Tuesday, April 13, 2010

Disiapkan Beberapa Opsi Payung Hukum

* Penyelenggara Pendidikan Harus Miliki Legalitas

Jakarta, Kompas - Pemerintah mempertimbangkan beberapa opsi untuk mengatasi kevakuman payung hukum pengelolaan pendidikan. Langkah ini dilakukan terkait dengan pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi.

”Payung hukum baru sangat diperlukan untuk menjaga legalitas proses belajar-mengajar yang sebelumnya diatur dengan UU BHP,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (12/4).

Beberapa opsi yang sedang dipertimbangkan pemerintah adalah penerbitan peraturan pemerintah baru, perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, atau penyusunan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi waktu dua pekan kepada Mendiknas dan jajarannya untuk mengkaji opsi yang ada dan menentukan pilihan. Presiden juga meminta dilakukan kajian untuk menentukan apakah persoalan-persoalan yang muncul sebagai implikasi dibatalkannya UU BHP cukup diakomodasi dengan peraturan pemerintah baru atau perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 atau membutuhkan penyusunan perppu.

Arahan lain yang juga ditekankan Presiden adalah tetap diakmodasinya semangat otonomi dalam penyusunan payung hukum baru tersebut.

”Kami dalam penyusunan payung hukum harus memerhatikan betul pentingnya otonomi pengelolaan perguruan tinggi, baik aspek otonomi di bidang akademik, maupun otonomi dalam pengelolaan sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan sumber daya aset-aset yang lain,” ujar M Nuh.

Implikasi pembatalan

Pada kesempatan itu, Mendiknas menjelaskan, Keputusan MK tentang pembatalan UU BHP itu antara lain berimplikasi pada sekolah dasar, menengah tingkat pertama dan atas, hingga perguruan tinggi yang dikelola oleh yayasan.

”Dalam Undang-Undang Yayasan diamanatkan bahwa yayasan tidak boleh mengelola pendidikan secara langsung. Yayasan diharuskan membentuk badan usaha, ini pasti bukan nirlaba karena namanya badan usaha pasti cari untung. Padahal kalau tidak nirlaba atau badan usaha, berarti bertentangan dengan prinsip di UU Sistem Pendidikan Nasional,” ujar M Nuh.

Untuk mengharmonikan ketentuan dalam UU Yayasan dan UU Sisdiknas itu sebelumnya digunakan UU BHP. Ketika UU itu dibatalkan, maka terjadi kevakuman.

Pendidikan kesehatan yang dikelola pemerintah daerah dan mendapat perizinan dari Kementerian Kesehatan juga terkena implikasi pembatalan UU BHP. Terdapat 98 lembaga pendidikan kesehatan yang kini mengalami kevakuman landasan hukum itu.

”Kalau pengelola pendidikan tidak sah atau tidak legal, proses belajar-mengajar dan ijazah juga menjadi tidak sah. Karena itu, kami ingin menyiapkan satu payung hukum untuk menyelesaikan itu semua,” ujar M Nuh.

Pada kesempatan itu Rektor Universitas Indonesia Prof Gumilar R Somantri menegaskan, terkait dengan keputusan MK itu, penyelenggara pendidikan saat ini membutuhkan payung hukum agar bisa tetap menyelenggarakan kegiatan akademik.

Ia juga menekankan pentingnya semangat otonomi diakomodasi dalam aturan yang baru dengan disertai prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepekaan untuk membantu masyarakat dengan keterbatasan kemampuan ekonomi agar tetap dapat memperoleh pendidikan. (DAY)

Sumber: Kompas, Selasa, 13 April 2010

No comments: