiyanto "bertutur" tentang kerentaan adat. Ia, yang ada di perantauan, mencoba melongok nilai-nilai internal dari komunitas masyarakat Minang berkaitan dengan realita persentuhannya dengan komunitas masyarakat lainnya. De-ngan bilik yang kebanyakan terkoyak di sana-sini, ia ingin menunjukkan berbagai aktivitas sosial dalam kompleksitas internal domestikkomunitas masyarakatnya, tetapi sekaligus mempersoalkan ranah adat yang dipimpin oleh ninik-mamak yang dirasakannya tidak memiliki keseimbangan dalam sebuah sistem matrilineal, terutama bagi se-orang datuak yang dibebani oleh berbagai tugas dan kewajiban oleh komunitasnya; di sisi lain, hak atas kepemilikan harta warisan nenek moyang memang tak dimilikinya.

Itulah nuansa dan inti permasalahan yang menarik dan dengan berani ditampilkan oleh kandidat S-2 Program Pascasarjana ISI Surakarta pada gelar ujian di hari Minggu 4 April 2010 di tengah keraguan akan teduhnya hujan yang mengguyur Bandung sepanjang siang dan senja hari sebelumnya. Lanskap ruang yang dibangunnya memang menjadi basah kuyup; beberapa focal point yang ditata untuk memberikan titik-titik kegiatan bagi "warganya" terasa cukup kuat membawa penonton untuk bisa memilih angle of view dari mana pun untuk membagi perhatiannya.

Soundscape dibangun dengan memberikan ruang perarakan yang diwarnai de-ngan serunai, gendang, dan talempong, yang bergerak dari samping kanan panggung melewati atas penonton di selasar menuju ke kiri depan panggung. Rasanya penonton dibawa dalam sebuah ruang auditif dengan sudut dengar yang terus berubah. Hal ini sekaligus melengkapi kerangka penghayatan penonton akan permasalahan adat yang di-sorongkan oleh penggarap.

Sebuah surau kecil dibangun di sudut depan kanan panggung (kiri penonton) dihubungkan dengan sebuah kolam, yang uniknya dipakai untuk mengembangkan gagasan utamanya yang muncul dalam tarian air seutuhnya, yang memunculkan konflik sekaligus dominasi kekuatan perempuan yang tersembunyi. Setiap gerak yang kemudian diwujudkannya tidaklah terlihat selesai begitu saja seperti layaknya yang terjadi di atas panggung konvensional, tetapi gerak itu digaungkan kembali oleh siratan air yang memercik karena efek gerak yang terjadi. Lihat saja manakala perempuan dengan rambut panjang menghentakkan kepalanya dan berayun sambil menegakkan badannya. Ayunan kepala dengan rambut panjang yang penuh air seperti melukiskan gerak itu di udara sekaligus merefleksikan energi yang "dimuntahkannya". Belum lagi dengan jatuhan tubuhnya yang membuat air tersibak dan tersirat kemana-mana. Dan pada akhir adegannya sang perempuan menggendong datuak yang memang tak berdaya dan membawanya ke rumah gadang untuk mendapatkan perawatan fisik terakhir dan upacara pelepasan menuju ke alam baka.
**

TONGKAT, di samping berfungsi untuk membantu menopang tubuh, digunakan oleh Alfiyanto untuk memperkokoh otoritas kepemimpinan datuak atas komunitasnya. "Kekuasaan" ini dilengkapi dengan deta/penutup kepala yang dalam berbagai kultur dan tradisi memang melambangkan kekuasaan bagi pemakainya. Ini bisa dilihat juga pada simbol kepausan misalnya, atau simbol keuskupan, yang menetapkan tutup kepala ini pada pucuk lambangnya, yang kemudian diwujudkan menurut tradisi bentuk tutup kepalanya sendiri dalam konteks sosialnya. Ia meletakkannya kadang di atas tongkat kadang dipakainya, sementara pegangan tongkatnya tak terasa direnggut oleh sang isteri yang dalam ranah adat punya otoritas kepemilikan yang bersifat turun-temurun. Mungkin di satu sisi hal ini benar adanya mengingat istilah untuk menyebut garis keturunan adalah feminin (nenek moyang dan bukan kakek moyang). Di sisi lain istilah "kakek moyang" malah mengindikasikan sebuah sindiran, umpatan seperti dalam ungkapan seorang demonstran anti korupsi yang berteriak lantang, "… memangnya itu duit kakek moyangmu".

Aspek audio yang digarapnya juga memberikan nilai kejeliannya dalam menimbang waktu, di mana sampai seseorang "menjadi" kanak-kanak lagi kuasa kepemilikan tersebut tak akan pernah dimilikinya. Di sini koreografer menunjukkan bahwa kekuatan ungkap tari memang tidak sekadar masalah ketubuhan semata, namun bisa jauh melampaui lanskap bentuknya sendiri.

Alfiyanto tidak secara naratif bertutur, tetapi menyodorkan berbagai sketsa kehi-dupan dengan berbagai rupa, salah satunya adalah yang diwarnai dengan randai dengan gerak melingkar dan tepukan celana gombrangnya yang sekaligus juga mewujudkan musik internal yang unik dari para penarinya. Suatu saat dari atas kiri bangunan panggung muncul sekelompok penari yang membawa obor dengan keranjang penampung hasil panen dari bambu. Keranjang ini tidak diperlukan sebagai keranjang seutuhnya namun terkadang diinjak dan diseret, yang tak pelak menggiring penonton pada fenomena kesulitan pangan dewasa ini. Sketsa yang muncul diwarnai dengan seretan keranjang di atas tanah serta yang secara pesimistis tak lagi memberikan harapan akan kesejahteraan dalam kehidupannya.

Platform program penciptaan seni S-2 ini ternyata menjadi semakin menemukan bentuknya. Arahnya bukan dalam sebuah jenjang yang "linier" dan menjadi spesialis seperti halnya pada disiplin kedokteran, tetapi justru menjadi semakin kompleks seperti dalam kompleksitas pertunjukan tradisi itu sendiri. Silang ranah seni didorong seutuhnya menuju pada realita sehari-hari, tentunya dalam interpretasi ekspresi yang semakin mengindividu dan dalam keberdayaan yang lebih dari sumber aslinya sendiri. Dalam hal ini perubahan dan kebaruan yang terjadi akan menjadi semakin memperkaya khazanah seni dalam otentisitas yang baru, dan tentunya tidak "hanya" bersifat "crafty" dalam arti merupakan keterampilan kepenataan semata-mata. Selamat.***

* F.X. Widaryanto, Pengajar di STSI Bandung dan Pusat Kajian Humaniora Unika Parahyangan Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

No comments: