-- Beni Setia*
GEMA tersisa dari ulang tahun milis Apsas 2009 lalu, terutama di dunia maya internet adalah klaim overestimate, yang menyatakan sastra (di) internet akan lebih eksis dari sastra di koran dan majalah. Bahkan ada yang menyatakan sastra di koran itu (nanti) hanya akan jadi sastra kelas dua dibandingkan sastra di internet--baik yang konvensional dipublikasikan dalam blog pribadi, atau semi publikatif via milis yang punya moderator model Apsas, atau yang lebih personal di Facebook.
Klaim itu amat berlebih. Karena--sebagaimana dikatakan Akmal Nasery Basral, dalam diskusi "Menilik Sastra Dunia Maya", TUK Jakarta, (12/2/2008), cq "Putri Duyung yang Meronta: Tinjauan Awal Terhadap Sastra Elektronik Indonesia", klaim tadi baru merujuk eksistensi media untuk mengumumkan (teks) sastra yang kadang masih amat konvensional dan belum matang. Belum corak ekspresi baru yang orisinil (khas) hasil eksplorasi serta eksploitasi teknologi informasi multimedia yang dimungkinkan komputer. Apa yang terbaca dari penjelajahan mengisi waktu luang yang lama tidak jauh berbeda dengan apa yang tampil di halaman media massa cetak.
Bahkan banyak yang asalnya ditampilkan di dunia maya, dengan membuka diri pada komentar dan kritik, kemudian muncul sebagai teks konvesional di media massa cetak dengan beberapa perbaikan. Teknik revisi yang sebenarnya telah dilakukan oleh banyak teman di dunia konvesional mesin tik atau yang cuma draf tinta di atas kertas, yang diedarkan di antara teman terbatas, yang teks edisi terakhirnya muncul sebagai yang ditawarkan ke redaksi media cetak dan terbit di koran atau majalah--teks ketikan novel Pram beredar dulu di bawah tanah seperti ini. Ini sejajar dengan fakta: banyak koran menampilkan karya sastra dalam versi maya di situs resmi mereka.
Bahkan di-backup sistem pengarsipan yang bagus sehingga kita bisa membuka file karya dari satu-dua tahun sebelumnya--khazanah kliping yang kaya, yang diikuti oleh situs bebas yang mengkhususkan diri di upaya pengklipingan teks budaya atau cuma cerpen saja. Bisa dikatakan yang dilakukan hanya penulisan sastra konvensional yang diluncurkan di dunia maya internet, sehingga terjadi apresiasi dan diskusi yang lebih bebas--siapa saja bisa serampangan berkomentar, lantas ditanggapi secara serius atau tak serius, hingga yang tak berkomentar terkadang lebih etik.
Mendekati tradisi sastra di Barat yang menuntut hadirnya editor di satu sisi serta agency yang menghubungkan karya dengan penerbit di sisi lain, bisa ditiru. Sehingga Wahyu Prasetya, sepulangnya dari Prancis--lebih dari sepuluh tahun yang lalu-- amat sering mendapat kiriman teks puisi resmi dari agen Pablo Neruda dan lain-lain, yang ditawarkan untuk diterjemahkan secara legal. Hingga semua hal yang berhubungan dengan aspek distribusi, penerjemahan, penerbitan, dan hasil sampingan dari teks jadi komoditas--punya konsekuensi keuangan, royalti atau fee. Ketika pertama terbit dan sukses, semua teks Harry Potter itu (yang bahkan belum ditulis), J.K. Rowling, agennya, dan penerbit terikat dalam jaringan legal distribusi, penerjemahan, dan eksploitasi hasil sampingan internasional pada berbagai bahasa dan berbagai negara berbeda. Ada kerumitan birokrasi legal, ada konsekuensi hukum yang akan spontan hadir bereaksi bagi tiap tindakan pada eksistensi buku itu--sebagai produk industri hasil investasi yang diperdagangkan.
Sayang Indonesia masih beranggapan, pembajakan itu menerbitkan buku atau teks secara ilegal tanpa izin sementara perbanyakan dengan foto copy di sekolah atau perguruan tinggi dianggap wajar. Anarkis hukum rimba. Dan media internet kita tidak dibatasi oleh birokrasi legal, yang demi lancarnya roda perdagangan mampu menggerakkan tangan besi hukum buat mengamankan investasi (ekonomi), menjaga kesehatan industri, dan mengawal konsekuensi keuangan. . Sulit untuk dikontrol, terlebih bila si pemakai hanya menyewa di rental, sehingga apa yang ingin dibaca, dengan memanfaatkan mesin pencari, tinggal dipilih, dan gratis terhampar.
**
MUNGKIN itu keunggulan internet--mereka bebas memasuki situs perpustakaan maya dan mencari topik apa saja. Selain sastrawan bisa leluasa mengetik dan ringan mengirim teks ke redaksi media massa cetak atau webmaster di milis pertemanan--di blog pribadi ukuran laik muatnya lebih longgar. Oleh karena itu, lahir klaim: pada dasarnya sastra internet di Indonesia belum total memanfaatkan potensi multimedia internet sebagai media publikasi, dan potensi multimedia teknologi komputer sebagai alat dan subjek ucap sastra. Semua itu baru tiba di hanya (teks) sastra di internet, mengingat belum ada yang mencapai tarap (eksploitasi) orisinil internet--seperti yang dikatakan Akmal Nasery Basral.
Dan yang namanya e-book pun tidak punya konsekuensi keuangan, sebab masih bisa gratis diunduh dengan permintaan legal terlebih dahulu--seperti terlihat pada blog Hasan Aspahani. E-book itu hanya naskah siap cetak buku tradisional. Atau, bahkan, sekadar buku, yang selain edar tertulis, juga bisa dibaca secara elektronik--lihat blog Isbedy Stiawan Z.S. Sangat sederhana. Sangat mudah diakses dan gratis. Bahkan bisa langsung memberi komentar, ditanggapi penulis, dan terdokumentasi, sehingga setiap orang yang iseng berkunjung ke blog itu bisa membacanya dan ikut usil berkomentar. Masih nyinyir lisani, jauh dari kecerdasan literasi.
Sastra internet kita masih bersifat lisan, penuh ketakpastian, serta amat terbuka pada celetukan usil, tidak bersitumpu--mengikuti logika Walter J. Ong--pada runtutan rasional intelektualistik literasi. Oleh karena itu masih teramat jauh dari eksplorasi serta eksploitasi potensi multimedia teknik informatika komputer. Sayang--tahapnya belum beranjak dari situasi bergunjing pada masa boom interkom antarrumah.***
* Beni Setia, pengarang.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 4 April 2010
No comments:
Post a Comment